Bagikan:

ICW: Hakim yang Tak Kembalikan iPod Perlu Diragukan Integritasnya

Sikap hakim masih terbelah.

BERITA

Jumat, 02 Mei 2014 18:17 WIB

ICW: Hakim yang Tak Kembalikan iPod Perlu Diragukan Integritasnya

korupsi, ICW, iPod, hakim

KBR68H, Jakarta – Indonesian Corruption Watch (ICW) mendorong Komisi Yudisial untuk memasukkan nama-nama hakim penerima iPod dalam daftar hitam. Gadget produksi Apple yaitu iPod Shuffle 2GB ini diberikan kepada sejumlah hakim saat perhelatan pernikahan anak Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi di Hotel Mulia, Senayan, awal Maret lalu. Tapi nyatanya, sejumlah hakim menolak mengembalikan. Bagi ICW ini sudah jelas: integritas hakim patut dipertanyakan. 


Simak wawancara Sarapan Pagi dengan Koordinator Hukum ICW Emerson Yuntho.


Apa yang Anda harapkan kalau para hakim menolak mengembalikan iPod ini masuk dalam daftar hitam?


“Kalau hakim-hakim yang menolak iPod melaporkan iPod sebagai bentuk gratifikasi ke KPK. Ini bentuk dari cacat etika, bahkan tindak pidana korupsi. Karena posisi hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi dan kemudian dia juga akan mendaftar ke jenjang yang lebih tinggi, Hakim Agung. Makanya kita minta mereka yang cacat integritas ini untuk dimasukkan sebagai daftar hitam ke Komisi Yudisial yang nantinya akan melakukan proses seleksi Hakim Agung. Jadi mereka ini harusnya dicoret sebagai calon Hakim Agung kalau betul-betul tidak ingin menyerahkan iPod tersebut kepada KPK. Apalagi KPK sudah bilang bahwa iPod tersebut masuk daftar haram untuk diterima. 


Kalau sanksinya menurut Anda apakah hanya berupa sanksi sosial atau ada sanksi lain yang bisa diterapkan?


“Biasanya itu langkah awal ya. Karena semua cita-cita hakim adalah menjadi Hakim Agung atau Hakim Mahkamah Konstitusi kalau yang terbaru. Makanya bagi kami ya ini pasti jadi pembelajaran bagi hakim-hakim untuk berhati-hati menerima apapun segala pemberian yang itu berkaitan dengan jabatan harusnya dia dengan santun bisa menolak. Harus ada standar etika yang tinggi untuk menerima, melakukan sesuatu yang ini punya konflik kepentingan dengan pekerjaannya.” 


Kalau Anda liha soal kejujuran hakim apakah bisa ini disamaratakan bahwa mental hakim yang dimiliki Indonesia masih seperti itu? 


“Kecenderungan yang kita lihat begitu. Hakim selalu agak normatif, beberapa alasan yang disampaikan oleh para hakim adalah harganya tidak sampai Rp 500 ribu dan kemudian dia mengacu kepada Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Padahal jangan melihat belinya tapi lihat dari harga pasaran. Karena kalau beli dari menafsir harga iPod dari belinya ya bisa saja waktu beli ada diskon. Orang akan tahu bahwa iPod tersebut harganya Rp 700 ribu atau Rp 600 ribu. Itu pastinya di atas kesepakatan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial soal pedoman perilaku hakim. Bagi kita hakim ini garda terdepan bagi upaya penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Kalau dia sendiri cacat hukum jadi dengan siapa kita berharap bahwa keadaan ini bisa ditegakkan.”


Anda melihat ada sikap tegas dari MA soal ini?


“Sejauh ini sepertinya terbelah ya. Dari IKAHI itu kalau kita melihat Pak Gayus Lumbun, dia bilang akan serahkan itu ke KPK. Tapi beberapa hakim yang lain mau tidak mau harus tetap masuk daftar hitam. Saya sendiri juga tidak tahu apakah posisi Ketua MA itu posisi dia mendukung atau menolak. Tapi nampaknya kalau dilihat dari gejalanya ya dia adalah masuk golongan yang sebenarnya menganggap bahwa ini bukan gratifikasi.”


Apakah kurangnya kesadaran untuk memahami gratifikasi itu karena KPK hanya mengeluarkan ini sebagai seruan?


“Lagi-lagi memang ketika ada fatwa haram iPod ini disampaikan oleh KPK. Kewajibannya itu ada di penerima gratifikasi, ada jangka waktu 30 hari dalam Undang-undang ketika terima gratifikasi harus dilaporkan. Nanti KPK yang akan tunjukkan apakah disita negara atau dikembalikan, kalau itu tidak dilakukan oleh penerima itu dianggap sebagai suap dan mereka yang tidak menerima itu bisa dijerat bahkan tindak pidana gratifikasi.” 


Lalu soal sikap Komisi Yudisial sendiri soal ini bagaimana? Sudah disampaikan wacana ini dari ICW ke mereka?


“Belum kita sampaikan karena memang wacana ini baru muncul kemarin, mungkin dalam waktu dekat kita coba koordinasi dengan Komisi Yudisial.” 


Ini targetnya tentu pembelajaran untuk para hakim supaya kejadian serupa tidak terjadi lagi. Tapi kalau melihat dari gaya hidup hakim-hakim yang ada di Indonesia terlalu berlebihan atau seperti apa?


“Kalau kita lihat ini pemandangan yang kontras dalam beberapa waktu terbaru bagaimana hakim di pengadilan Medan panitera itu “mogok”. Karena dia melihat kesenjangan antara panitera dengan hakim, gaji mereka bisa sepuluh sampai dua puluh kali lipat. Artinya sebenarnya dari gaji hakim saja sebenarnya sudah cukup untuk hidup sederhana, bisa menabung.”


“Cuma memang lagi-lagi semua tergantung dari gaya hidup masing-masing hakim, kalau gaya hidupnya mewah gaji berapa pun itu justru tidak akan menyelesaikan persoalan. Jadi ada korupsi by need dan korupsi by greed, korupsi by need itu ya karena kebutuhan ya dia harus korupsi. Tapi dengan adanya renumerasi yang cukup tinggi buat hakim itu sebenarnya cukup untuk mengurangi nafsu korupsi. Tapi kalau korupsi by greed, karena rakus, seberapa pun gaji mereka tetap akan melakukan tindak korupsi. Bahkan dari beberapa candaan gaji hakim yang besar itu menjadi standar minimal bagi suap, Anda jangan suap saya Rp 50 juta dong gaji saya saja Rp 50 juta.” 


Apakah ada niat juga ICW menggedor MA langsung?


“Di Mahkamah Agung sendiri juga beberapa masih keras kepala bahwa ini bukan satu yang dianggap gratifikasi. Ada beberapa yang mengkaitkan dengan etika orang timur, tidak pantas mengembalikan suatu pemberian. Saya sendiri agak pesimis dengan teman-teman di Mahkamah Agung apakah dia mau menyerahkan atau tidak. Kalau pemimpinnya susah diharapkan saya juga agak pesimis dorongan dari publik bisa dilakukan, tapi mudah-mudahan dia berubah dan mau. Kalau Komisi Yudisial sudah ada rencana cuma Mahkamah Agung kita mau menemui siapa karena Ketua Mahkamah Agung sibuk, kemudian saya tidak yakin apakah kita diterima atau tidak tapi paling tidak kita juga coba ke sana.”    



Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending