KBR68H, Surabaya-Beban biaya pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa diharapkan bisa berkurang dengan masuknya kerjasama industri dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Peran industri dalam membantu pembiayaan pendidikan tinggi ini diatur dalam UU Pendidikan Tinggi (DIKTI) No 12 Tahun 2012.
Sekretaris Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Patdono Soewignjo mengatakan industri masuk sebagai pihak yang diharapkan berkontribusi dalam pembiayaan pendidikan tinggi. UU DIKTI mengatur soal kontribusi ini dengan harapan bisa membantu menutupi kebutuhan biaya pendidikan tinggi.
Patdono menjelaskan lebih jauh soal pentingnya peran industri ini. Ia mengatakan dari 73 Trilyun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perguruan Tinggi, pendapatan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seluruh Indonesia adalah 12,5 trilyun. Pendapatan itu berasal dari mahasiswa sebanyak 9 trilyun dan 3,5 trilyun dari kerjasama industri. ”Kebijakan pemerintah yang diturunkan dalam kebijakan DIKTI, untuk mengurangi beban masyarakat yang besarnya 9 trilyun itu maka pemerintah berikan BOPTN. Dengan BOPTN maka SPP, uang gedung, biaya praktikum dan sebagainya diharapkan terkurangi karena digantikan BOPTN,” jelasnya dalam diskusi publik UU DIKTI yang disiarkan lewat program Daerah Bicara (15/05/13).
Nah dalam pemberian BOPTN lanjut Patdono, salah satu variabelnya itu adalah kerjasama dengan industri. Jadi semakin besar PNBP yang berasal dari industri maka BOPTN yang diberikan pemerintah akan semakin besar. ”Maka biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa akan makin berkurang,” kata Patdono menjelaskan soal pentingnya kerjasama dengan industri ini dan pengaruhnya pada pembiayaan dari mahasiswa.
Industri Masuk, Negara Lepas Tangan
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Zaid Marhi Nugraha menyatakan jika keterlibatan industri ini adalah bentuk lepasnya dari tanggung jawab pemerintah. “UUD 1945 menyebutkan pendidikan itu menjadi tanggung jawab pemerintah, kalau nanti ada keterlibatan swasta, apalagi lebih banyak diarahkan ke swasta. Lama kelamaan bisa lepas tanggung jawab pemerintah,” tutur Zaid Marhi Nugraha, juga dalam diskusi tersebut. Dia melanjutkan, alokasi anggaran pendidikan sesungguhnya cukup besar: 20% dari APBN. Dengan alokasi anggaran tersebut semestinya alokasi anggaran pembiayaan pendidikan tinggi juga bisa lebih besar. “Kami harapkan ada perhatian lebih untuk pendidikan tinggi. Jadi bukan hanya pendidikan dasar saja yang bebas biaya. Ini secara tidak langsung membeli anak bangsa atau menginginkan buka kantor di kampus atau apalah, ada intervensi. Buka kantor kan sama saja mendatangkan uang buat kampus. Kemudian perguruan tinggi akan melulu berpikir mencari keuntungan, yang harusnya mengembangkan dan meningkatkan pendidikan tinggi,” ucap Zaid panjang lebar dalam diskusi yang digelar di ITS tersebut.
Namun Patdono menyanggah dan menegaskan bila UU DIKTI dengan sangat jelas menyebutkan kalau penanggungjawab utama penyelenggaraan pendidikan tinggi dan pembiayaanya tetap ditangan pemerintah. Kehadiran industri semata untuk meringankan beban pembiayaan. Apalagi kehadiran industri jelas akan membuat biaya yang harus ditanggung mahasiswa makin sedikit.
Pengamat Pendidikan Daniel M Rosyid menyatakan sudah sewajarnya swasta berperan aktif dalam pendidikan menengah dan tinggi. Sembari ia memberikan pandangan yang lebih ekstrim.
Menurut Daniel, pembiayaan pendidikan tinggi itu sebetulnya bukan kewajiban pemerintah. Alasannya kewajiban pemerintah hanya pada pendidikan dasar. Pendidikan tinggi hendaknya hanya menjadi pilihan. Ia mengkritik konsep pendidikan yang mengarahkan SDM Indonesia menjadi pegawai bukan wiraswasta sehingga terbiasa mendapat bantuan dan dukungan.
Berangkat dari itu Daniel beranggapan pemberian kredit lebih layak dibandingkan dengan pemberian beasiswa kepada para mahasiswa. Supaya mahasiswa yang layak diterima di perguruan tinggi tidak pusing-pusing memikirkan biaya pendidikannya sekaligus bertanggungjawab pada biaya yang harus dikeluarkan tersebut.
Pembiayaan Perguruan Tinggi Bisa Dalam Bentuk Lain
Pembiayaan pendidikan tinggi tak melulu berupa yang, Fasilitas kerja dan pendidikan, penelitian, dan beasiswa juga merupakan bentuk kontribusi dari pihak industri untuk mendukdung pembiayaan perguruan tinggi. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Patdono Suwignjo mencontohkan universitas-Universitas yang paling banyak bekerja sama dengan industri seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Ia juga menambahkan masih banyak perguruan tinggi yang belum bekerjasama dengan industri, seperti perguruan tinggi di Indonesia bagian timur.
Joint recruitment dan joint education juga pertu dipertimbangkan sebagai bentuk kerjasama dengan industri. Pengamat pendidikan Daniel Rosyid mengatakan sistem seperti ini dapat berkelanjutan, sehingga ketika mahasiswa selesai menuntaskan pendidikannya dapat langsung bergabung dengan industri-industri yang menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi tersebut.
Industri pun tak sembarang yang dapat masuk ke kawasan perguruan tinggi. Hanya industri yang memiliki memiliki tata nilai yang dapat masuk. Untuk itu pihak perguruan tinggi harus jeli dan mengawal kerjasama tersebut.
Perbincangan ini kerjasama dengan Kemdikbud.