KBR, Jakarta - Kedua pasang capres dan cawapres peserta Pilpres 2014 mulai memperkenalkan program-program andalan mereka untuk menarik hati rakyat. Salah satunya mengenai masalah penanganan korupsi.
Pasangan Prabowo-Hatta misalnya akan mencegah dan memberantas praktik KKN dengan menerapkan manajemen terbuka dan akuntabel serta menambah jumlah penyidik dan fasilitas penyelidikan. Sementara pasangan Jokowi-JK akan memprioritaskan penanganan kasus korupsi di sektor penegakan hukum, politik, pajak, bea cukai dan sumber daya alam bila mereka terpilih.
Wasekjen PDI P, Hasto Kristiyanto, mengatakan pemberantasan korupsi yang akan dilakukan pasangan Jokowi-JK akan menggunakan pendekatan sistemik karena korupsi terjadi secara sistemik. Dalam perbincangan di Program Sarapan Pagi KBR (22/5) Hasto menjelaskan lebih jauh soal pendekatan itu.
Dalam 9 Nawa Cita dari Joko Widodo dan 8 program dari Prabowo masih belum terlihat langkah-langkah konkretnya di dalam pemberantasan korupsi. Kalau dari Nawa Cita itu seperti apa sebetulnya?
“Nawa Cita itu suatu kebijakan. Dari kebijakan prioritas itulah kemudian kami terjemahkan dalam satu langkah-langkah konkret. Misalnya berkaitan dengan pemberantasan korupsi, paradigma yang kita ambil berbeda bahwa bagaimanapun juga korupsi yang pernah terjadi secara sistemik ini harus dilakukan pendekatan secara sistemik juga. Dalam pengertian, pertama pendekatan pencegahan itu jauh lebih penting, kedua pendekatan kesejahteraan. Artinya korupsi seringkali terjadi karena memang kita melihat ketimpangan antara kebutuhan hidup dengan penerimaan, misalnya dari suatu kebijakan gaji yang diberikan kepada aparatur negara. Disitu kelihatan masih suatu konsep pengorbanan dari para pegawai negeri kita dibandingkan dengan kemampuan personalitasnya. Ketiga kemampuan penegakan hukum. Kita melihat KPK sebagai suatu institusi yang sangat penting, tapi tanpa adanya penguatan dari kejaksaan dan kepolisian maka penindakan korupsi dari KPK hanya terkesan sebagai suatu bentuk penindakan daripada upaya-upaya untuk pencegahan. Keeempat skala prioritas, tentu saja kita harus memulai dahulukan mana yang penting skala prioritas. Korupsi itu terjadi di sektor migas, pajak, departemen-departemen yang sangat strategis didalam mengelola keuangan negara. Dalam perspektif itu mau tidak mau ketaatan terhadap hukum itu harus betul-betul dilakukan. Dalam perspektif jangka menengah kita sebenarnya sistem demokrasi yang sangat mahal itu juga sebenarnya punya implikasi terhadap korupsi kebijakan. Kalau kita melihat pemilihan presiden, bupati, kepala daerah yang lain itu dilakukan secara langsung dengan biaya pemenangan yang besar. Hampir sedikit mekanisme untuk menggalang dana masyarakat maka itu juga akan menciptakan korupsi kebijakan.”
Anda menjelaskan bahwa gaji tidak sesuai dengan kebutuhan, remunerasi sudah dilakukan di Kementerian Keuangan tapi di sektor pajak terus meningkat. Komentar Anda?
“Remunerasi dulu itu hanya dilakukan di Kementerian Keuangan, yang lain terus ketinggalan. Setiap ada kebijakan-kebijakan remunerasi justru diawali dengan Kementerian Keuangan. Dalam pendekatan fiskal kami ingin mengedepankan fiskal yang mencegah korupsi. Dalam pengertian kita melihat bahwa kebocoran sisi APBN kita mencapai 30 persen. Karena itulah ketika Pak Jokowi dan Pak JK memimpin nanti kebijakan fiskal akan diubah. Kita akan bebankan anggaran berimbang terlebih dahulu dengan melakukan upaya memaksimumkan penerimaan negara termasuk juga pajak, bea cukai. Kemudian yang kedua memperketat politik alokasi dan distribusi anggaran, dimana dari situlah kemudian kita melihat dipastikan seperti pengalaman Pak Jokowi memimpin Jakarta. Dari penerimaan perparkiran saja bisa ditingkatkan untuk mendapatkan dana triliunan rupiah. APBN sendiri ini juga harus dirancang untuk APBN yang memungkinkan kita berdaulat, berdikari dalam perspektif kebijakan fiskalnya. Kalau kita lihat remunerasi tidak disertai dengan upaya peningkatan profesionalitas dan target dari debirokrasi tadi. Pengalaman Pak Jokowi di Solo ternyata dengan mengubah komposisi anggaran yang mula-mula sekitar 60 persen untuk anggaran aparatur kemudian diganti anggaran aparatur hanya 40 persen karena melalui langkah debirokratisasi itu akan menciptakan langkah yang efektif.”
Jadi mau diapakan remunerasi yang ada sekarang?
“Remunerasi itu adalah sebagai suatu hasil dari peningkatan produktivitas dan juga hasil reformasi birokrasi. Bukan sebagai proyek bagi-bagi hadiah, saat ini remunerasi sebagai proyek bagi-bagi hadiah.”
Jadi apa perbaikan yang akan dilakukan seumpama Jokowi terpilih?
“Perbaikan pertama jangan ada beban tambahan bagi aparatur negara berkaitan dengan penerimaan pegawai negeri. Kita harus menciptakan lapangan kerja melalui sektor-sektor strategis yang diciptakan oleh negara melalui pembangunan infrastruktur, pembangunan pertanian, maritim, perkebunan, bukan dengan cara menambah pegawai negeri baru. Kemudian yang kedua, kita tidak memperluas departemen-departemen yang ada di pemerintahan, serta menambah komisi-komisi yang seringkali jadi beban negara. Dalam konteks itu maka program moratorium penerimaan pegawai negeri itu menjadi sangat penting. Karena bagaimanapun juga birokrasi merupakan tulang punggung di dalam pelayanan publik, pelayanan publik tidak boleh dikomersialkan. Itu cara menohok untuk korupsi yang terjadi di birokrasi. Dengan demikian kita juga mengatakan kepada mereka bahwa program-program untuk debirokratisasi itu justru akan meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri, bukan sebaliknya. Seringkali mindset dari para pegawai negeri kita ketika ada program pemberantasan korupsi, penataan birokrasi, yang mereka pikirkan adalah pendapatan akan berkurang. Maka pemerintah harus memastikan dalam konsep pelayanan publik yang tidak bisa dikomersialkan itulah yang dilakukan bersama penegakan hukum serta kemudian peningkatan profesionalitas para pegawai negeri kita, maka di situ harapan untuk sejahtera.”
Yang jadi persoalan adalah korupsi bukan saja perkara penghasilan yang kurang dan kebutuhan yang meningkat tapi sudah menjadi kultur. Bagaimana mengubahnya?
“Ya memang. Karena ini persoalan budaya yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Bagaimana dulu zaman Pak Harto, dia membuat gaji guru, PNS, hakim, jaksa, kepolisian jauh di bawah kebutuhan standar sehingga mereka bisa dikendalikan secarap politik. Inilah yang akan kita ubah menjadi paradigma politik pemberdayaan, tentu saja dengan hukuman yang setimpal.”
Hukuman yang setimpal itu yang kemudian jadi sorotan banyak orang, banyak tekanan dari masyarakat untuk membuat efek jera. Seperti apa efek jera yang akan dilakukan Jokowi kalau dia terpilih?
“Ini adalah suatu kejahatan kemanusiaan. Ketika menghadapi kasus Akil Mochtar, bagaimana seorang Hakim Mahkamah Konstitusi yang seharusnya memiliki sikap kenegarawanan, dimana hakim itu adalah nyawanya demokrasi Indonesia, tapi ternyata mentransfer keputusannya dengan uang. Saya pribadi berpendapat itu harus jelas hukuman mati. Tetapi itu tidak memungkinkan. Karena itulah dalam pencegahan korupsi, perspektif sekarang dan ke depan kita harus berani mengeluarkan terobosan hukum untuk memberikan hukuman seumur hidup.”
Seumur hidup kalau uangnya masih ada bisa merepotkan juga karena dia bisa jadi berbisnis dari dalam penjara. Bagaimana?
“Makanya presiden harus punya keberanian demi masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.”
Pemiskinan koruptor bagaimana?
“Itu sudah dilakukan. Jadi apa yang sudah dilakukan akan kita lanjutkan, pemiskinan koruptor dengan melalui Undang-undang Pencucian Uang itu sudah dijalankan hanya harus lebih agresif. Karena kita tidak bisa lagi kompromi terhadap persoalan-persoalan korupsi khususnya yang dilakukan oleh pejabat negara. Pengalaman di Mahkamah Konstitusi adalah tamparan terbesar bagi kita bagaimana seorang hakim merendahkan martabatnya dengan praktik-praktik politik uang.”
Apakah ini juga kemungkinan akan ditanyakan di dalam setiap debat calon presiden dan sebagainya tentang sikap hukuman mati, berlipat bahkan sampai ratusan tahun, pemiskinan, dan sebagainya. Apakah ini sudah di dalam pikiran tim perumus visi misi itu?
“Kami merancang program pemberantasan bukan untuk antisipasi kalau ada pertanyaan. Kami sebagai suatu sikap politik hukum yang harus dijalankan karena Pak Jokowi menyusun komitmen untuk membuat Indonesia yang berdikari. Indonesia yang berdikari hanya bisa diwujudkan kalau tidak ada korupsi, begitu tidak ada manipulasi anggaran. Tapi di sisi lain kita juga melihat pemberantasan korupsi bukan di satu titik. Pemberantasan korupsi juga harus melalui pendekatan kesejahteraan. Politik hukum harus menggunakan pendekatan hukuman yang setimpal sesuai dengan Undang-undang dimana kita tidak bisa memberikan hukuman mati tapi hukuman seumur hidup, pemiskinan koruptor itu masih bisa.”
Tidak akan ada pengurangan hukuman misalnya?
“Iya pasti. Ini memang terjadi pemutarbalikan terhadap bagaimana mereka yang koruptor justru bisa bisa melakukan lobi-lobi terhadap kekuasaan. Mereka menikmati fasilitas kemewahan di penjara.”
Soal tudingan Udar Pristono bagaimana? jadi ganjanlan tidak?
“Tidak ada persoalan. Meskipun Udar Pristono ada persoalan politik di situ tetapi Pak Jokowi dengan tegas mengambil satu sikap. Bahkan kemudian muncul isu seolah-olah keluarga dari Pak Jokowi. Itu sebagai sebuah bagian dari kompetisi yang tidak sehat, seolah-olah mengatakan Pak Jokowi tidak bersih. Padahal kalau kita lihat track record Pak Jokowi sangat jelas, tidak ada keluarganya yang terlibat sama sekali terhadap persoalan tersebut.”
(Baca juga: Korupsi TransJakarta, Wakil Jaksa Agung: Jokowi Ahok Bisa Diperiksa)