KBR68H, Jakarta - Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Internasional yang diperingati setiap tanggal 20 Juni, SUAKA merekomendasikan pemerintah Indonesia mempercepat pembuatan dan pengesahan kerangka hukum bagi pengungsi dan pencari suaka, atau segera meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM juga harus membuat Standar Prosedur Operasional (SOP) rumah-rumah detensi yang ramah terhadap hak asasi manusia, khususnya bagi anak-anak dan perempuan, misal tidak menahan orang-orang tanpa alasan-alasan yang kuat sesuai denga prinsip internasional. Bagaimana sebenarnya upaya pemerintah dalam menangani para pengungsi khususnya yang terkait dengan masalah toleransi beragama? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Sutami dengan Direktur Perlindungan Sosial dan Konflik Sosial Kemensos, Prof. Syahabbudin dalam program Sarapan Pagi.
Setidaknya ada sejumlah pengungsian di Indonesia. Bagaimana pemerintah memiliki konsep yang jelas didalam penanganan korban konflik sosial?
Masalah pengungsi kebetulan hari ini adalah Hari Pengungsi Nasional. Berbicara masalah pengungsi itu adalah amanat Undang-undang No. 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial. Ketika terjadi konflik sosial itu tentu ada istilah pengungsi, ada manusia-manusia yang kehilangan tempat tinggal baik itu bayi, orang dewasa, lansia itulah yang disebut pengungsi. Pemerintah dalam hal ini beberapa kementerian/lembaga itu punya penanganan menangani masalah konflik di Indonesia misalnya Lampung Selatan, Sampang, Poso, Ambon, dan sebagainya itu punya pengungsi yang ditangani pemerintah dalam hal ini kementerian/lembaga. Kita mengacu kepada Undang-undang No. 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, itu ditangani secara baik. Pertama ada yang namanya buffer stock, ini diberikan kepada pengungsi yang didampingi tenaga pendamping. Buffer stock ini adalah seperti sandang, pangan, perlengkapan keluarga, kebutuhan anak, tenda, matras, dan sebagainya. Kemudian bantuan yang dilakukan Kementerian Sosial itu ada psiko pendampingan, pengungsi didampingi orang-orang tertentu agar jiwa yang stres itu bisa dipulihkan kembali.
Lalu apakah ada strategi dari kementerian agar mereka tidak berlama-lama di pengungsian?
Jadi masalah pengungsi itu ada time limit. Di dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2012 di Pasal 32 bahwa tindakan darurat, penyelamatan, perlindungan korban, pengungsi itu ada batasannya. Kalau pengungsi itu sifatnya skala kabupaten waktunya maksimal 30 hari, kalau pengungsi itu berkembang lagi skala provinsi begitu juga masa tanggap darurat atau pengungsi maksimal 30 hari. Jadi pengungsi itu adalah paling maksimal 90 hari, kalau lebih dari itu bukan pengungsi namanya tetapi masyarakat biasa. Adapun kalau butuh bantuan-bantuan, Kementerian Sosial misalnya membantu lewat program-program Kementerian Sosial.
Bagaimana pemerintah melihat penanganan pengungsi di sana?
Jadi masalah pengungsi sebenarnya menanganinya sinergisitas. Jadi pemerintah daerah dan pemerintah pusat, seperti pengungsi yang ada di Maluku Utara, Sampang, Ahmadiyah di Jawa Barat itu kami sampaikan bahwa batas maksimal waktunya 90 hari.
Lepas dari 90 hari itu pemerintah tidak lagi bertanggung jawab?
Tetap bertanggung jawab. Tapi terus terang bahwa pemerintah pusat dalam menangani pengungsi itu tidak lepas dari peraturan-peraturan yang ada atau Undang-undang yang berlaku, sebab kalau kita melakukan suatu tindakan yang lepas daripada Undang-undang itu sendiri berarti kita menyalahi aturan. Jadi pengungsi-pengungsi yang ada di Maluku Utara yang sudah lewat waktunya tetap ditangani oleh pemda dengan kegiatan-kegiatan regulasinya. Kecuali kalau pemda sudah tidak bisa menangani secara baik barulah kita kerjasama dengan pemerintah pusat. Dalam hal ini melakukan memperbaiki pengungsi itu adalah sinergisitas antara pusat dan daerah. Kalau perlu antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha ikut bertanggung jawab dalam hal ini tetapi kita menangani pengungsi itu sesuai aturan yang berlaku.
Dalam catatan anda ada berapa banyak pengungsi saat ini?
Sebenarnya pengungsi mulai dari eks Timor-timur yang ada di berbagai pelosok tanah air mengatakan dirinya sebagai pengungsi. Ternyata setelah lahirnya Undang-undang No. 7 Tahun 2012 khususnya di Pasal 32 itu bukan lagi pengungsi kalau lewat dari 90 hari, itu kembali pada masyarakat biasa. Kalaupun pemerintah dalam hal ini Kemensos tetap membantu bukan pada pengungsinya tetapi kembali pada masyarakat biasa yang layak dibantu lewat program-program regulernya.
Artinya kalau kita mengacu pada Undang-undang saat ini tidak ada pengungsi di Indonesia?
Kalaupun terjadi hari ini sampai 90 hari ke depan itu masih pengungsi, tapi kalau sudah lewat 90 hari tidak lagi pengungsi. Tapi namanya bekas pengungsi, ada beberapa yang mengatasnamakan dirinya pengungsi yang ada di GOR Sampang itu yang kurang lebih 142 orang sejak tahun lalu sampai sekarang belum keluar itu bukan lagi pengungsi tapi pemerintah tetap memberikan bantuan sesuai tupoksi yang ada.
Kalau bantuan yang dimaksud adalah bantuan makanan dan sebagainya tentu barangkali yang diharapkan lebih dari itu penyelesaian bagaimana mereka kembali. Masalahnya mereka tidak bisa meninggalkan lokasi pengungsian karena berbagai faktor, bagaimana pemerintah menyikapinya?
Kita ambil contoh di Sampang. Kalau pengungsi yang ada di Sampang terjadi trauma karena masyarakat tidak mau menerima lagi pengungsi dengan alasan ideologi Syiah dan Sunni, pemerintah tetap memikirkan untuk mengembalikan bagaimana caranya apakah ada namanya hunian sementara, dikarantinakan atau dipindahkan tempatnya untuk lebih aman itu tugas pemerintah. Tapi seperti pengungsi Sampang itu sebenarnya gampang sekali kalau mau menyelesaikan pengungsi di Sampang. Kalau di Sampang misalnya itu lebih kepada menokohkan seseorang, jadi pengungsi itu lebih menokohkan seseorang yaitu Tajul. Tajul ini kalau ngomong waladhalin semua pengungsi itu amin, tekniknya itu kita bagaimana kita mendekati Tajul yang mengatasnamakan bosnya Syiah ya beri komando kembalilah ikuti keinginan pemerintah misalnya di hunian sementara atau di tempat lain. Tetapi karena pengungsi di Sampang ini sangat menokohkan tokoh agamanya itu apa kata dia ya ikuti dia jadi kuncinya mendekati secara baik, kalau membina secara baik itu pengungsi saya kira selesai masalah.
Pengungsi Ahmadiyah yang ada di Transito mereka sudah tujuh tahun mengungsi dan mereka tidak punya cara pergi, tidak ada proses relokasi, tidak bisa kembali ke Lombok Barat. Bagaimana menyelesaikannya?
Sebenarnya pihak pemda-pemda itu mencarikan bagaimana program-program pemerintah itu diberlakukan. Karena banyak cara sekarang untuk memojokkan Ahmadiyah kalau tidak beragama lagi, mau kemana mereka kalau tidak beragama, padahal mereka masih penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebenarnya MUI, pemerintah, dan masyarakat bersikap membina Ahmadiyah secara baik karena bagaimanapun juga dia punya hak asasi manusia.
Kalau dari pemerintah pusat sendiri apakah sampai saat ini masih terlibat mencoba supaya mereka tidak lagi jadi pengungsi?
Kembali pada aturan bahwa Kementerian Agama punya aturan pada Undang-undang bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu punya hak untuk memperbaiki masalah masyarakat dalam bidang kerukunan. Terutama pengungsinya akibat daripada kesalahpahaman masalah ideologi tadi. Jadi pemerintah tetap memberikan, memikirkan bersama masyarakat bagaimana pengungsi –pengungsi Ahmadiyah yang sudah terlantar lama kembali ke posisi semula.
Jadi program penanganan pengungsi korban konflik yang berlatar belakang agama ini ternyata terhambat oleh adanya penafsiran dalam ideologi tadi?
Sebenarnya kita jangan terlalu ekstrim membicarakan ideologi tadi.
Penanganan para pengungsi konkretnya bagaimana?
Konkretnya adalah masalah konkret itu ada pemicu dan ada penyebabnya. Jadi ada pemicunya karena antarwarga, ras, agama, suku sebenarnya ini sudah harus ditangani secara baik antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Karena mereka punya hak asasi juga bagaimana caranya mendapat rasa aman dari negara kita.
Lebih dari 90 Hari, Pengungsi Jadi Tanggung Jawab Pemda, Bukan Pemerintah Pusat
KBR68H, Jakarta - Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Internasional yang diperingati setiap tanggal 20 Juni, SUAKA merekomendasikan pemerintah Indonesia mempercepat pembuatan dan pengesahan kerangka hukum bagi pengungsi dan pencari suaka

BERITA
Kamis, 20 Jun 2013 14:59 WIB


hari pengungsi sedunia, penanganan pengungsi, ahmadiyah, kementerian sosial
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai