Meski batas waktu pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan calon wakil presiden makin dekat, Partai Golkar kelihatannya belum bisa memutuskan akan berkoalisi dengan siapa. Sampai sekarang, Abu Rizal Bakrie masih terus melakukan pertemuan, baik dengan kubu Jokowi maupun kubu Prabowo.
Tapi Yunarto Wijaya dari Charta Politika cenderung membaca arah Golkar yang akan berlabuh ke PDIP. Dalam Perbincangan di Program Sarapan Pagi (16/5), Yunarto memaparkan pilihan-pilihan yang dimiliki Golkar.
Partai Golkar sampai sekarang masih menjadi kunci ke arah mana koalisi dua atau tiga kubu ini, Anda melihat kemana Partai Golkar akan berlabuh?
“Memang posisi Partai Golkar akan menentukan apakah pertarungan pilpres ini menjadi head to head atau menjadi tiga poros. Kita tahu ini akan menentukan apakah pertarungan pilpres akan menjadi pertarungan sprint saja atau marathon. Karena kalau tiga pasang kemungkinan kalau kita simulasi survei apapun pasti akan dua putaran, agak sulit satu pasang mengejar satu putaran. Golkar kita tahu dari 2004 sampai sekarang sulit ditebak, masalah mereka tidak punya kader yang mumpuni untuk menjadi calon terkuat. Tapi kalau kita baca 2004-2009 biasanya Golkar akan ikut bertarung walaupun ujungnya ketika kalah pun dia selalu menjadi bagian dari kekuasaan. Saya tidak tahu pola itu bisa terulang atau tidak tetapi kalau kita baca agak sulit saat ini buat Golkar ikut bertarung dengan poros baru.”
Selain karena tidak ada capres yang kuat dari mereka faktor apa?
“Faktor pertama capres yang tidak cukup kuat. Kedua skenario yang coba dibangun dari poros ketiga ini bukan inisiatif Golkar itu kata kuncinya dan kalau kita baca ini inisiatif Pak SBY. Inisiatif Demokrat untuk membuat poros baru dan kita tahu nama yang diajukan Sultan yang menurut saya dalam konstelasi internal Golkar tidak cukup menguntungkan posisi ARB. Artinya kalau kita berbicara mengenai pilihan sebuah partai harus kita sesuaikan juga dengan rezim siapa yang sedang berkuasa di partai itu. Saya tidak melihat nama Sultan ini masuk dalam skenario ARB baik dalam konteks untuk kepentingan ambisi kekuasaannya atau dalam konteks restrukturisasi partai ke depan. Kita tahu tahun depan akan ada Munas Golkar lagi untuk memilih yang baru, ini menurut saya tidak dalam skenario ARB. Makanya kita lihat pertemuan dengan Mega, Jokowi sepertinya lebih terasa auranya dibandingkan dengan pertemuan Pak SBY sendiri. Saya melihat dalam bahasa komunikasi politik ya sepertinya Golkar cenderung akan mengarah ke PDIP walaupun ini hasil keterpaksaan, kegagalan Ical menjadi capres, kegagalan bernegosiasi dengan Prabowo akhirnya mereka masuk dalam barisan merah. Walaupun ada hal teknis yang menurut saya tidak mudah ditemukan ya pilihannya tiga yaitu Golkar masuk pertama dengan pilihan dia menyodorkan nama cawapres dengan bargaining position kami adalah partai terbesar kedua dibandingkan Nasdem dan PKB misalnya. Kedua mereka bisa dengan pilihan yang lebih moderat ketika mengetahui ada nama JK dalam pilihan cawapres Jokowi, kalau betul antara JK dan Samad ya mereka kemudian bernegosiasi dan bisa sepakat. Pilihan ketiga betul-betul jadi followers, hanya mengikuti skenario apapun dimainkan oleh PDIP menjadi penonton walaupun disitu akan ada negosiasi mengenai menteri dan hal-hal lain. Saya melihat itu saja pilihannya dan sepertinya masih dilematis, artinya tidak mudah juga buat ARB misalnya melakukan deal dengan JK kemudian sepakat bahwa pilihan JK adalah pilihan Golkar. Kalau memaksakan pilihan pertama saya pikir bisa jadi blunder, Ibu Mega jangan-jangan langsung menutup diri karena itu akan merugikan skenario PDIP sekian lama. Kalau memilih pilihan ketiga juga bagaimana mereka harus menghitung kompensasi di level menteri atau di hal lain. Hal teknis itu saya tidak bisa menduga tapi pilihannya menurut saya terkuat di PDIP.”
Soal tidak solidnya suara di internal PDIP sendiri dalam menerima Golkar, Anda melihat ini bisa jadi persoalan bagi koalisi ke depan?
“Bukan hanya internal PDIP. Kita harus melihat sekarang ini bukan dalam konteks hubungan bilateral yang coba dibangun antara Golkar dengan PDIP. Disitu PDIP bukan lagi menjadi variabel moralitik tapi sudah ada Nasdem, PKB. Jadi betul saya yakin di internal PDIP ada penolakan, apalagi di dua partai lain yang pasti merasa terganggu dengan skenario yang sudah dibangun bersama-sama PDIP. Tentu saja biasanya partai pendukung lebih nyaman kalau koalisinya ramping, pasti ini akan berkaitan juga dengan persinggungan bagi-bagi kekuasaan.”
Begitu Golkar masuk apalagi ini partai pemenang kedua pasti akan terganggu ya?
“Betul lebih besar dibanding PKB dan Nasdem. Ini menurut saya yang tidak mudah untuk kemudian diketemukan apalagi kalau Golkar ingin mengikuti skenarionya itu menurut saya sulit dan berlebihan.”
Sebetulnya PDIP masih tetap nyaman kalau hanya tiga partai ini?
“Terbukti mereka berani melakukan deklarasi terlebih dahulu pada hari Rabu kemarin. Artinya mereka sudah siap dengan koalisi yang tidak mayoritas, sudah siap dengan koalisi ramping yang tidak mencapai angka 50 persen. Dengan kata lain ketika mereka ingin masuk ke dalam pilihan yang lebih moderat pun mereka mengatakan silahkan partai lain masuk pasca kami deklarasi tetapi dengan prasyarat ikuti aturan main yang sudah terlanjur kami sepakati bertiga.”
Anda melihat PDIP tersandera dengan rencana masuknya Golkar?
“Saya berharap tadinya tidak dan itu akhirnya bisa dibuktikan kalau rencana awal penunjukan cawapres kita mendengar dari minggu lalu. Ada yang mengatakan pada saat deklarasi dengan Nasdem dan PKB, diundur lagi jadi Jumat suci hari ini yang terakhir kita dengar tanggal 20 walaupun dengan alasan memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Tapi saya melihat indikasi ada sebuah perhitungan lain sedikit banyak mereka terbawa arus Golkar juga, mungkin salah satunya kepentingan pemenangan mesin politik. Karena kita harus mengakui juga Jokowi sekarang tidak berada dalam posisi yang 100 persen aman seperti orang mengatakan tiga bulan lalu the presidential election its over sekarang tidak, tren Prabowo terus naik walaupun jauh di bawah Jokowi. Kedua poin paling penting adalah kalau berbicara mengenai Golkar yang kemudian akan ikut dalam poros Demokrat walaupun misalnya poros Golkar-Demokrat ini bisa dipastikan kalah kalau kita membaca di atas kertas. Tapi ini akan membuat proses pilpres menjadi dua putaran dan itu akan merugikan capres yang saat ini memimpin yaitu Jokowi. Ketika sudah masuk dua putaran kita tidak pernah tahu bagaimana efek psikologis dari pemilih yang mungkin saja berubah. Itu menurut saya sekarang diperhitungkan PDIP secara realistis dalam menyikapi Golkar. Intinya saya melihat segala sesuatu masih cair, bahkan kalau kita membaca pemetaan cawapres dengan kondisi terakhir walaupun sudah dikerucutkan hanya JK dan Samad menurut saya bukan tidak mungkin lagi berubah dengan perhitungan terakhir, mungkin akan muncul nama-nama baru juga termasuk Prabowo-Hatta pun sekarang menurut saya tidak lagi solid 100 persen. Karena PPP dan PKS kita lihat seperti mencoba tarik ulur juga, saya pikir mereka juga begitu melihat arah permainan Golkar. Terbukti Prabowo setelah ada pertemuan Megawati dan ARB langsung menyambangi kembali ARB. Itu menurut saya sesuatu juga yang bisa disimpulkan masih ada yang cair, tidak sekadar pertarungan Jokowi versus Prabowo saja saat ini.”
Terkait sosok Jokowi dalam konteks memuluskan perjalanan dia nanti, Jokowi sampai saat ini masih terbaca sebagai sosok yang lebih mengedepankan cawapresnya adalah orang yang memang berintegritas dan bisa bekerja. Dengan situasi di internal PDIP dan konteks Golkar yang arahnya kesana seperti apa?
“Saya percaya Jokowi orang yang lebih mengedepankan faktor chemistry, kenyamanan bekerja. Karena dia juga bukan manusia politik yang terbiasa dengan politik akomodatif, tetapi sayangnya kita tahu bagaimana internal partai ini tidak sepenuhnya bisa dikuasai oleh capres. Berbeda dengan Prabowo ketika dia capres tetapi sekaligus “pemilik” partai. Kita tahu peran media sangat besar di sini dan itu implikasinya bukan hanya dalam konteks hubungan Mega dengan Jokowi dalam penentuan kebijakan. Di situ ada Puan, beberapa nama lain yang cukup berpengaruh. Ini yang menyebabkan menurut saya juga Jokowi sedikit banyak akhirnya juga memiliki ruang gerak yang terbatas. Walaupun saya harus mengatakan sepertinya dalam konteks cawapres Jokowi kalau dalam bahasa politik atau statement yang dikeluarkan ingin menegaskan jangan mengganggu saya. Saya cukup percaya bahwa itu akan terjadi, karena beberapa kali ia menegaskan ketika sudah tiga nama saya yang akan memutuskan karena saya yang akan bekerja, bukan partai. Jadi mungkin saya melihat akan terjadi sesuatu yang lebih alot dalam level kompromi di level pembagian menteri, bukan di level cawapres. Saya yakin cawapres mungkin masih tetap menjadi pilihan dari Jokowi, mungkin Jokowi katakan ikut permainan politik tarik ulur dalam konteks waktu. Artinya Jokowi akan melihat bagaimana poros ketiga jangan sampai terbentuk karena akan berbahaya buat dia sehingga manajemen waktu pengambilan keputusan itu menjadi sangat penting.”
Golkar di Persimpangan Dua Koalisi Pendukung Capres
Meski batas waktu pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan calon wakil presiden makin dekat.

BERITA
Jumat, 16 Mei 2014 18:32 WIB


golkar, koalisi, pilpres, Abu Rizal Bakrie, Yunarto Wijaya
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai