Bagikan:

Pemuka Agama Jadi Kunci Pelestarian Lingkungan

Jauh sebelum penentuan tanggal 22 Maret sebagai hari air internasional dan 22 April sebagai hari bumi internasional, seluruh agama sudah lebih dulu menuntun manusia untuk melestarikan lingkungan.

BERITA

Jumat, 18 Apr 2014 17:10 WIB

Author

Ade Irmansyah

Pemuka Agama Jadi Kunci Pelestarian Lingkungan

Agama, lingkungan, kelestarian alam, Agamas

KBR68H, Jakarta - Jauh sebelum penentuan tanggal 22 Maret sebagai hari air internasional dan 22 April sebagai hari bumi internasional, seluruh agama sudah lebih dulu menuntun manusia untuk melestarikan lingkungan. Salah satu yang kasat mata terus melestarikan lingkungan adalah agama Hindu. “Kelestarian lingkungan disuatu daerah tergantung seberapa taatnya warga daerah tersebut kepada ajaran agamanya masing-masing”, Ujar seorang Dosen Hindu Sekolah Tinggi Agama Hindu, Arya Suta. 


Menurut Suta, semua agama, pasti mengajarkan umatnya untuk hidup selaras dengan alam. Contohnya, seluruh ritual keagamaan yang dilakukan oleh Agama Hindu pasti menggunakan air sebagai medianya, “Agama Hindu itu menggunakan air Tirta, air penyucian. Jadi apapun yang akan kita lakukan itu diawali dengan penyucian”. Begitu pula dengan Agama Islam yang harus berwudhu terlebih dahulu sebelum melakukan shalat, tambahnya.


Oleh karenanya, agama dan lingkungan tidak bisa dipisahkan sendiri-sendiri. Jika dipisahkan, kata Suta, akan terjadi ketidakharmonisan. “Di dalam Weda, keseluruhan alam semesta merupakan gambaran tuhan itu sendiri, jadi merusak alam, juga melawan tuhan (bencana)”, ujarnya.


Menurut Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan Sumber Daya, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional Khalisah Khalid, pemanfaatan alam secara tidak seimbang saat ini telah menjadi boomerang dan memberikan dampak sangat buruk tidak hanya untuk manusia, tapi seluruh makhluk hidup. “Data dari Pemda DKI, 75% air di Jakarta sudah mengandung Ecoli, dan itu sangat membahayakan”, ujarnya. 


Alih-alih mencapai kemakmuran, pemanfaatan alam secara berlebih malah mengancam kita. Tercemarnya air tanah dan udara menyebabkan menipisnya lapisan ozon. Ujungnya, terjadinya global warming yang mampu mengubah iklim dan mencairkan es kutub. “Keserakahan membuat manusia mendekati lubang kehancuran yang amat menakutkan,” ujarnya.


Meski demikian, ternyata tidak semua masyarakat acuh dengah kelestarian lingkungan. I Gusti Agung Prana, Ketua Yayasan Karang Lestari memiliki metode sendiri menjaga kelestarian lingkungan daerahnya. Lebih dari dua dasawarsa, Teluk Pemuteran, di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng mengalami kerusakan terumbu karang dan biota laut yang parah. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan di sana pun menjadi sangat berkurang karena kemiskinan penduduk sekitar membuat mereka lebih destruktif dalam memanfaatkan potensi laut Teluk Pemuteran. “Seharusnya, keharmonisan antara manusia dengan lingkungan tidak boleh diabaikan. Sebab kalau tidak, rugi sendiri nantinya”, kata Agung.


Agung yang dibantu beberapa kawannya telah mengubah wilayah tersebut menjadi Taman Terumbu Karang yang sangat mengagumkan. Selain menjadi destinasi pilihan para wisatawan dengan keunggulan potensi lingkungan yang indah, lestari, dan menampilkan berbagai kearifan lokal, juga menjadi contoh pariwisata berkelanjutan di dunia. “Yayasan Karang Lestari meraih dua penghargaan dari badan PBB yang bergerak di bidang pembangunan”,ujarnya. 


Menurut Khalisah Khalid dari Walhi, pemuka agama sangat berperan disini. Karena kata dia, selain memberikan pengajaran yang baik kepada warga soal keterkaitan hidup berdampingan dengan alam, pemuka agama juga bisa menekan pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk cerdas dalam mengelola alam. “Misalnya, Muhammadiyah pernah mengajukan Judisial Review terkait privatisasi air”. Meski sedang proses, setidaknya pemerintah sedikit takut kepada pemuka agama. Uji Materi serupa menurut Khalisah pernah dilakukan oleh Walhi, namun di tolak mentah-mentah.

Di daerah, kata Isa, banyak pemuka agama yang terlena dengan iming-iming pengusaha. Pemuka agama dipakai untuk memengaruhi masyarakat supaya menyerahkan lahannya atas nama kemaslahatan bersama. “Akibatnya, tidak sedikit masyarakat adat yang menjadi korban, mereka terusir dari tanah nenek moyangnya yang sudah terbukti bisa mempertahankan kelestarian lingkungan selama ratusan bahkan ribuan tahun”. Dia berharap, kedepannya ada sinergitas antara pemerintah, pemuka agama, dan masyarakat agar bencana tidak terus menerus singgah di Indonesia.


Editor : Sutami



Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending