Bagikan:

Kasus Siswi Toli-toli Bukti Peran Institusi Agama Semakin Melemah

KBR68H, Jakarta

BERITA

Kamis, 02 Mei 2013 08:06 WIB

Kasus Siswi Toli-toli Bukti Peran Institusi Agama Semakin Melemah

toli-toli, institusi agama, KPAI, Muhammadiyah

KBR68H, Jakarta – Awal Maret lalu, lima orang siswi di sebuah SMA di Toli-toli, Sulawesi Tengah merekam sebuah video. Mereka memanfaatkan waktu setelah selesai kelas sambil menunggu pelajaran tambahan untuk menghadapi Ujian Nasional. Video tersebut merekam gerakan mereka menggabungkan gerakan shalat dan tari dengan latar belakang lagu “One More Night” dari  grup band pop-rock  Maroon 5. Video tersebut kemudian diunggah ke laman internet Youtube dan menjadi konsumsi publik. 

Pihak sekolah yang mengetahuinya geram karena menilainya sebagai penistaan agama. Mereka memutuskan mengeluarkan kelima siswa dari sekolah. Akibatnya, mereka tak bisa mengikuti Ujian Nasional yang menentukan kelulusan siswa. Namun, setelah mendapat tekanan  mereka akhirnya mendapat izin mengikuti ujian nasional susulan. Kepala sekolah SMA tersebut bahkan melaporkan mereka ke polisi karena diduga melakukan tindak pidana penistaan agama. Hingga kini, laporan tersebut belum dicabut.

Anak-anak mempelajari agama dan cara beragama dari lingkungannya. Abdul Mukti, sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah, mengatakan, lingkungan mulai dari keluarga, sekolah hingga lingkungan virtual seperti jejaring sosial memiliki pengaruh paling dominan dalam menentukan cara sesorang memahami agama. Mukti mempertanyakan kondisi lingkungan sehingga mengakibatkan kelima siswa Toli-toli tersebut melakukan kegiatan iseng yang dianggap melecehkan agama.
 
“Guru agama semestinya mengajarkan sholat beserta dimensi batinnya, tidak hanya gerakan-gerakan sehingga anak-anak paham” kritik Mukti.
Menurutnya, anak-anak hanya memahami sholat sebagai ritual. Padahal, setiap gerakan memiliki makna spiritual tersendiri. Namun, kegagalan pendidikan ini mengakibatkan anak minim pemahaman. Akibatnya, ketika mereka penat menjelang ujian nasional, muncul keisengan untuk bermain dengan gerakan-gerakan tersebut.

Satgas perlindungan anak menilai, ada sejumlah pelajaran yang bisa dipetik dari kesalahan penanganan terhadap kelima anak ini.  Pertama, Satgas Perlindungan Anak M. Ihsan mencatat, kepala sekolah melakukan kesalahan dalam perlindungan anak karena membawa permasalahan ini ke ranah publik. Padahal, menurut Undang-undang tentag Perlindungan Anak, kepala sekolah bertanggungjawab atas apa yang terjadi di sekolah. Masih menurut produk hukum itu, kepala sekolah mestinya menyelesaikan permasalahan di sekolah secara internal.

“Ketika kepala sekolah membawa ke polisi dan publik, ini membuktikan ia tidak punya perspektif pelindungan anak” ujarnya. 

Kedua, kepolisian semestinya bisa mencabut berkas tanpa menunggu kepala sekolah menarik laporan. Kepolisian Sulawesi Tengah, melalui juru bicara Sumarno, mengaku kepolisian tidak bisa menghentikan pemeriksaan terhadap mereka karena laporan belum dicabut.  Di lain sisi, M Ihsan mengatakan, penyidik kepolisian memiliki hak untuk mencabut berkas laporan tersebut. Ia beralasan, acara pidana meminta anak-anak sebisa mungkin tidak menerima hukuman kurungan dan persidangan. Terlebih lagi ketika proses tersebut mengganggu anak. Ihsan mengatakan, “ini berdampak buruk pada anak-anak, seperti upaya bunuh diri”.
 
Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mukti menambahkan, peristiwa ini mencerminkan peran institusi agama yang semakin melemah.

“Padahal,masjid semakin bagus. Di kampung saya dulu, ketika maghrib anak-anak bermain mereka diperingatkan” ujarnya.

Menurutnya, ini mencontohkan bagaimana masyarakat aktif mendidik anak dan tidak tiba-tiba menyalahkan ketika anak melakukan kesalahan. Ia menambahkan, sekolah-sekolah kini mengejar target, seperti target kelulusan.
“Pendidikan nilai seperti pengamalan agama jadi dikesampingkan” keluhnya. “Sekolah maunya menerima anak baik. Padahal, sekolah semestinya tempat menjadikan anak baik” ujarnya.

Maka, ia menyarankan agar anak-anak tersebut mestinya mendapat didikan, bukannya dihukum. Sayangnya, Mukti mengeluhkan agama sekarang kurang memperhatikan anak-anak. Dengan kalimat retoris ia menanyakan, “Bgaimana acara-acara agama sekarang? Mana yangg untuk anak-anak? bagaimana agama mengajarkan anak-anak untuk taat pada agama?”

Ketua Satgas Perlindungan Anak M. Ihsan mengatakan, akar permasalahan di Toli-toli muncul karena orang tua memperlakukan anak-anak seperti miniatur orang dewasa. Padahal, anak-anak belum bisa menjadi subjek hukum. Anak-anak di bawah 12 tahun bahkan tidak bisa dipidanakan. Karena perlakuan tersebut, anak-anak menerima hukuman ketika melakukan kesalahan. Maka, ia menyarankan perubahan sikap ini untuk memperbaiki perlakuan pada anak-anak.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending