KBR, Jakarta – Masril Koto mendirikan Bank Petani pada 2006 silam lalu karena ada masalah di kampung halamannya, di Agam, Sumatera Barat. Mulai dari sulitnya petani mengakses fasilitas bank, kematian ibu dan anak, sulit membayar pajak bermotor, sulit punya jamban keluarga sampai anak-anak yang mesti ke sekolah sambil membawa beban berat di tas mereka.
Bank Petani yang dibesut Masril Koto lantas jadi solusi. Bank sudah berjalan selama 8 tahun dan kini Masril Koto punya cita-ita baru: membeli pesawat untuk mengangkut sayur produksi para petani.
Berapa banyak yang sudah menabung di Bank Petani? Ada berapa jumlah Bank Petani?
“Di seluruh Nagari yang ada di Sumatera Barat lebih kurang sekitar 580 lembaga.”
Yang sudah memanfaatkan baik tabungan maupun kredit berapa banyak?
“Kalau yang penerima manfaat lembaga kita ini ada 200 ribu petani baik anak-anak maupun orang tuanya.”
Modalnya benar sekitar Rp 150 miliar?
“Sekitar Rp 250 miliar, kemarin kami selesai RUPS.”
Kabarnya di sana ada tabungan untuk ibu hamil, tukang ojek. Ada apa saja di Bank Petani ini?
“Sebenarnya uang desa ini banyak ternyata. Salah satu kita di sana membuat produk tabungan, membuat produk tabungan itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Caranya gampang saja, tingginya angka kematian ibu dan anak, kita buat tabungan ibu hamil. Terus banyak motor ini yang tidak bayar pajak ya kita tabungan pajak motor untuk tukang ojek. “
Kalau ada persoalan baru lagi akan muncul lagi?
“Iya. Misalnya contoh yang baru ini yang menarik, kami ingin betul di desa itu seluruh sekolah anak-anak kalau pergi sekolah dia bawa iPad. Jadi tidak perlu lagi bawa-bawa buku begini, buku ini berat dan ini tidak dibaca oleh mereka semua. Masak anak umur 12 tahun dikasih beban 12 kilogram, makanya anak-anak tidak cerdas karena beban-beban yang dikasih.”
Lalu apa yang Anda temukan untuk anak-anak itu?
“Saya ingin membuat buku-bukunya itu bawa pakai iPad saja, kan bisa di-PDF-kan.”
Terus hubungannya sama bank untuk buku dan iPad bagaimana?
“Karena iPad ini ternyata mahal harganya ada sekitar sampai Rp 5 juta ke atas, dia tidak punya uang. Terus kita membuat tabungan kepemilikan iPad untuk anak-anak petani, caranya dari dia kelas 1 SD sampai dia kelas 6 dia menabung dan itu terbukti karena dia punya keinginan. Karena saya beli iPad itu memberikan contoh kepada mereka, saya isilah game-game awalnya supaya dia pandai melihat bagaimana cara membukanya menarik bagi mereka. Anda tahu apa yang terjadi, dia kurangi jajannya dan uang itu yang dia tabung supaya dia memiliki iPad.
Jadi akan muncul lagi persoalan-persoalan lain akan muncul lagi solusi-solusi melalui Bank Petani ini ya? Jadi tidak hanya untuk petani?
“Contoh sekarang yang sedang kita rancang satu lagi yakni kredit WC. Karena selama ini orang meminjam untuk usaha saja, sudah kita kasih tapi kadang-kadang kita lihat ke rumah dia WC saja tidak punya dia. Ternyata dia memang karena kebiasaan dan budaya. Kita ingin disamping dia usahanya berkembang tapi persoalan yang satu itu juga dia perhatikan. Masalahnya kalau dia ambil uang dagangannya ini untuk membuat WC maka habislah modal dia. Disamping itu lembaga ini juga aturannya kita buat sendiri.”
Fleksibel katanya, sesuai dengan kearifan lokal. Maksudnya seperti apa?
“Sederhananya kalau orang meminjam kan mesti punya jaminan, kita jaminan tidak ada tapi adanya penjamin. Penjamin ini kita ambil dari mimik, mamaknya atau datuk-datuknya.”
Jadi mereka juga mengawasi supaya kreditnya lancar begitu?
“Mimik, mamak, dan datuk-datuknya inilah yang mengawal anak kemenakannya ketika dia meminjam di lembaga itu. Terus juga tidak seluruh petani juga yang jujur, kalau ada yang nakal atau ada yang tidak punya itikad baik untuk mengembalikan kita hukum dia.”
Hukumannya apa?
“Hukumannya dia diumumkan di masjid setiap hari Jumat. Terus diajak jamaah masjid untuk lihat apa yang mau kita ambil dari rumah dia. Jadi penyitaan tetap ada tapi yang kita sita ini panci prioknya.”
Dengan begitu kreditnya lancar ya?
“Karena ini persoalan harga diri, masak saya cuma utang Rp 1 juta yang lihat satu masjid hari Jumat lagi. Alhamdulillah karena kita memakai aturan seperti ini yang namanya macet dengan ukuran kita tidak ada, nol kita macet yang terlambat bayar ada, itu biasa saja yang terpenting dia datang ke lembaga kita menjelaskan bahwa bulan depan ini saya tidak membayar.”
Anda tidak lulus SD, bagaimana caranya Anda belajar keuangan? Sekolah lagi atau bagaimana?
“Saya sekolahnya hanya sampai kelas 4 SD setelah itu berhenti macam-macam yang saya kerjakan. Akhirnya waktu saya mengikuti sekolah lapang pertanian, menurut saya menjadi insinyur ini tidak sulit sebenarnya. Buktinya saya bisa di sekolah lapang ini saya tahu mengenai hama, saya tahu mengenai ini ini. Sekolah lapang ini pertama yang mendidik saya banyak untuk bertanya. Karena di dalam metode sekolah lapang pertanian itu dia diajari disana bagaimana dia menganalisa, mengamati, dan lain-lain. Metode inilah yang saya bawa untuk penguatan lembaga keuangan ini, saya buat juga saya cari malah ada pensiunan bank yang orang kampung kita tanya juga. Jadi saya sebenarnya modal hanya keberanian untuk bertanya.”
Anda mendirikan lumbung pangan, lumbung pangan itu seperti apa?
“Lumbung pangan ini mirip dengan Bulog tapi kelasnya kecil. Bulog ini dia menampung hasil dari beras-beras berserakan. Ini masih uji coba, gudang Bulog itu sebenarnya sudah ada di desa, rumah petani itu gudang Bulog sebenarnya kita tumpangkan saja dia lima karung per rumah. Sebenarnya ini penyiapan cadangan pangan kalau terjadi sesuatu menyangkut dengan bencana di Sumbar. Di Sumbar ini tiba-tiba gempa, ini sebenarnya tujuan kita mendirikan lumbung pangan.”
Ingin apa lagi setelah lumbung pangan dan bank?
“Banyak sebenarnya ide dan pemikiran yang kita kembangkan. Terakhir saya mempunyai ide ingin memiliki pesawat, kita membeli pesawat untuk mengangkut sayur. Jadi dari Kabupaten Solok kita bawa ke Singapura sana. Ternyata persoalan sayur kita ini kenapa dia terombang-ambing harganya ini karena permainan orang saja, karena kita tidak langsung kepada orang yang butuh.”
Jadi Anda memangkas jalur distribusi yang panjang itu?
“Iya itu satu. Terus yang kedua sayur ketika kita bawa dari tempatnya itu masih segar kalau dengan pesawat, kalau dengan truk hancurlah dia.”
Sampai di mana cita-cita untuk mendapatkan pesawat ini?
“Ini yang sekarang kepada kawan-kawan komunitas petani kita, kita provokasikan terus. Karena beli pesawat itu tidak mahal, belinya paling sekitar Rp 10 miliar atau Rp 15 miliar. Sekarang kita punya Rp 250 miliar, artinya mengumpulkan uang petani untuk dia membeli kendaraan atau pesawat itu tidak sulit. Bawa sayur Kabupaten Solok ke Singapura, dari Singapura itu nanti kita bawa orang-orang pensiunan ini kita bawa dia ke rumah-rumah petani.”