KBR, Jakarta - Neneng Goenadi adalah perempuan pertama yang bisa menduduki posisi puncak di Accenture Indonesia, sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang konsultan IT, operasional strategi dan digital. Di perusahaan ini Neneng tak hanya memimpin perjalanan bisnis tetapi juga memimpin praktik sikap menerima segala bentuk perbedaan bagi semua karyawan, tanpa memandang ras, agama, warna kulit, gender, termasuk LGBT ( Lesbian Gay dan Transgender) serta penyandang disabilitas.
Bagaimana jejak perjalanan Neneng Goenady menapaki karir sebagai Country Managing Director Accenture Indonesia? Serta bagaimana kiprahnya mendorong prinsip kesetaraan ini?
Simak wawancara dengan Arin Swandari untuk program “Sarapan Bersama” yang disiarkan di KBR, TV Tempo dan PortalKBR.
Anda saat ini berada di sebuah perusahaan IT dan juga digital. Tapi latar belakang pendidikan Anda teknik sipil juga finance, agak menjauh dari situ. Bagaimana kemudian Anda bergerak menyesuaikan diri dan merasa pas duduk di sini?
“Memang latar belakang saya adalah teknik sipil jadi engineering, kemudian saya mengambil MBA jurusan finance. Ilmu sipil per say-nya memang mungkin tidak dipakai tapi logic yang diajarkan pada waktu saya di engineering itu sangat berguna. Kemudian juga pada waktu saya mengambil MBA itu juga ilmunya dipakai di konsultasi seperti kami ini. Karena di consultant seperti kami memang menerima orang dari berbagai latar belakang pendidikan. Kami bergerak di bidang strategi perusahaan, struktur organisasi, digital.”
Di antara beberapa hal tadi IT dan digital yang menonjol itu identik dengan dunia laki-laki. Bagaimana kemudian membangun kepercayaan atas rekan kerja dan sejawat di banyak belahan dunia bahwa perempuan juga pantas berada di posisi Anda sekarang?
“Sebenarnya di Accenture ini kami sama sekali tidak membedakan gender, disability, warna kulit, dan sebagainya. Karena kami mempunyai program yang namanya Inclusion and Diversity jadi semua orang itu sama, setara. Semua orang bisa berhasil dan bisa mencapai apa yang diminta.”
Bagaimana menerapkannya sehari-hari?
“Menerapkan sehari-hari sebenarnya kalau kami lihat dari waktu kami merekrut orang-orang yang baru lulus dari universitas, perempuan dan laki-laki ya sama-sama. Asal mereka bisa lolos tes dan mereka memunya indeks prestasi yang cukup itu mereka bisa, diperlakukan sama. Jadi tidak ada perbedaan.”
Anda tadi menyebutkan bahwa ini adalah salah satu prinsip yang dipegang perusahaan adalah memberikan kesetaraan. LGBT adalah salah satu kelompok yang selama ini tidak mendapat tempat, mungkin di Accenture Indonesia belum tampak. Bisa diceritakan bagaimana Accenture menjadi tumbuh dan bisa diterima oleh banyak karyawan lain?
“Karena berdasarkan riset yang kami lakukan dengan beragamnya identitas setiap manusia itu saling memberikan nilai tambah. Jadi bukan berarti kalau perusahaan ini semua isinya laki-laki itu akan lebih hebat, justru sebaliknya karena perempuan, disability, LGBT mereka semua mempunyai nilai tambah masing-masing yang mengkomplemen satu dengan yang lainnya. Jadi apa yang kami sebut High Performance Company yang bertahan meskipun ada riak-riak ekonomi global yang berantakan dan sebagainya. Tapi itu menjadi sangat solid karena berbagai macam saling mengisi.”
Bagaimana kira-kira ini bisa ditularkan agar semua perusahaan juga memiliki sikap dan prinsip yang sama. Apa yang bisa dilakukan bahwa LGBT kemudian kelompok penyandang disabilitas punya potensi yang sama tanpa memandang sebelah mata?
“Jadi sebenarnya pertama kali kita melihat fakta dari survei bahwa High Performance Company adalah yang inklusif, diverse. Kedua adalah setiap perusahaan kalau memang mau high performance dan solid untuk menghadapi masa depan mereka juga harus terbuka, memang itu tidak hanya bisa dislogankan saja. Karena kami dulu 10-15 tahun yang lalu kami mulainya dengan slogan, tapi slogan saja tidak akan membantu.”
Proses transfer dari slogan menuju praktik bagaimana?
“Jadi dari slogan kami membuat inisiatif-inisiatif. Pertama kesetaraan wanita, kami melihat kenapa kok wanita tidak banyak maju di tingkat posisi tertentu. Kami analisa, setelah kami analisa misalnya perempuan itu kalau sudah naik menjadi manajer biasanya mereka mulai berumah tangga punya anak. Apa kendalanya sehingga mereka banyak yang keluar, kami analisa ternyata mereka perlu punya sedikit fleksibel waktu karena harus mengasuh anak dan sebagainya. Kami buat programnya, tolong jangan keluar kita punya program yang fleksibel.”
Contohnya seperti apa program fleksibel itu?
“Misalnya kita bisa kerja dua hari di rumah tiga hari di kantor atau setengah hari di rumah setengah hari di kantor. Jadi banyak karyawan kami yang memilih hari-hari tertentu mungkin kerja di rumah. Karena yang kami perlukan adalah mereka mengirim hasil kerja, kan sekarang sudah zamannya teknologi. Sekarang semuanya bisa, itu bisa dilakukan karena seperti yang saya katakan kalau hanya slogan ya susah.”
Sayangnya belum terlalu banyak di Indonesia ya?
“Kalau saya melihat sudah cukup meningkat dibandingkan beberapa tahun lalu, zamannya sudah berubah.”
Termasuk tinggal yang LGBT dan penyandang disabilitas yang harus digerakkan ya?
“Jadi sebenarnya kalau kami di Indonesia mengenai LGBT dan disability kami sudah mengadakan wadahnya. Kami sudah menawarkan tapi sayangnya mungkin banyak yang belum mau menampilkan diri ke luar. Tapi bagi kami itu tidak masalah karena misalnya mereka memisahkan antara personal dengan profesional ya tidak apa-apa. Tidak semua orang ingin mengedepankan perbedaan yang penting kita mempunyai wadahnya dan setiap orang tidak boleh merasa bahwa mereka itu tidak inklusif. Tapi kalau misalnya mereka ada masalah, merasa tidak dirawat secara equal itu ada wadahnya. “
Editor: Citra Dyah Prastuti