KBR68H, Jakarta – Ditetapkannya Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Purnomo sebagai tersangka dugaan korupsi pada 21 April lalu menjadi coreng bagi dunia birokrasi setelah kasus yang menimpa Akil Mochtar. DPR dinilai kecolongan sehingga bisa meloloskan Hadi Purnomo. Tak hanya itu, citra BPK pun ikut tercoreng, padahal tugasnya berat yaitu menjadi lembaga audit negara.
Apa catatan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) soal ini? Berikut wawancara dengan Direktur PSHK Ronald Rofiandri.
Bagaimana bisa DPR meloloskan seorang Hadi Purnomo yang ternyata waktu menjadi Dirjen Pajak bermasalah. Apakah sebetulnya ini masalah tidak diketahui dari dulu?
“Ada kemungkinan seperti itu. Namun konstitusi sendiri sebenarnya masih memberikan kewenangan bagi DPR untuk memilih anggota BPK. Dalam Undang-undang Dasar frasenya memang anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh presiden. Sekarang proses memilih ini yang tentu tidak steril atau tidak dengan arus politik. Sehingga pendekatan seleksi yang seharusnya lebih mengedepankan faktor kompetensi dan integritas bisa saja terabaikan atau justru kalah.”
Jadi mestinya pola pemilihannya seperti apa supaya orang-orang seperti ini tidak masuk sebagai pemimpin lembaga dan sebagainya?
“Baru saja Komisi III DPR mempraktikkan cara pemilihan pejabat publik dalam hal ini adalah hakim konstitusi, ada dua orang calon hakim konstitusi yang menggantikan dua orang hakim konstitusi lainnya. Itu dengan cara membentuk lebih dulu panel khusus yang diisi orang-orang yang kredibel.”
Artinya di luar anggota parlemen panel khusus itu?
“Iya. Jadi secara peran itu tidak dilakukan oleh anggota DPR, ketika dalam proses memutuskan karena ini masih dipilih DPR sudah disajikan oleh profil calon yang memang sudah pada posisi terbaik. Sehingga memang faktor kompetensi atau integritas relatis sudah selesai, relatif sudah beres.”
“ Yang kita khawatirkan apakah dulu memang proses menggali kompetensi atau integritas itu tidak maksimal. Yang membahayakan justru faktor politisnya, ini yang tidak bisa kita tutup mata. Bisa saja kemudian ditemukan metode-metode lain tidak harus sama persis dengan pemilihan hakim konstitusi yang baru saja diselenggarakan oleh Komisi III.”
“Namun metode ini jelas lebih mengedepankan faktor kompetensi dan itu harus selesai dulu. Ketika ini sudah selesai tidak ada lagi catatan yang bermasalah, silahkan kemudian DPR menjalankan kewenangan memilih dengan catatan orang yang mau dipilih ini tidak ada masalah lagi kompetensi dan integritasnya.”
“DPR perlu mengalokasikan perhatian dan prosedur secara khusus, misalnya soal integritas kalau kita lihat kasus yang menimpa Ketua BPK ini apakah faktor ketaatan memperbaharusi laporan harta kekayaan dijalankan dengan baik atau belum, apakah ada yang terlewatkan dari kepemilikan aset atau kekayaan yang bersangkutan ini yang belum sempat dilaporkan. Kemudian bagaimana juga dengan misalnya kemungkinan penerimaan hibah atau gratifikasi seperti itu tentu DPR harus kerja sama PPATK.”
Ketika Komisi III menyeleksi hakim Mahkamah Konstitusi, apakah artinya Komisi III ikut melibatkan PPATK?
“Seingat saya belum melembaga ini menjadi sebuah tahapan dalam peraturan DPR. Namun karena ini sudah merespon sebuah kegelisahan publik apabila kemudian DPR tidak punya cukup waktu dan cenderung kurang elaboratif menggali profil integritas dan kompetensi maka kemudian Komisi III saat ini berinisiatif membentuk panel ahli atau panel yang menyeleksi lebih dahulu. Sehingga yang disodorkan kepada Komisi III itu relatif catatannya tidak terlalu substansial faktor-faktor integritas dan kompetensinya yang dianggap bermasalah.”
Kita belum bisa percaya sepenuhnya kepada parlemen karena banyak yang terlibat korupsi. Kalau di negara lain apakah kewenangan serupa juga dimiliki oleh parlemen di luar negeri untuk menetapkan misalnya pejabat publik atau negara?
“Misalnya kalau pengangkatan hakim kalau di Amerika Serikat diangkat seumur hidup. Tapi proses awalnya memang ada persetujuan dari parlemen. Cuma memang di tingkat menggali profil kompetensi dan integritas itu relatif, lalu dikembangkan terobosan yang sedemikian terbuka untuk memastikan si calon ini kompetensi dan integritasnya tidak bermasalah. Ini juga terkait dengan bagaimana budaya berdemokrasinya. Jangankan profil hakim agung bahkan posisi presiden bisa diketahui dia dulu waktu berkampanye didukung siapa saja yang mensponsorinya. Kemudian tentang apa saja perbuatan negatif yang pernah dilakukan sebelumnya itu disampaikan secara langsung oleh sangat presiden. Sehingga memang ketika budaya demokrasinya sudah baik kemudian dari segi struktur kepemimpinan juga menjalankan budaya-budaya terbuka juga relatif memang tidak ada yang bermasalah dan publik memang mampu “menghukum” pejabat publiknya manakala kemudian melakukan penyelewengan atau penyimpangan.”