KBR68H, Jakarta – Koalisi Frekuensi Milik Publik merilis tiga nama partai politik yang diberi label sebagai “perampok frekuensi publik” karena menggunakan frekuensi publik yang dipakai oleh stasiun televisi untuk menyuarakan kepentingan partai. Sesuai Undang-undang Penyiaran, frekuensi yang dipakai stasiun televisi untuk bersiaran adalah milik publik dan harus digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik.
Ketiga partai ini adalah Partai Golkar, Partai Nasdem dan Partai Hanura. Ketua umum dan calon presiden dari Partai Golkar Aburizal Bakri memiliki stasiun TVOne dan ANTV, sementara Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem. Calon Wakil Presiden sekaligus Ketua Badan Pemenangan Pemilu dari Partai Hanura Hary Tanoesoedibjo tercatat sebagai pemilik RCTI, MNC TV dan Global TV. Informasi dari keenam stasiun televisi seringkali bersifat propaganda dan bias kepentingan politik pemiliknya. Ketiga partai ini bukan nama baru mengingat ketiganya juga sering dapat peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
(baca juga: KPI Semprit Delapan Parpol)
Dalam rilisnya, Koalisi Frekuensi Milik Publik mengatakan kalau ketiga partai politik dan para tokohnya mendapat keuntungan yang tidak bisa dimiliki oleh partai politik lainnya. Misalnya lewat program non-berita, iklan, serta program berita. “Bahkan penggalangan dana bencana yang dilakukan stasiun TV, yang berasal dari dana pemirsa, juga diselewengkan untuk kampanye politik,” seperti tertulis dalam rilis tersebut.
Karena itu Koalisi Frekuensi Milik Publik mengajak masyarakat untuk tidak memilih parpol yang memakai frekuensi publik untuk kepentingan partai. Selain itu, masyarakat diminta untuk tidak mengandalkan informasi dari stasiun televisi yang bias kepentingan politik. “Waspadailah dan kritisilah informasi yang disiarkan TV tersebut. Keenam stasiun televisi itu tidak layak dijadikan rujukan dalam menentukan pilihan politik warga dalam Pemilu 2014.”
(baca: Remotivi: Enam Stasiun Televisi Jadi Alat Propaganda Parpol)
Koalisi ini juga mendorong Dewan Pers, KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menjalankan perannya setegas mungkin.
“Dewan Pers dan KPI wajib menghukum media massa yang tidak independen dan menunjukkan dosa mereka ke publik. Kemenkominfo dan KPI perlu mempertimbangkan pencabutan izin siaran bagi stasiun televisi yang telah gagal menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan masyarakat luas.”