Bagikan:

Mochtar Pabottingi: Kabinet Ahli, Jangan Kabinet Koalisi!

Dan memang mayoritas masyarakat kita masih berada pada tingkat yang, maaf, kalau dikatakan pandir politik. Ini karena sepanjang 32 tahun Orde Baru berkuasa, rakyat sangat dibodohkan tentang politik itu.

BERITA

Kamis, 10 Apr 2014 16:51 WIB

Author

Rajib Bilal

Mochtar Pabottingi: Kabinet Ahli, Jangan Kabinet Koalisi!

mochtar pabottingi, jokowi bentuk kabinet ahli, koalisi pdi perjuangan, pembodohan politik orde baru

Penghitungan suara resmi yang dilakukan KPU belum usai. Tapi dari hasil hitung cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei kelihatan PDI Perjuangan menempati posisi puncak, sekitar 19%, disusul Partai Golkar, Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PKS, dan seterusnya. PDI Perjuangan yang semula diprediksi menang telak, mau tak mau dengan perolehan suara yang tak sampai 20%, harus menggandeng partai lain kalau ingin tetap mengajukan Jokowi sebagai calon presiden. Meski naik sekitar 5% dibanding perolehan suara pada pemilu 2009, PDI Perjuangan jelas tak bisa melenggang sendirian dalam pemilu presiden 9 Juli 2014 nanti. Harus berkoalisi.

Ini berarti PDI Perjuangan mesti menimbang juga kepentingan partai-partai yang kelak digandeng. Menurut pakar politik Mochtar Pabottingi, koalisi itu hendaknya jangan bersifat setara agar tak terjadi lagi kabinet bagi-bagi seperti dilakukan pemerintahan SBY selama dua periode. "Kabinet ahli. Harus diisi orang-orang profesional," tegas Mochtar.

Simak perbincangan peneliti senior dari LIPI tersebut bersama Alif Imam (TV Tempo), Sutami (KBR68H), dan Heru Hendratmoko (PortalKBR) seputar hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014.


Dari hasil hitung cepat suara Partai Demokrat terjun bebas, itu memang sudah diprediksi. Tapi kalau Golkar justru stabil, tetap posisi kedua. Ada dugaan ini ada faktor kampanye soal kerinduan terhadap zaman Pak Harto. Ini cukup memberi efek pada Golkar?

Bisa saja betul. Cuma tingkat betulnya itu lebih bersifat pembodohan politik daripada penyadaran. Dan memang mayoritas masyarakat kita masih berada pada tingkat yang, maaf, kalau dikatakan pandir politik. Ini karena sepanjang 32 tahun Orde Baru berkuasa, rakyat sangat dibodohkan tentang politik itu. Jadi bisa dikatakan, dibandingkan dengan rakyat kita pada tahun 50-an, mereka lebih cerdas politik daripada rakyat kita pasca Orde Baru. Jangan lupa, di awal reformasi pembodohan politik berlangsung terus sampai sekarang.

Pasca dideklarasikannya Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, banyak sekali kampanye hitam terhadap Jokowi dan PDIP. Tapi pada saat yang sama kita juga melihat perlawanan terhadap kemunculan Prabowo yang dikaitkan dengan tindakannya di masa lalu. Dua kubu ini bertengkar, tapi kemudian yang memetik keuntungan lagi-lagi Golkar. Komentar Anda?

Tapi jangan dilupakan bahwa sebetulnya ada juga semacam kampanye, meskipun tidak resmi betul dari Gerindra, yang mendekat pada Orde Baru juga. Seperti Prabowo mengatakan, andaikata Soeharto ikut dalam pemilu sekarang ini, pasti dia menang. Itu sebetulnya mengarah pada pada Soeharto juga. Jadi bisa juga dikatakan bahwa yang rebutan suara justru antara Golkar dengan Gerindra.

Golkar selalu diuntungkan, mulai dari zaman Orde Baru sampai reformasi, meski sempat ada tuntutan pembubaran Golkar waktu itu tapi tidak jadi. Golkar selalu mendapat tempat di pemerintahan. Begitu pintarnya politisi Golkar bermain di lapangan politik kita dan tampaknya politisi dari partai lain tidak bisa mengimbanginya?


Saya tidak begitu sependapat dengan itu. Karena sebetulnya pada era reformasi personalianya dikuasai orang-orang Orde Baru atau orang-orang Golkar juga, sehingga proses pencerahan politik itu tidak pernah dilakukan pada publik. Itu masalahnya.

Ada semacam kesalahan alamiah dari reformasi sendiri ya?

Betul sekali sehingga tidak pernah ada pencerahan politik tentang ini. Ini berbahaya sebetulnya. Bolak-balik, mula-mula otoriter buka demokrasi. Otoriter lagi, buka demokrasi lagi. Saya kira ini harus diwaspadai. Tugas kita sebetulnya bukan spekulasi tentang apa penyebabnya, apakah itu karena kecerdasan politisi Golkar atau bukan. Karena bagi saya, seperti yang Anda bilang tadi, mereka untung saja. Yang bertanding justru PDIP dan Gerindra.        
  
Yang menarik, satu partai yang tidak begitu banyak usaha tapi menunjukkan perolehan suara yang cukup mengejutkan seperti PKB. Selain mengusung Rhoma Irama dan pemilik Lion Air Rusdi Kirana, kita tidak melihat manuver politik yang cukup signifikan yang jadi pembicaraan di media sosial atau media mainstream. Tapi PKB menunjukkan pencapaian luar biasa bahkan PKS pun kalah. Menurut Anda?

Iya betul. Cuma kalau PKS jelas karena kesalahan politisinya yang terkena skandal itu. Itu sangat memukul. Kalau PKB usungannya itu tetap partai yang mendukung pluralitas, keberagaman itu sangat penting bagi mereka. Saya kira ini tetap bergaung. Kita tahu di kantung-kantung mana PKB memperoleh peningkatan suara. Tapi saya kira platform partai itu yang selalu menekankan bahwa kita itu beragam dan mendekatkan keragaman itu sesuatu yang sangat kuat daya tariknya.

Banyak kalangan mencatat dalam pemilu kali ini mulai terjadi penurunan angka golput. Ada beberapa faktor seperti Jokowi effect, faktor muka-muka baru, teknis juga. Tapi secara umum walaupun hasil resmi belum ada, angka golput kabarnya menurun. Catatan Anda?

Saya kira betul Jokowi effect itu dan juga orang tahu bahwa ternyata kalau demokrasi dibiarkan berjalan dengan bagus akan muncul tokoh-tokoh yang bagus seperti Jokowi, Tri Rismaharini, dan seterusnya. Dari harapan seperti itu muncul juga harapan kenapa kita tidak bisa perbaiki juga yang DPR dan DPRD itu. Kemudian orang sadar lewat media sosial dan media resmi sekarang tentang bagaimana kita berusaha agar parlemen diisi orang-orang berkualitas. Jadi apatisme itu menurut saya banyak tergerus oleh efek domino dari munculnya tokoh-tokoh yang bagus di pemerintahan, terutama sebagai pimpinan di daerah seperti bupati dan seterusnya.

Kalau melihat konfigurasi perolehan suara, tampaknya tidak ada satu pun partai yang menjadi mayoritas dan menguasai parlemen. Jadi kita bicara tentang kemungkinan koalisi, bagaimana Anda melihatnya?

Kalau saya ingin mengusulkan, jangan terlalu terpukau atau terlalu lihat tuntutan koalisi itu. Koalisi itu pada kenyataannya seperti pada dua pemerintahan SBY, itu tidak banyak sumbangannya pada perbaikan keadaan bangsa kita. Jadi sebetulnya bisa kita usulkan supaya janganlah takut melakukan apa yang disebut kabinet ahli, jangan kabinet koalisi. Karena kalau kabinet itu profesional dan mempunyai argumen yang kuat, dasar-dasar yang kuat dan dukungan terus dari rakyat, tidak banyak juga yang bisa dilakukan oleh lawan-lawannya. Kita ambil contoh bagaimana Tri Rismaharini yang digugat, dirongrong dari awal menjabat sampai sekarang tetapi dia tetap bisa melaksanakan program-programnya yang bersih dari kepentingan pribadi dan seterusnya.

Tapi keberanian itu tampaknya belum dimiliki PDIP?

Betul, belum berani itu yang harus disadarkan. Sebetulnya tidak usah takut pada koalisi itu. Kurang apa koalisi Demokrat? Tapi apa dampaknya pada pemerintahan? Tidak ada. Justru yang terjadi gontok-gontokan dalam koalisi. Merampok ke dalam. Dan terus-terusan terjadi. Koalisi tidak pernah berfungsi sebagai soliditasi dari pemerintahan. Dari awal koalisi itu tidak mensolidkan pemerintahan. Jadi kalau kita bisa menarik pelajaran dari situ maka PDIP atau siapa pun partai pemenang, apalagi kalau dia mendapatkan misalnya dalam pemilihan presiden lebih unggul melampaui 30 persen atau 40 persen, tidak usah takut soal koalisi. (Kekuatiran) itu ditiupkan oleh para politisi, saya kira tidak perlu dikhawatirkan. Jangan terlalu dipedulikan. Kalau kabinet itu solid, maka tidak banyak juga yang bisa dilakukan lawan-lawannya untuk merongrong karena rakyat berada di belakangnya dan support masyarakat itu aktif sifatnya, tidak bisa dipandang remeh. 

Mungkin ada kekhawatiran, kalau PDIP kuat bagaimana mengontrolnya?

Mengontrolnya saya kira normal saja. Biasa saja. Artinya kalau seorang presiden dipilih oleh rakyat, maka presiden terpilih oleh rakyat itu juga harus sadar bahwa dia dipilih oleh rakyat dan bukan karena PDIP. Kalau seorang Jokowi atau siapa pun yang naik ke atas itu harus sadar bahwa dia tidak boleh lagi menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan dan dipercayakan rakyat kepadanya. Masyarakat perlu mewaspadai jangan sampai misalnya dipakai untuk macam-macam yang menguntungkan PDIP secara tidak benar. Dia tetap harus pro rakyat, bukan pro pembelaan dari hal-hal yang busuk di dalam partai sendiri sekalipun.
 
Jadi kalau mau perubahan betul terjadi, pertama adalah kabinetnya harus ahli. Kedua pemimpin harus ingat bahwa dia dipilih rakyat. Ketiga kontrol terhadap partai. Keempat, ini yang masih membingungkan, adalah kalau kemudian parlemen tidak mayoritas partai pemenang. Bagaimana?

Kalau saya tidak terlalu masalah. Lagi-lagi contoh yang lebih kecil tapi bisa menjadi indikator yang bisa dipercayai atau layak. Tri Rismaharini itu betapa dirongrong dia. Juga ketika Jokowi baru setahun pertama menjabat Gubernur DKI Jakarta kan juga ada usaha oleh pemilik modal itu, katakanlah konglomerat, untuk membangun tol di tengah Jakarta. Tapi Jokowi dengan tegas menolak, kita tidak butuh sarana bagi orang kaya, kita perlu transportasi dan infrastruktur bagi rakyat secara keseluruhan. Saya kira kalau Jokowi konsisten disitu dan dia menunjukkan konsistensinya untuk meraup sungguh-sungguh banyak suara di dalam pemilu presiden nanti, itu sangat menentukan.

Jadi yang paling mungkin ditempuh adalah menjalin koalisi terbatas, mungkin satu dua partai. Kira-kira kalau itu terjadi partai mana yang paling strategis untuk berkoalisi dengan PDIP?

Saya tidak terlalu kesitu. Kalau koalisi saya kira jangan koalisi yang diambil sungguh-sungguh atas posisi setara (equal standing). Jadi koalisi harus dilakukan PDIP dengan memberikan peluang atau kesempatan pada masuknya yang bukan PDIP tetapi dengan syarat (dia) harus ahli ketika masuk ke dalam kabinet. Dalam kabinet apa pun boleh tidak usah PDIP seluruhnya, ambil dari mana, tapi sungguh-sungguh tokoh yang diambil itu ahli dan bangga dengan keahliannya.

Boleh saja ditunjuk dari Golkar tapi dia adalah profesional?

Betul. Jadi jangan konyol betul memasukkan orang, bagi-bagi karena koalisi saja tapi tidak mempunyai keahlian apa-apa pada bidang yang mereka duduki, itu saya kira perlu disadari dari awal. Boleh kita koalisi, bahkan jangan takut misalnya fifty-fifty, bisa saja. Tapi syaratnya harus ahli dan mengutamakan keahliannya. Tidak pada induk partainya.

Itu yang tidak terjadi dan kita buang waktu sepuluh tahun ya?

Betul sekali, kita sebagai masyarakat perlu sekali mendorong ke arah itu.


Editor: Heru Hendratmoko

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending