KBR68H, Jakarta – Pemerintah akhirnya membayar diyat sebesar Rp 21 miliar untuk Satinah, TKI yang divonis hukuman mati di Arab Saudi. Hal ini dinyatakan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Dari uang diyat tersebut, tiga juta riyal di antaranya berasal dari APBN dan sisanya berasal dari donatur di Indonesia, Arab Saudi dan asosiasi pengerah tenaga kerja. Dengan pembayaran uang diyat, Satinah akan terbebaskan dari hukuman pancung.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan ini adalah dampak dari gerakan rakyat yang bersama-sama meneriakkan dan mendesak Pemerintah untuk bertanggungjawab menyelamatkan Satinah. Karena itu menurut Anis, ini adalah kemenangan masyarakat Indonesia. Anis mengakui masyarakat punya pandangan yang berbeda-beda soal Satinah – ada yang setuju diyat dibayarkan, ada juga yang tidak. Tapi menurut Anis, kasus Satinah tidak bisa dilihat secara sempit.
Berikut wawancara dengan Anis Hidayah dalam program Sarapan Pagi (4/4).
“Saya kira masyarakat memang belum semua pada cara pandang yang sama. Karena pemerintah punya kontribusi besar bagaimana menanamkan stigma bahwa Satinah dan kasus lain yang terjebak hukuman mati adalah kriminal dan pembunuh. Padahal konteks peristiwa itu terjadi tidak pernah dibaca, ada hubungan yang tidak equal, kondisi kerja yang tidak layak, penganiayaan, orang tidak dimanusiakan, dan lain-lain ini tidak pernah dilihat. Bahwa membela diri itu bukan kriminal murni tetapi orang yang terpaksa melakukan pembunuhan karena membela diri. Ya membunuh tidak dibenarkan tetapi menyelamatkan dirinya karena mau disiksa, dibunuh itu juga bagian dari upaya dan itu menandakan negara tidak bisa menyelamatkan pada saat-saat seperti itu.”
“Boleh dihukum karena itu juga bagian kejahatan tetapi bukan hukuman mati, karena hukuman mati juga pelanggaran hak asasi manusia yang di banyak negara sudah harus dihapuskan tetapi Indonesia pun sampai hari ini juga masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem pemidanaan kita. Termasuk di beberapa negara tujuan buruh migran seperti Arab Saudi, Singapura, Malaysia, Qatar, dan banyak negara lain.”
Pemerintah awalnya merasa keberatan membayar diyat sebesar Rp 21 miliar, kabarnya ke depan juga akan ada TKI kita menghadapi ancaman yang sama. Dari kerangka semua ini apa sebenarnya yang harus kita lakukan agar tidak membayar diyat terus?
“Sejak awal Migrant Care menolak diyat sebagai sebuah bentuk hukum transaksional. Karena yang harus kita dorong adalah hukum yang substantif, penegakan hukum yangadil, fair di mana pelaku kejahatan harus dihukum agar memiliki efek jera. Kenapa diyat itu muncul karena proses hukum selama ini tidak fair.”
Tidak fair bagaimana?
“Tidak fair-nya banyak mereka yang selama menjalani proses hukum tidak didampingi pengacara, tidak didampingi penerjemah, tidak ada konseling. Sistem hukum di Arab Saudi dan beberapa negara tidak banyak dipahami oleh buruh migran kita.”
Itu dibiarkan oleh perwakilan kita di sana?
“Betul. Seperti kasus Satinah dia sudah selesai menjalani proses hukum ketika pemerintah baru tahu dia menjalani sidang sendiri, tidak tahu ini yang harusnya dia bilang tidak, harus bilang apa dia sendirian.”
“Makanya Komisi Tinggi HAM PBB melalui Amnesti Internasional kemarin juga menyatakan bahwa dalam kasus Satinah secara khusus perlu dilakukan kajian ulang tentang proses peradilannya, apakah ada prinsip-prinsip yang dilanggar dalam proses peradilan seperti prinsip fairness apakah ada pengacara, penerjemah, konseling, dan sebagainya. Selama menjalani proses persidangan ini sangat penting diungkap, juga untuk mendorong agar kasus-kasus yang lain tidak pada peradilan yang sesat sehingga mereka dihukum mati.”
(baca: Melanie Subono: Saya Tidak Butuh Alasan untuk Peduli)
Kesimpulannya uang diyat yang besar ini sebenarnya tidak perlu dibayar pemerintah kalau mereka aktif sejak awal?
“Betul. Jadi uang diyat itu tidak ujug-ujug ada TKI terancam hukuman mati tiba-tiba harus bayar diyat tidak. Kasus Satinah dari 2007 dan keluarganya lapor ke Migrant Care 13 Oktober 2009 dan hari itu juga kita lapor resmi ke pemerintah, semua suratnya terdokumentasi dan kita baru dapat jawaban 13 Oktober 2011 dua tahun setelah itu. Artinya empat tahun Satinah menjalani proses hukum itu sendiri dan kalau melihat kronologis surat pemerintah memang intervensi pemerintah dalam kasus Satinah baru dimulai 2011 dan hanya pada proses pemaafan, bukan pada proses hukumnya.”
Ketika pemerintah berhasil atau memenuhi Rp 21 miliar kesannya pemerintah berhasil menyelamatkan Satinah. Itu dijadikan semacam kampanye ya?
“Justru ini karena gagal kalau menurut saya. Seandainya proses sebelumnya itu maksimal pemberian bantuan hukum, diplomasi maka tidak berujung pada diyat. Diyat itu jalan akhir dari seluruh proses peradilan yang ada di Arab Saudi, seandainya itu selesai maka tidak perlu membayar diyat. Jadi mestinya itu adalah jalan yang harus dihindari, karena itu akan memposisikan kita sepakat pada yang namanya impunitas.”
Ketika sudah ada keputusan harus membayar diyat itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi?
“Itu akan sangat sulit kecuali ada intervensi politik. Jadi bagaimana diplomasi tingkat tinggi kepala negara saya kira bisa menyelamatkan. Kita sudah berkali-kali meminta Pak SBY datanglah ke Arab Saudi apa sulitnya, tidak usah gengsi, ragu. Karena bukan hanya Satinah yang lain juga banyak ada 41 yang harus diselamatkan di Arab Saudi. Presiden Filipina pernah melakukan itu ketika Sarah Balabagan mau dieksekusi di Arab Saudi, presidennya datang ke sana kalau dieksekusi maka seluruh buruh migran Filipina yang di Arab Saudi akan ditarik semua, faktanya bisa dibebaskan itu. Jadi mestinya itu bisa dilakukan oleh seorang kepala negara.”
Kalau misalnya nanti partai yang berkuasa Demokrat menggunakan peristiwa ini sebagai satu bentuk kampanye keberhasilan. Apa komentar Anda?
“Justru ini kegagalan. Pembayaran diyat adalah bentuk kegagalan pemerintah memberikan bantuan hukum bagi buruh migran yang menghadapi masalah di negara-negara Timur Tengah. Jadi ini juga informasi yang harus secara transparan disampaikan kepada publik, jujur kenapa sampai membayar diyat. Ini yang saya kira kita berada pada negara di mana informasi publik harus dibuka seluas-luasnya dan saya kira di semua instansi juga sudah ada namanya Komite Transparansi Informasi. Tidak boleh ada lagi informasi-informasi yang disesatkan kemudian menganggap ini sebagai suatu keberhasilan, justru ini kegagalan kalau menurut saya. Bangsa sebesar ini kok harus membayar Rp 21 miliar padahal di Arab Saudi yang namanya diyat itu maksimal Rp 3,2 miliar ini juga masalah. Kenapa pemerintah tidak sejak awal memprotes kalau toh akhirnya Rp 21 miliar sama dengan dua tahun yang lalu kenapa harus dibayar sekarang kalau tidak karena desakan publik yang cukup kuat akhir-akhir ini.”