KBR68H, Jakarta - Suara panggilan azan, pengajian atau ceramah sejatinya adalah suara yang indah kalau diperdengarkan dengan suara yang pas dan di situasi yang tepat. Suara-suara itu bisa mengajak manusia untuk mengingat Tuhan. Tapi sejak beberapa tahun terakhir ini banyak orang berbicara tentang layak tidaknya suara-suara itu diperdengarkan dengan pengeras suara. Ada yang terganggu dengan volume suara yang cukup besar. Apalagi jika ceramah yang disiarkan lewat pengeras suara itu bernada keras atau bernada tinggi.
Dari sini muncullah ungkapan ‘Toa masjid’ untuk menggambarkan tingkat kebisingan itu. TOA sebetulnya merek corong pengeras suara, tapi kemudian menjadi istilah generik sebagai perangkat pengeras suara itu. Keluhan ini tidak saja datang dari warga non Islam, umat Islam juga banyak yang merasa tidak nyaman. Bukan azan atau ceramah itu yang mengganggu, tapi volume yang barangkali sudah mengganggu kesehatan telinga itu yang dikeluhkan.
Dewan Masjid Indonesia mencatat saat ini jumlah masjid maupun musola di tanah air berjumlah 1 juta. Di Jakarta, antara masjid hanya berjarak 200 meter. Bahkan masing-masing wilayah Rukun Tangga, memilikinya. Masjid yang menggunakan pengeras suara kemudian satu sama lain bersaut-sautan dengan pelbagai kepentingan, seperti ceramah, dan pengajian. Ini yang memunculkan perhatian Dewan Masjid Indonesia untuk mengaturnya, karena dinilai sudah mengganggu ketenangan masyarakat.
"Dalam satu waktu digunakan bersama-sama timbulkan keriuhan dan memicu keluhan di masyarakat. Saat ini kami menyusun program agar pesan di masjid disampaikan via radio guna mengurangi pengeras suara," kata Imam Ad-Daru-qutni, salah satu pengurus Dewan Masjid Indonesia.
Imam menambahkan, Ketua Umum Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla sedang menyiapkan seribuan radio transmiter. Media ini yang rencananya digunakan untuk penyampaian pesan dari masjid ke masyarakat, tanpa harus menggunakan pengeras suara. "Ini bukan anti pengeras suara. Tapi untuk masjid lebih produktif dan efektif dalam penyampaian pesan," ungkap Imam di program khusus Agama dan Masyarakat KBR68H dan Tempo TV.
Keluhan terhadap pengeras suara, bukan hal baru. Hal ini mulai dikeluhkan sebagian masyarakat sejak lama. Gisz Chalifah salah satunya. Dia bercerita, saat sholat di musola hampir tak mendengar suara imam, lantaran pengeras suara dari masjid yang berjarak ratusan meter terlalu keras. Ini yang kemudian membuatnya berinisiasi untuk membuat buku "Islam Tanpa Toa" pada 2008 lalu. "Keriuhan penggunaan pengeras suara itu biasanya terjadi saat jelang bulan puasa. Satu sama lain, ingin eksis," ungkapnya.
Menurut Gisz Chalifah, azan, ceramah, atau pun pengajian yang disuarakan esensinya untuk menyejukkan para pendengarnya. Akan tetapi kini sudah mulai bising, mengganggu waktu istirahat. "Ini perlu etika dan aturan dalam penggunaan Toa," ungkapnya.
Sementara itu, Sosiolog agama dari Universitas Indonesia, Iqbal Djadjadi menilai perlu ada tindakan dalam pengaturan pengeras suara. Kata dia, pengurus masjid harus membaca gejolak dan keberagaman di masyarakat. "Fungsi masjid sebagai tempat penghubung manusia dengan Tuhan, juga perlu diperhatikan sebagai wadah penghubung manusia dengan masyarakatnya," ungkapnya.
Editor: Suryawijayanti