Bagikan:

Mempertanyakan Nasib RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

KBR68H, Jakarta- Kita tentu masih ingat detik detik reformasi tahun 1998 lalu. 15 tahun lalu, tepat tanggal 20 Mei kala itu mahasiswa menduduki DPR, menuntut turunkan harga dan mendesak Soeharto mundur dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun.

BERITA

Senin, 20 Mei 2013 15:20 WIB

Mempertanyakan Nasib RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

RUU KKR, reformasi, komnas HAM


KBR68H, Jakarta- Kita tentu masih ingat detik detik reformasi tahun 1998 lalu. 15 tahun lalu, tepat tanggal 20 Mei kala itu mahasiswa menduduki DPR, menuntut turunkan harga dan mendesak Soeharto mundur dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun. Momentum ini menguat sejak 12 Mei 1998 saat empat mahasiswa Trisakti tewas akibat peluru aparat. Dan berakhir dengan lengsernya Soeharto pada tanggal 21 Mei, 15 tahun silam. Untuk mengungkap kejelasan kasus tersebut, pemerintah dan DPR pernah menggodok RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ini mandek.

Kepala Biro Pemantauan dan Dokumentasi KONTRAS, Feri Kusuma berpendapat, RUU KKR ini penting untuk disahkan oleh DPR. Kata dia, pengungkapan kebenaran terhadap kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mutlak dan perlu segera dituntaskan.

_Jika kasus pelanggaran hak asasi manusia pada rezim ordse baru tidak diselesaikan secara komperehensif, maka rantai kekerasan akan terus terjadi sampai sekarang. Untuk itu perlu pengungkapan kebenaran secara resmi lewat pembentukan UU KKR yang dulu dibatalkan oleh MK, karena kasus masa lalu masih mengalami jalan buntu. Pemerintah SBY sampai hari ini tidak punya itikad baik untuk mengungkap kasus ini?," ujar Feri dalam acara Diskusi Reformasi Hukum dan HAM KBR68H.

Jika kasus ini tak juga diselesaikan, ujar Feri, maka hak-hak korban tidak akan terpenuhi, dan pelaku akan semakin leluasa bermain di berbagai sektor, baik politik, maupun ekonomi.

"Saat ini banyak pelaku kejahatan masa lalu yang menjabat posisi penting di pemerintahan dan partai politik. Artinya, pada pemilu 2014 mereka juga akan ikut bertarung untuk merebut posisi penting di pemerintahan. Sehingga masa depan hak asasi manusia, apabila kasus masal lalu tidak segera dituntaskan, akan semakin suram," keluh feri.

Bekas Ketua Pansus RUU KKR, yang juga anggota Komisi Pertahanan DPR Sidarto Danusubroto menjelaskan, RUU KKR tersebut dibentuk pada tahun 2004, dan itu merupakan keniscayaan. Indonesia merupakan negara ke 41 yang membuat UU tersebut. Namun, UU yang sudah kita ajukan sejak 10 bulan pada waktu itu tak juga ditandatangani oleh Presiden, dan kemudian dibatalkan MK karena mendapat gugatan, dan melanggar UUD 1945.

"Banyak ahli hukum waktu itu, yakni Todung Mulya Lubis, Mahfud MD, dan Adnan Buyung Nasution juga turut memperingatkan, bahwa pembatalan UU ini adalah melanggar asas hukum ultra petita. Imbasnya Komisi Kebenaran yang sudah dibentuk dan disusun pada waktu itu raib. Jadi, pengungkapan kebenaran masa lalu, amnesti, ganti rugi, rehabilitasi merupakan satu paket, dan itu berlaku untuk semua negara. Jika ini ditutup, atau tidak dibuka, maka tidak akan pernah selesai!," terang Sidarto.

Ia pun turut menyesalkan dengan masih banyak pelaku yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu yang saat ini menjabat di pemerintahan. Namun, Sidarto tidak menyebut siapa para pelaku itu.
"Yang dulu melanggar HAM saat ini menjabat di pemerintahan. Lantas, bagaimana Indonesia bisa menyusun sejarah dengan lurus, kalau sejarah masa lalu tidak pernah diungkapkan?," sesalnya.

Menurut Sidarto, UU tersebut bisa disusun kembali. Karena ini sifatnya universal, dan semua negara memilikinya. Terutama dari negara yang dari otoriter ke demokrasi.

"Yang menjadi kendala adalah, dulu ketika dibentuk, saksi dan korban itu masih hidup, dan kini banyak yang meninggal dan sedikit yang tersisa. Jika dulu tidak dibatalkan, maka banyak saksi korban yang bisa dimintai keterangan untuk mengungkap kebenaran dengan lebih baik. Yang jelas RUU KKR ini perlu untuk dibentuk kembali!," tutur bekas ajudan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, ini.

Ia menilai, Badan Legislatif DPR saat ini masih mengabaikan RUU KKR ini. Padahal RUU KKR adalah sebuah keniscayaan yang harus dimiliki oleh Indonesia. Untuk itu DPR harus memasukkan ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bukan malah membahas UU yang dinilai masih kurang penting untuk dibahas.

"Baleg DPR harus terpanggil untuk membahas ini, dan memasukkannya dalam prioritas undang-undang yang harus segera dibahas. Bukan malah membahas UU yang tidak perlu, namun diperlu-perlukan. UU ini perlu dimiliki," tegasnya.

Fraksi PDIP, kata Sidarto, tidak memiliki banyak kekuatan untuk mendorong agar RUU KKR ini kembali dibahas di DPR.

"Bagaimanapun kerasnya kita berteriak di DPR, karena kita hanya fraksi minoritas yang tidak tergabung dalam Setgab koalisi, bagaimana suara kita bisa didengar? Karena kekuatan kita hanya seperlima dari DPR," kata Sidarto.

Menurut LSM KONTRAS, pengabaian penuntasan RUU KKR di DPR bukti tidak adanya itikad baik dari pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

"Padahal di Aceh, ada perjanjian Helsinki yang mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) di tingkat lokal. Nah, KKR di tingkat lokal yang diamanatkan dalam UU Pemerintah Aceh itu merujuk pada UU KKR Nasional. Nah, yang jadi masalah, UU ini tidak ada hingga hari ini. Ada indikasi dari parlemen untuk mengulur waktu dalam penyelesaian kasus ini," ujar Kepala Biro Pemantauan dan Dokumentasi KONTRAS, Feri Kusuma.

Kelambatan upaya penuntasan kasus ini melalui UU KKR, akan membuat korban semakin lemah, lelah dan meninggal karena tua.

Sementara itu, anggota Badan Legislatif (Baleg) dari Fraksi Golkar, Poempida Hidayatullah mengakui jika RUU KKR belum menjadi prioritas dari 70 prolegnas yang menjadi prioritas saat ini. Untuk itu, ia meminta LSM dan masyarakat untuk melakukan tuntutan ke DPR, agar UU tersebut bisa menjadi prioritas di DPR.

"Kita siap saja membahas RUU KKR tersebut. Namun, hal itu sepertinya akan sulit terjadi karena saat ini mendekati tahun politik 2014. Sehingga banyak anggota DPR yang sibuk," kilah Poempida.

Namun, ia mengakui bahwa UU tersebut perlu untuk dibentuk. Meski ia baru mengetahui adanya UU itu. Ia menilai, harus ada lembaga yang bertanggung jawab dalam hal ini.

"Jangan sampai hal ini terjadi kembali di kemudian hari. Untuk itu harus ada lembaga yang bertanggung jawab untuk rekonsiliasi tersebut," terang Poempida.

Kepala Biro Pemantauan dan Dokumentasi KONTRAS, Feri Kusuma menegaskan, saat ini pihaknya sudah melihat dominasi militer dalam berbagai kasus pelanggaran HAM yang saat ini terjadi, meski kadang tidak secara langsung. Semisal, yang terjadi di Lapas Cebongan, beberapa waktu lalu.  Untuk itu, ujar Feri, selama kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak diselesaikan, maka rantai kekerasan ini akan terus terjadi, dan kemungkinan juga akan memunculkan kasus baru di kemudian hari.

Editor: Doddy Rosadi

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending