KBR68H, Jakarta – Sejak 1 Mei 2014 lalu, tarif listrik industri mulai naik. Sejak rencana ini bergulir pun, industri pasang kuda-kuda untuk melakukan PHK massal terhadap pekerja mereka dan hengkang dari Jabodetabek. Dari industri tekstil misalnya mengaku tak sanggup menanggung lonjakan biaya. Total ada 1,200 perusahaan tekstil dan produk tekstil di dalam negeri dengan jumlah tenaga kerja sekitar 1,5 juta orang.
Seberapa tidak siap industri tekstil menanggung kenaikan tarif listrik ini? Simak wawancara dengan Ervovian G. Ismy, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Hitungannya bagaimana sampai industri tekstil begitu tarif listrik naik langsung bakal menyebabkan PHK besar-besaran?
“Yang naik kebanyakan di industri hulunya, industri pembuat bahan baku. Begitu mereka naik berarti mereka ada peningkatan dalam produksi berarti output-nya mahal. Sementara di tekstil dari hulu sampai hilir terintegrasi, berarti begitu di hulu naik akibatnya bukan cuma industri hulu tapi juga industri hilirnya menanggung. Contoh benang, beli kapasnya diolah jadi benang, dari benang diolah jadi kain, dari kain diolah jadi garmen. Ini kita terintegrasi, begitu di hulunya naik ya hilirnya ikut menanggung. Mungkin di hulu naik kalau kemarin kita coba hitung sekitar 9-11 persen akibat kenaikan itu dari biaya produksi akhirnya output-nya naik 9-13 persen. Dari situ naik lagi di benang, benang naik lagi di kain akhirnya sampai di industri hilirnya 23 persen mereka mau jual berapa di pasar.”
Ada berapa banyak perusahaan di sektor hilir?
“Di hilir itu ada sekitar 2.800 tekstil dan garmen, 70 persennya di garmen.”
Dari 2.800 yang bakal kena dampak sampai output mereka naik sampai 23 persen begitu ya?
“Iya itu di garmen. Jadi walaupun dikenakan di hulu tapi akibatnya hilir juga ikut menanggung.”
Paling besar tenaga kerjanya di sektor hulu atau hilir?
“Di hilir.”
Ada berapa banyak?
“Ada sekitar 1,6 juta orang, itu sekitar 60 persen di garmen. Yang kami khawatirkan di garmen ini begitu dia tahu di industri kain mahal, kan di luar tidak naik semua harga hanya di kita saja akhirnya daripada beli di dalam negeri ya sudah impor saja.”
Pernah ada situasi seperti ini ya?
“Sekarang saja harga impor dan harga lokal selisihnya tetap lebih mahal harga lokal. Industri hilir tetap beli di lokal karena untuk kontinuitas, tidak urus ekspor impornya makanya mereka beli di lokal. Tapi begitu sekarang antara ekspor mengimpor tinggi perbedaannya pedagang mendingan beli impor, kalau sudah impor ya sudah habis.”
Soal rencana penaikan ini bahkan sudah masuk di APBN 2014. Sejauh ini upaya yang sudah dilakukan dari kalangan pengusaha terhadap kebijakan tersebut seperti apa?
“Kita sudah buat surat ke Menteri Perindustrian, Dirjen Ketenagalistrikan bahwa akibatnya seperti ini. Karena kita tahun kemarin sudah naik listriknya, memang kenaikannya dibuat bertahap empat bulan. Jadi yang kita pikirkan ini kok tiap tahun naik, sementara energi di dalam industri manufaktur Indonesia kita punya man power dan energy power itu kelebihan Indonesia dibanding negara lain. Tapi man power dan energy power ini tiap tahun ribut, ada apa ini kok pemerintah tidak pernah cerdas.”
Untuk mengatasinya bagaimana jalan keluarnya dari kalangan pengusaha?
“Sekarang ini kita coba ngomong kita bilang kalau tidak bisa kita coba judicial review. Karena peraturan ini diskriminasi, namanya peraturan harus keseluruhan bukan dibeda-bedakan. Ini antara yang naik dengan tidak naik akhirnya kita jadi bersaing, di dalam negeri bersaing sementara kita ngomong globalisasi dalam negeri masih ribut.”
Upaya untuk melakukan judicial review sudah dilakukan atau belum?
“Kita sudah bertemu dengan beberapa asosiasi. Karena ini momennya tidak pas, kita selalu bahas akibat, penyebabnya apa ternyata PLN masih pakai solar yang seperti itu tidak efisien.”
Koordinasi dengan kalangan pengusaha lain seperti apa?
“Kita sudah mengadakan pertemuan. Sekarang kita mau tahu di hulu kalau naik mereka akan berapa pengurangan produksi, pengurangan tenaga kerja nanti berlanjut ke hilirnya. Ini yang sedang kita koordinasi berapa rakyat yang kena. Karena kalau begitu ada pengurangan produksi berarti ada mesin yang tidak dipakai, berarti ada pengurangan. Ini yang perlu kita cek, kita tidak usah ngomong macam-macam ingat dua kepentingan nasional yaitu devisa dan tenaga kerja ini terganggu lagi.”