KBR68H, Jakarta - Pemilu selalu diklaim sebagai pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Namun masih ada kelompok mayarakat yang tak bisa ikut dalam kemeriahan itu. Salah satunya adalah masyarakat adat.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan, masyarakat adat tidak memilih karena tak ada calon yang dikenal. Kedua, sosialisasi tentang hubungan pemilu dengan kepentingan masyarakat adat tidak pernah ada.
“Masyarakat adat beranggapan, proses pemilu ini tak ada hubungannya dengan kepentingan mereka. Jadi buat apa repot-repot datang ke tempat pemungutan suara. Ngapain juga memilih mereka juga tak tahu buat apa pemilu,” tambahnya.
Aturan adat, tambahnya, tak pernah melarang warga ikut pemilu. Inti ajaran masyarakat adat adalah jangan melakukan sesuatu yang tidak dimengerti. Kalau tidak mengerti pemilu, jangan lakukan. Menurut Abdon, sosialisasi dari KPU tidak mampu menjelaskan apa yang bakal didapat oleh masyarakat adat jika mereka memberikan hak suaranya.
“Penyelenggara dianggap tidak mampu menyambungkan antara kepercayaan adat dengan kepentingan pemilu. Misalnya, Baduy. Mereka selalu disebut tidak mau pemilu. Tapi setelah mereka paham bahwa pemilu akan memengaruhi kehidupan mereka, tahun ini mereka akan ikut pemilu. Kepala adat Pu’un bilang tak masalah itu pemilu asal kita tahu kenapa ikut pemilu. Kalau kita sendiri tak tahu manfaat pemilu untuk kita, ya tidak usah ikut mencoblos.”
Masyarakat adat tidak mau ikut pemilu karena yang didapatkan dari negara adalah penderitaan. Namun AMAN mulai memberi pemahaman dan mengajak masyarakat memberikan suaranya.
“Sekarang kita bilang ayo ramai-ramai berpolitik, kalau satu-satu berpolitik kita akan kalah terus. Kalau kita terorganisir baik, bandit-bandit bisa dikalahkan. Mereka jadi semangat,” tambahnya.
Tersandung masalah KTP
Faktor lain yang menyebabkan masyarakat adat tak bisa menggunakan hak pilihnya adalah karena mereka tak punya KTP. Abdon menyebut banyak masyarakat adat Kaharingan di Kalimantan Selatan tak bisa ikut pemilu karena masalah KTP. Hal yang sama juga juga dialami suku adat Parmalim di Batak Toba. Kemudian Suku Anak Dalam, serta di NTT.
Dia menambahkan, masyarakat adat sebenarnya ingin ikut berpartisipasi tapi tidak punya KTP atau tidak terdaftar di desa setempat. Selain itu, tempat tinggal masyarakat sulit dijangkau oleh petugas KPU.
“Kami masih melakukan pemantauan sudah ada masuk yang tidak terdaftar tapi karena umumnya tidak punya KTP. Tapi ada yang bilang tidak punya KTP tidak apa-apa. Saya belum tahu apakah bisa memilih hanya dengan surat keterangan dari desa saja.”
Politik uang
Politik uang ternyata juga merambah hingga ke masyarakat adat. Abdon menyebut ada oknum ketua adat yang memanfaatkan munculnya caleg-caleg yang tak dikenal masyarakat sekitar.
“Bahkan ada sebagian masyarakat adat yang memanfaatkan datangnya caleg-caleg yang tidak dikenal itu. Mereka menawarkan harga mahal. Mereka lihat di tempat lain ada satu suara dibayar Rp 250 ribu. Dia hitung warganya ada 500 suara. Celakanya memang caleg-caleg itu mau bayar,” paparnya.
Abdon menambahkan caleg-caleg yang terpilih hanya karena modal uang suatu saat pasti akan memanfaatkan kekuasaannya, salah satunya dengan pengeksploitasi masyarakat adat, agar dia bisa balik modal.
“Kalau masyarakat adat tak ikut pemilu, maka pengambil kebijakan adalah orang lain yang dideploy oleh parpol. Caleg itu mengeluarkan uang banyak kepada parpol untuk bisa ikut pemilu. Saat mereka terpilih akan menggunakan kursi itu untuk merampas masyarakat adat.”
Caleg dari masyarakat adat
Meski banyak masalah, kesadaran masyarakat adat untuk ikut pemilu makin meningkat. Kata Abdon, lima tahun lalu AMAN memperkirakan ada 20 jutaan yang tidak ikut pemilu, tahun ini dia berharap bisa dikurangi setengahnya.
“Ada antusiasme baru, hal didorong oleh AMAN sebagai wadah masyarakat adat. Mendorong mereka untuk aktif berpolitik, kalau tak ikut nyobolos belum tentu suara mereka kosong, bisa saja sengaja diisi oleh parpol.”
Salah satu cara untuk memperkuat posisi masyarakat adat adalah dengan mengajukan calonnya sendiri. Caleg dari masyarakat adat diharapkan bisa mendekatkan politik ke masyarakat.
Selain itu, masyarakat bisa mengambil keputusan sendiri, tak harus menerima begitu saja caleg yang disodorkan parpol.
“AMAN selama lima tahun ini telah bekerja keras menyiapkan anak muda yang cukup punya pendidikan agar memenuhi syarat administrasi. AMAN juga merekrut para aktivis yang sudah terbukti membantu gerakan masyarakat adat. Kita perkenalkan dan bikin kontrak politik dengan masyarakat adat. Kalau kader politik tak mau ikut sumpah adat,” katanya.