Bagikan:

Edward Aspinall: Politik Patronase, Dari Bagi-bagi Uang Hingga Dukungan Nyi Roro Kidul

Tapi yang kami lihat dengan mata kami sendiri ada di Pulau Jawa, kebetulan ada seorang caleg bertemu dengan seorang dukun yang pada saat kami hadir di situ sedang

BERITA

Kamis, 10 Apr 2014 13:20 WIB

Author

Rajib Bilal

Edward Aspinall: Politik Patronase, Dari Bagi-bagi Uang Hingga Dukungan Nyi Roro Kidul

edward aspinall, politik patronase, kampanye bagi bagi uang, caleg ke dukun, dukungan nyi roro kidul

Beragam cara digunakan para calon anggota legislatif (caleg) untuk menarik simpati konstituen agar berhasil dalam pertarungan memperebutkan kursi di parlemen. Mulai dari cara-cara klasik seperti bagi-bagi uang, hingga cara-cara yang "ajaib", supranatural -- pergi ke dukun misalnya.

Edward Aspinall, seorang Indonesianis dari the Australian National University, berkeliling ke 18 provinsi di Indonesia selama 40 hari, mewawancarai berbagai sumber termasuk para caleg, melihat keriuhan masa kampanye dan menyaksikan berbagai gejala sosial sebagai bagian dari risetnya tentang politik patronase. Banyak temuannya yang menarik, termasuk yang ia bagi bersama Alif Imam (TempoTV) dan Frenny (Green Radio) di KBR68H dalam siaran edisi khusus Pemilu.


Delapan provinsi selama 40 hari, apa yang Anda temukan?

Kami melakukan penelitian bersama Universitas Gadjah Mada. Jadi merupakan kerja sama antar universitas.  Saya dari Monash University dengan Universitas Gadjah Mada dengan menurunkan tim 50 orang untuk meneliti strategi pemenangan dan pola pengorganisasian yang dilakukan oleh para caleg. Yang kami temukan macam-macam dan polanya bervariasi cukup jauh antara satu provinsi dengan yang lain.

Salah satu fokus penelitian kami adalah politik patronase yaitu pembagian baik bantuan, sumbangan maupun uang oleh caleg kepada pemilih dan itu kelihatannya cukup beragam dan ada di hampir semua provinsi.

Buat Anda barangkali agak aneh karena banyak cerita yang juga seringkali membuat kita tertawa sendiri melihat pola-pola yang dilakukan oleh para caleg ini. Apa yang Anda temukan?

Banyak sekali. Misalnya ada yang menggunakan dukun baik khusus untuk tim sukses maupun untuk mendapatkan dukungan dari dunia spiritual. Kemudian misalnya kalau kita bicarakan pola pembagian door prize, sumbangan atau pun barang itu marak sekali dimana-mana.

Dukun ini paling banyak ada di provinsi mana?

Terutama di Pulau Jawa. Tapi bukan hanya di situ. Ada juga di Kalimantan Tengah. Tapi yang kami lihat dengan mata kami sendiri ada di Pulau Jawa, kebetulan ada seorang caleg bertemu dengan seorang dukun yang pada saat kami hadir di situ sedang “kerasukan” roh Nyi Roro Kidul yang memberikan dukungan kepada caleg tersebut.

Apa yang bisa Anda baca dari situasi ini? Jawa paling tidak sebetulnya pulau yang pendidikan dan teknologinya relatif lebih maju dari pulau lain di Indonesia.

Cukup tinggi dan yang juga menarik di Pulau Jawa, paling tidak di beberapa dapil yang kami kunjungi, justru pembelian suara dalam bentuk serangan fajar itu juga paling terbuka terjadi di beberapa dapil di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Itu juga agak mencengangkan bagi saya. Karena sebelumnya saya perkirakan justru serangan fajar akan jauh lebih tinggi di luar Jawa. Ternyata di Jawa cukup besar juga dan terjadinya sangat terbuka.

Perilaku semacam ini kerap dilakukan caleg wajah lama atau wajah-wajah baru yang terlibat?

Itu tergantung pada tempatnya, juga tergantung pada niat caleg tersebut dan tentu saja tergantung pada kesiapan finansial mereka. Tapi yang lebih dominan sebetulnya kalau kita lihat pola yang digunakan oleh incumbent adalah mereka menggunakan akses dana yang mereka punya, misalnya akses dana aspirasi atau dana bantuan pertanian dan sebagainya untuk membina konstituen. Misalnya dalam bentuk pemberian sumbangan atau bantuan kepada kelompok tani. Kemudian kelompok tani tersebut dibina anggotanya, dijadikan tim sukses untuk memenangkan mereka di pemilu. Tapi sebagian dari mereka juga tetap menggunakan serangan fajar juga untuk memperkuat dukungan yang sudah mereka raih lewat cara-cara tersebut.

Apa yang bisa dibaca melihat bahwa wajah-wajah baru terlibat di dalam permainan yang biasa dilakukan oleh orang lama, seperti money politics dan kecurangan lainnya? Apa kemudian yang bisa dilihat dari demokrasi Indonesia sekarang?

Ini agak rumit saya kira jawabannya. Karena di satu pihak kelembagaan demokrasi itu terjadi sangat baik dari segi ya kebiasaan masyarakat akan terjadinya pemilu. Kemudian kesiapan para caleg maupun partai bahwa demokrasi itu diterima sepertinya sebagai suatu sistem yang sangat wajar dan tepat bagi Indonesia. Tapi ya mungkin sebagai salah satu akibat dari adanya sistem suara terbanyak, di lapangan kebanyakan caleg juga menggunakan pola patronase itu sendiri, karena mereka juga bersaing antarcaleg di satu partai.

Kita bicara pola patronase, apa yang khas dari yang Anda lihat?

Sebetulnya yang khas banyak sekali. Kalau kita membandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, Filipina misalnya, mungkin pola serangan fajar tidak terlalu khas karena terjadi di banyak daerah. Tapi yang saya lihat sangat menarik dan berkembang dimana-mana, pola itu yang dipakai oleh para caleg yang incumbent misalnya lewat dana aspirasi. Kalau di DPRD I Jawa Timur setiap anggota dewan itu dapat, kalau tidak salah anggarannya Rp 4 miliar sampai Rp 5 miliar per tahun, untuk membantu dan melakukan proyek pembangunan di dapil mereka, sehingga mereka bisa menggunakannya secara sistematis untuk mendapat dukungan di pemilu berikutnya.

Kalau kita ingin mengubahnya, apa rekomendasi Anda?

Salah satu saya kira adalah sistem pengawasan untuk menindak orang yang dituduh melakukan politik uang itu cukup sulit di Indonesia. Karena orang tersebut harus terdaftar sebagai anggota secara resmi maupun melakukan ajakan saat menyerahkan bantuan uang atau pun barang, harus melakukan ajakan untuk memilih seorang caleg tertentu. Sedangkan itu hampir tidak pernah terjadi secara eksplisit. Kedua barangkali perubahan sistem pemilu atau elektoral itu sendiri. Memang dari dulu bisa diperkirakan bahwa politik patronase atau politik uang akan lebih marak dalam sistem yang menggunakan sistem suara terbanyak. Karena itu yang dikedepankan dalam sistem tersebut adalah persaingan antarcaleg. Jadi hampir di semua negara yang menggunakan sistem politik patronase hampir bisa dipastikan akan terjadi.

Ada beberapa partai politik yang sampai hari ini sudah jelas siapa calon presidennya. Seberapa menguntungkan dan juga meringankan caleg dalam upaya mendongkrak suaranya di lokasi masing-masing?

Yang kami lihat di lapangan yang paling diuntungkan sebetulnya PDIP dan rata-rata caleg dari mereka mendapatkan suntikan semangat baru setelah Jokowi dicalonkan sebagai presiden. Selain itu Gerindra. Tapi selain Gerindra dan PDIP saya kira hampir tidak ada caleg yang membicarakan calon presiden mereka ketika kami mewawancarai. Mereka semuanya berkonsentrasi penuh pada upaya pemenangan yang mereka lakukan di tingkat akar rumput dan tidak begitu tertarik dengan membicarakan calon presidennya. PDIP dan Gerindra dalam hal ini merupakan pengecualian saya kira.

Golkar juga sama sekali tidak terlalu aware terhadap Aburizal Bakrie, Hanura tidak terlalu “menjual” Wiranto dan Harry Tanoe-nya ya?

Kalau Hanura sebagian. Tapi Golkar ya maaf ya, sepertinya antara 20 caleg yang kami wawancarai tidak ada yang membicarakan Aburizal Bakrie. 

Di lapangan kelihatannya agak risih juga mereka dengan banyak catatan buruk mengenai Aburizal Bakrie?

Bukan begitu. Mungkin bisa saja itu terjadi tapi mereka lebih konsentrasi soal nilai jual mereka sendiri di massa konstituen mereka. Jadi mereka sepertinya tidak begitu tertarik dengan membicarakan calon presiden. Apa alasannya di caleg itu, ya saya tidak tahu tapi mungkin bisa jadi seperti Anda katakan.

Tapi dari kacamata lain kelihatannya para caleg dari Golkar lebih punya kepercayaan diri dan modal pribadi yang kuat ya?

Betul. Itu sangat kelihatan di lapangan, saya rasa caleg Golkar itu paling siap secara finansial. Dari hampir semua aspek baik soal alat peraga kampanye dan baliho maupun pembagian bantuan uang dan sebagainya. Memang tidak semua menggunakan pola itu, tapi secara keseluruhan mereka siap secara finansial.

Kalau dari pengamatan Anda selama masa kampanye ada berapa banyak partai yang menyuguhkan program riil kepada masyarakat saat kampanye?

Kalau program riil di tingkat nasional itu jarang ada yang membicarakan secara detail. Tapi program dalam bentuk yang sangat konkret bagi masyarakat konstituen mereka, hampir semua caleg membicarakannya. Misalnya dalam bentuk akan membawa program pembangunan jembatan atau program bantuan kepada kelompok tani atau kelompok nelayan. Kalau kita membicarakan program di tingkat itu, yang sangat akar rumput, nyata, konkret, dan berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat, hampir semua membicarakannya.

Tapi kalau kita membicarakan platform atau program secara nasional tidak begitu dikedepankan oleh para caleg, karena itu juga tidak akan membantu mereka untuk mengalahkan atau bersaing dengan caleg dari partai yang sama. Jadi mereka lebih mengedepankan apa yang bisa mereka perbuat untuk konstituen mereka sehingga bisa mengalahkan jumlah suara yang didapatkan oleh rekan mereka dari partai yang lain. Karena sistem suara terbanyak itu yang menjadi syarat utama supaya seseorang bisa duduk di parlemen.            

Editor: Heru Hendratmoko

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending