KBR68H, Jakarta – Kualitas Pemilu dan anggota Dewan ikut mempengaruhi bagaimana reaksi publik. Direktur Institute for Strategic Initiatives Lucky Djani mengatakan, masyarakat mencermati betul bagaimana kinerja anggota dewan yang mereka pilih. Ketika masyarakat melihat kinerja dewan tidak maksimal, ini memunculkan reaksi di tengah masyarakat. Ini juga yang memunculkan apa yang disebut Lucky sebagai ‘pre-paid democracy’.
Simak penjelasan lengkap Lucky Djani dalam wawancara berikut ini.
Secara khusus kalau kita melihat perilaku pemilih dan juga praktik money politic ini gejala apa dan apa yang Anda temukan?
“Sebenarnya ini hal yang menurut saya merupakan reaksi dari pemilih terhadap perilaku dari para wakil rakyat periode-terutama sebelumnya. Terutama tahun 1999 dimana waktu itu antusiasme publik sangat tinggi 93 persen orang datang ke TPS, itu lebih tinggi dibandingkan seluruh pemilu Orde Baru kecuali tahun 1971. Berarti orang ingin ada perubahan partai baru yang berkuasa, pada saat itu Golkar sebagai tulang punggung Orde Baru terpuruk. Kita bisa lihat kemudian orang-orang sukarela tidak hanya datang ke TPS semua atribut partai sukarela, gambarnya tidak ada yang standar.”
“Berbeda tahun 2004 dimana terlihat betul semua bendera, spanduk sudah hasil cetakan melalui mekanisme pabrikan. Tahun 1999 tidak misalnya ada gambar bantengnya mencong-mencong, ada yang mataharinya yang satu lebih bersinar dari yang lain ini orang antusias. Tapi kemudian mereka mencermati perilaku anggota dewan terpilih yang tidak amanah, korup, tidak berintegritas akhirnya orang menganggap saya capek-capek memberikan suara dan datang ke TPS tapi begini hasilnya. Akhirnya mereka secara reaksioner menetapkan kalau Anda mau suara saya ada harganya.”
Ini imbas kekecewaan ya?
“Betul kekecewaan dan akhirnya masyarakat menjadi kalkulatif. Mereka sadar anggota dewan lima tahun sudah terpenuhi hidupnya gaji, fasilitas, rumah, dan seterusnya rakyat dapat apa akhirnya mereka meminta namanya bayar di depan atau DP. Tagihannya dalam bentuk material di depan pada hari pemilu. Di negara-negara demokrasi yang lebih dewasa dan bermartabat orang meminta pembayarannya beberapa tahun dalam bentuk program-program, jaminan sosial.”
Katanya masyarakat kita ini semakin cerdas uangnya diambil tapi belum tentu dipilih. Anda melihat seperti apa? Apakah akan seperti ini kejadiannya atau memang uang didapat lantas dipilih?
“Tergantung. Jika si caleg atau kandidat hanya menebar uang itu kemungkinan besar tidak akan kembali investasinya. Tapi kalau kemudian caleg tersebut mempunyai mesin politik yang bisa memonitor dan memberikan sanksi itu akan efektif. Tapi pengamatan saya di Indonesia ini masih sedikit kelompok politik atau kandidat yang punya mesin politik efektif.”
Partai mana yang Anda lihat selain Golkar karena kita percaya dia memang masih punya mesin yang cukup baik dan berpengalaman?
“Kita bisa lihat saja partai-partai yang secara organisasi lebih disiplin. Mereka bisa saja memobilisir dukungannya tidak dengan dukungan material, bisa saja dengan dukungan yang lain. Jadi penggunaan uang atau imbalan materi tidak bisa berdiri sendiri, dia harus diikat atau didampingi oleh relasi-relasi sosial lainnya sehingga dia menjadi efektif.”
Apakah kemudian pemilu presiden nanti menjanjikan yang lebih?
“Pemilih kita cenderung bebas, jadi Anda dikasih uang tapi tidak memilih. Justru yang sekarang ini kelimpungan dan stres adalah para caleg yang menebar uang dan investasi uang kemudian belum tentu mereka terpilih.”
“Justru menurut saya ini sinyalemen yang bagus, tinggal bagaimana kemudian ada kelompok-kelompok yang mau mengorganisir para pemilih seperti ini. Sebenarnya pemilih ini sudah tahu bahwa mereka menuntut sesuatu tapi setelah mereka berhubungan dengan kandidat ini hanya orang per orang akhirnya yang mereka minta adalah materi belaka. Kalau mereka bisa diorganisir menjadi satu kelompok mereka bisa bernegosiasi dengan politikus dan tidak melulu uang yang mereka transaksikan, bisa saja program-program misalkan mereka butuh fasilitas sosial umum untuk disediakan politikus. Jadi menurut saya ada prospek masa depan kalau kita melihat pemilu sekarang.”