Bagikan:

Deradikalisasi Teroris Seperti Perang Merebut Hati

KBR68H, Jakarta

BERITA

Selasa, 04 Jun 2013 12:49 WIB

Author

Doddy Rosadi

Deradikalisasi Teroris Seperti Perang Merebut Hati

deradikalisasi, teroris, poso, santoso, Yayasan Lazuardi Biru

KBR68H, Jakarta – Pelaku bom bunuh diri di Poso diduga kuat berasal dari kelompok teroris Komando Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso. Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, meski polisi sempat beberapa kali menangkap anggota kelompok Santoso, namun kelompok ini masih tetap bergerak dengan sistem perang gerilya. Bahkan menurut Al Chaidar, kelompok Santoso semakin dendam terhadap aparat kepolisian. Komando Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso menjadikan kawasan Tamanjeka di Poso Sulawesi Tengah sebagai basis. Lalu bagaimana program deradikalisasi yang selama ini digadang bisa mengurangi tindak kejahatan teroris di Indonesia? Simak perbincangan penyiar KBR68H Agus Luqman dan Rumondang Nainggolan dengan Ketua Yayasan Lazuardi Biru, yayasan deradikalisasi teroris, Dhyah Madya Ruth Sri Ningrum dalam program Sarapan Pagi.

Apakah kesannya selama ini adem ayem tetapi gerakan-gerakan rekrutmen gerakan radikal masih berjalan?


Kalau kita melihat fenomena aktivitas terorisme sejak 2002 sampai sekarang terlihat seolah tidak berhenti baik skala kecil maupun besar terus terjadi. Begitu juga dengan upaya-upaya represif untuk mengatasi hal itu, itu terus berkesinambungan. Hal itu membuktikan bahwa akar-akar terorisme tetap ada, regeneasi tetap berjalan itu hal yang tidak bisa kita pungkiri. Pertanyaannya adalah kenapa masih ada regenerasi mati satu oleh Densus 88 tapi tumbuhnya seribu. Tentunya ini kalau kita lihat teori hukum adalah lahirnya seorang pelaku kriminal tidak bisa dilepaskan dari masyarakat yang menghasilkan peledak itu sendiri. Artinya yang harus diintervensi adalah masyarakat, supaya kalau kita ingin mencegah proses regenerasi itu sendiri kita harus melakukan intervensi ke masyarakat supaya tidak terus melahirkan, tidak terus memproduksi pelaku terorisme.

Mencegah sebelum berkembang ya?


Betul. Ada porsinya masing-masing bagaimana kita menangani terorisme itu adalah kerja berat, simultan, dan ada mata rantainya. Jadi hal yang dilakukan untuk mengatasi terorisme adalah dari hulu sampai hilir. Kalau kita lihat di awal kita harus mencegah proses produksi itu sendiri sampai terakhir usaha preemtif. Jadi kalau kita lihat dalam setiap penanggulangan terorisme itu harusnya ada upaya preventif, upaya represif, dan upaya preemtif. Di sela-sela represif dan preemtif itu ada upaya deradikalisasi. Represif itu yang ujung tombak dari ini semua adalah Polri, dia yang memegang kendali untuk melakukan upaya represif. Karena tidak bisa dihindari juga bahwa terorisme merupakan tindak pidana khusus, sehingga yang menjadi leading tetap aparat keamanan. Tidak bisa militer, tidak bisa civil society semuanya hanya pelengkap, melengkapinya harus ada sinergi dari pemerintah dan civil society. Mulai dari prefentif itu tadi, di represif kita tidak boleh masuk kemudian deradikalisasi itu ranahnya pemerintah sebetulnya yang jadi ujung tombak Dirjen Lapas. Semuanya itu harus dikoordinasikan supaya antara hulu dan hilir ini nyambung, kalau tidak nyambung semuanya masing-masing bergerak sendiri inilah yang terjadi.
 
Anda melihat koordinasinya belum berjalan lancar?
 
Mengenai koordinasi itu memang hal yang agak sulit dilakukan. Saya bisa memahami bahwa pemerintah sudah konsentrasi melakukan ini, tapi memang kondisi wilayah kita secara geografis itu hal yang tidak mudah dilakukan. Apalagi upaya deradikalisasi itu perang merebut hati, dibutuhkan orang-orang yang serius menjalani itu, terutama tekniknya itu. Selama ini kerap dilihat yang banyak dilakukan dulu 2003 Polri memulai, civil society, pemerintah bagaimana memisahkan pelaku dari aktivitasnya. Tapi yang harus dipahami adalah terorisme ini tindak pidana khusus, dia punya kekhususannya adalah satu efeknya yang massal, selalu memiliki korban tak berdosa, bisa menyerang siapa saja. Kedua adalah terkait dengan ideologi yang artinya deradikalisasi yang dilakukan bukan sekadar memisahkan aktivitas mereka tapi harusnya target utamanya adalah bagaimana memformat ideologi mereka, itu yang sulit. Ada tiga hal, pertama mengenai SOP-nya sendiri, kalau kita lihat ada dua kasus kaburnya pelaku terorisme yaitu dari Sulawesi Tengah dimana Basri kabur dari sana, kemudian Roki dari tahanan Polda Metro Jaya. Itu menunjukkan bahwa masih ada kelemahan SOP penanganan terorisme. Kemudian saya melihat mengenai treatment, terorisme dan deradikalisasi tidak bisa dibuat produk massal. Kalau kita ibarat masuk ke butik ini harus spesifik, satu customer untuk satu program. Ini masalah merebut hati bukan sekadar melaksanakan  ritual program dan lain-lain tapi bagaimana kita memenangkan hati mereka. Ketiga mengenai kapasitas dan kualitas dari para pihak yang terjun melakukan upaya deradikalisasi. Kalau kita lihat banyak sekali pihak yang mulai tergerak untuk melakukan ini, ini sangat positif. Karena pelaku itu tidak mungkin semua disamaratakan, harus ada knowledge dan skill, panglima ya dihadapi oleh panglima, kurcaci ya dihadapi oleh kurcaci. Tidak bisa kemudian kurcaci menghadapi panglima, ini yang kemudian mereka tidak respect, kalau sudah tidak ada respect akhirnya mereka yang mewarnai.   

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending