Bagikan:

Kasus Syiah Sampang, Semua Pihak Harus Diajak Dialog

KBR68H, Jakarta - Sejak dua tahun lalu sekitar 400 warga Syiah di Sampang, Jawa Timur mesti mengungsi.

BERITA

Kamis, 23 Mei 2013 16:58 WIB

Author

Yudi Rahman

Kasus Syiah Sampang, Semua Pihak Harus Diajak Dialog

syiah, sampang, dialog, solusi

KBR68H, Jakarta - Sejak dua tahun lalu sekitar 400 warga Syiah di Sampang, Jawa Timur mesti mengungsi. Pasalnya, perkampungan mereka sebelumnya dibakar oleh massa dari aliran  Suni  yang dipimpin Rois. Kelompok ini juga membakar sekolah dan musholla milik tokoh Islam Syiah, Tajul Muluk di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang.

Kelompok inipun menjarah harta warga syiah. Penyerangan serupa terulang pada Agustus tahun lalu. Serbuan ribuan orang menewaskan seorang dari kelompok minoritas Syiah. Dua tahun sengsara di lokasi pengungsian, Pemkab Sampang malah berencana memindahkan mereka dari kampung halaman. Rencana ini tegas ditolak. Pada 14 Mei lalu, mereka menemui Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie untuk menolak relokasi itu. Dan menurut rencana perwakilan pengungsi Syiah juga akan mengirimkan surat keprihatinan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam perbincangangan khusus KBR68H bekerjasama dengan Tempo TV membicarakan nasib dan penyelesaian konflik dan masa depan masyarakat Syiah di Sampang, Madura. Perbincangan yang dipandu oleh penyiar Melly Cyhintia bersama narasumber Eva Kusuma Sundari Anggota Komisi Hukum DPR, Hertasning Anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Unversalia dan juga Putut Budi Santoso Ketua Tim Penanggulangan Konflik sosial Pemerintah Kabupaten Sampang.

Hertasning, Anggota Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Unversalia mengakui masyarakat atau pengungsi Syiah di Sampang yang sudah berada di pengungsian selama 9 bulan mengalami intimidasi agar mau direlokasi. Bahkan pemerintah Kabupaten Sampang menghentikan bantuan agar masyarakat Syiah direlokasi atau berpindah mahzab menjadi Sunni.

” Kami sudah dua tahun bersama pengungsi dan mengikuti kasus ini. Ini jelas yang bukan pertama kali. Ini adalah upaya keempat dari Pemerintah Kabupaten Sampang menghentikan bantuan kepada pengungsi. Inilah cara negara yang menaklukan warga negaranya agar mengikuti kebijakan Pemkab Sampang,Saya tidak tahu ini adalah sebuah kebijakan yang harus kita lakukan dalam penyelesaian konflik beragama. Isu relokasi bukan isu yang harus ditawarkan, yang harus dibangun dalam konflik seperti ini adalah rekonsiliasi,” jelas Hertasning.

Sementara itu Putut Budi Santoso, Ketua Tim Penanggulangan Konflik Sosial Kabupaten Sampang menjelaskan soal nasih pengungsi Syiah  di Sampang. Menurut Putut, banyak masyarakat yang tidak bisa menerima kembalinya para pengungsi syiah Sampang.

” Ada penolakan dan meminta warga Syiah di pengungsian di relokasi. Mereka yang menolak itu adalah kelompok ulama se-Madura. Kita ingin memanusiakan manusia, kalau sekelompok ini tidak bisa diterima kelompok lainnya. Apakah ada jaminan untuk mereka, jadi ini hanya untuk kemanusiaan saja,” kata Putut.

“Kami sudah melakukan mediasi dalam waktu sembilan bulan ini. Kalau belum berhasil kan ini namanya proses. Dalam waktu sembilan bulan kita sudah lakukan mediasi yang sudah dilakukan Pemkab. Kita rasa sudah lebih dari cukup, kita tidak hanya berhenti di situ, kita juga menempuh mediasi dan rekonsiliasi. Siapa yang bisa menjamin keamanan kalau mereka kembali ke desanya,” jelas Putut saat ditanya soal alasan melakukan relokasi tanpa melakukan proses rekonsiliasi.

Herstasning dari YLBHU beranggapan kasus ini terjadi sebenarnya adalah keadaan realitas masalah sosial yang diusik oleh ustadz Tajul Muluk. Kata dia, ada berbagai persoalan dan kebijakan Pemkab Sampang yang coba dibenahi oleh Tajul.

“Ada tiga hal yang terlihat dari pola dakwahnya, dia mengajarkan pentingnya pendidikan, kedua dia minta percaya kepada sekolah negeri, sekolah negeri itu beragama. Sikap ini mengusik ulama dan pemilik sekolah agama swasta, ini yang tidak banyak diungkap oleh masyarakat dan media. Ustads Tajul Muluk menjelaskan banyak masyarakat yang bikin acara maulidan malah menyusahkan masyarakat itu sendiri. Itu yang coba dimanusiakan,” ucapnya.

Sementara itu Eva Kusuma Sundari Anggota Komisi Hukum DPR dan juga bekas anggota pansus penanganan konflik sosial beranggapan pemerintah daerah harus melakukan pencegahan dan mediasi.

“Pemkab harus melakukan mediasi secara manusiawi ke semua pihak. Seperti Mesuji, pemerintah harus segera memperbaiki rumah-rumah warga. Tidak boleh ada diskriminasi. Tidak ada rehabilitasi dan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Pemkab Sampang. Jangan hanya satu pihak yang diajak dialog, semua pihak harus diajak dialog,” ujar Eva.

“Saya sangat sedih masalah dengan latar belakang agama ini dianggap dampak dari otonomi daerah. Hal ini seolah-olah negara tidak ada hukum, semua orang boleh memutuskan apa pun. Tidak ada bencana dan tidak ada perang keputusannya direlokasi. Ini pengungsi kehilangan hak pendidikan,mencari nafkah, bersosialisasi. Mengapa pemerintah tidak menjamin dan tidak menjunjung prinsip hukum meskipun dalam otonomi daerah. Jangan jadi perampas hak masyarakat dan mengedepankan hak intoleran,” protes Eva soal lambannya proses penyelesaian Syiah Sampang.

Selain itu, dalam kasus ini ada kekosongan kepemimpinan di Pemerintah Daerah hingga pusat. Tidak ada kehadiran pemimpin dan tidak ada penghormatan kepada hukum, “Seperti di Cikeusik, pembunuhan dan perusakan terus terjadi. Hal ini juga membingungkan kepolisian dalam mengamankan, Polisi hanya berprinsip mengamankan hanya sebatas tidak ada benturan fisik. Pelaku pembakaran sampai pembunuhan bebas. Jadi ada disorientasi dalam penegakan hukum. Apar artinya demokrasi kalau tidak ada keadilan,” ujar Eva.

Untuk menyelesaikan masalah konflik Sampang, Komisi Hukum DPR sudah mengirimkan surat kepada pemerintah Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur untuk hadir ke DPR. Mereka diundang datang untuk penuntasan masalah konflik sosial agama yang sudah berlarut-larut.

“Pada 19 Mei lalu kita mengundang semua pihak dari mulai Bupati sampai Gubernur untuk menyelesaikan masalah ini. Kedua kelompok akan diundang agar ada perdamaian. Kita sudah kirimkan surat kepada mereka, tinggal menunggu respon mereka. Padahal syiah itu diterima diseluruh dunia, tidak dianggap sekte. Syiah di tempat lain tidak ada persoalan, mengapa hanya di Madura yang bergejolak. Krena tidak ada yang mengharamkan syiah ini. di OKI pun hak negara syiah diterima dan dilegitimasi. Ini preseden buruk bagi Demokrasi apabila pemerintah pusat membiarkan masalah ini,” kata Eva.

Lantas mengapa warga Syiah Sampang tidak mau dipindahkan atau direlokasi? Menurut Hertasning Ichlas dari YLBHU menilai, masyarakat memiliki ikatan budaya dan adat dengan tanah lelulur. Mereka beranggapan, tanah dan ladang menjadi bagian sakral yang tidak akan ditinggalkan.

“ Kuburan ladang dan leluhur sangat sakral. Mereka sudah lama hidup di sana, Syiah yang diajarkan sudah ada sejak tahun 1979. Mereka dulu bisa hidup damai. Baru tahun 2006 mereka terusik, seharusnya ada pemecahan masalah ini. Mereka bilang sudah 9 bulan berada di pengungsian, kata mereka lebih baik kami mati dari pada harus keluar dari sini,” kata Hertasning.

Editor: Doddy Rosadi

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending