Bagikan:

Dirut MRT: Ini Bukan Proyek Rugi

Diharapkan bisa mengubah pola dan kebiasaan orang bertransportasi.

BERITA

Senin, 28 Apr 2014 12:23 WIB

Author

Arin Swandari

Dirut MRT: Ini Bukan Proyek Rugi

MRT, Jakarta, transportasi publik

KBR68H, Jakarta – Tahun 2018 memang masih lama, tapi bolehlah warga Jakarta mencatat itu di kalendernya masing-masing. Sebab di tahun itu, tahap satu pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) diperkirakan akan selesai. Dana yang digelontorkan sampai 16 triliun rupiah. 


Direktur Utama MRT Jakarta Dono Bustami meyakini, proyek MRT ini bukan proyek rugi meski dengan nilai investasi yang begitu besar. Dengan rencana bisnis yang matang, proyek diyakini bakal menguntungkan tanpa harus membebani penumpang dengan tarif tinggi. 


Seperti apa persiapan menuju MRT tahun 2018 mendatang? Simak wawancara dengan Dono Busstami di program Sarapan Bersama yang disiarkan KBR68H, TV Tempo dan PortalKBR. 


Semua orang menanti MRT di tahun 2018. Seperti apa perubahan di Kota Jakarta nantinya? 


“Jadi kita perkirakan sekitar 2010-2037 akan mengubah pola dan kebiasaan orang bertransportasi ada alternatif lain selain menggunakan bus, angkot, Transjakarta, KRL, monorail. Tapi kalau kita ambil fase yang pertama ini tentu belum berubah banyak tapi paling tidak ada satu alternatif moda transportasi sebagai alternatif yang memberikan kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu sebagai alternatif.”


“Jadi ini mungkin di tahap awal untuk jangka panjangnya, seperti bayi belajar merangkak dulu sebelum berlari. Jadi ini satu tahap awal yang panjangnya hanya 16 kilometer target kami selesai dan bisa beroperasi secara komersial di 2018. Tapi nanti akan dilanjutkan dengan tahap kedua yang target kami bisa selesai tambahan lagi 9 kilometer dari Bundaran HI sampai Kampung Bandan itu 2020. Kalau sudah itu ada beberapa alternatif bisa naik bus, Transjakarta, angkot.”


Dulu ketika Transjakarta digagas semua orang membayangkan Jakarta tidak akan macet tapi kenyataannya belum. Bagaimana MRT ini tidak mengulang hal yang meleset tadi?


“Mungkin pertanyaannya saya refresh sedikit, apakah MRT bisa mengatasi kemacetan jawabannya dengan tegas tidak. Untuk 16 kilometer pertama pun belum bisa mengatasi apalagi kalau sudah sampai 25 kilometer pun belum bisa mengatasi kalau kita ngomongnya kemacetan. Jadi kalau dari sisi kemacetan itu baru bisa diatasi dengan beberapa kebijakan, seluruh network transportasi baik yang pakai rel, monorail, bus nanti itu terintegrasi baru bisa dan juga tergantung kebijakan mengenai tarif.”


“Untuk kami itu sangat penting, kalau memang kebijakannya itu untuk mengubah atau memindahkan orang yang berkendaraan itu tentu kebijakan tarif harus tepat untuk menarik pengemudi kendaraan pribadi ini untuk naik ke angkutan umum dan itu tarif juga tergantung dari layanan. Contohnya sekarang KRL menurut saya kalau mau dinaikkan tarifnya berapapun orang tetap akan naik karena dia nyaman, aman sama dengan kami dan tarif itu untungnya bukan kebijakannya di MRT.”


“Untuk kami yang penting sekarang ini membangun, mengoperasikannya secara standar internasional, baik, efisien, dan kami bisa memeliharanya itu dulu yang kami fokuskan.” 


Kalau begitu sasaran utamanya adalah perubahan sikap, perubahan pola dari masyarakat untuk bertransportasi itu satu hal. Dan kedua adalah memberikan sarana transportasi yang lebih layak itu yang menjadi sasaran? 


“Tepat sekali. Dan tentunya ada pengurangan emisi karbon. Jadi kalau saya daripada menyetir dari Lebak Bulu sampai Bundaran HI satu jam lebih ini cuma 30 menit, pilihan kepada Anda. Tapi juga kalau tarifnya tidak disesuaikan tentunya berpikir juga.” 


Soal tarif memang bukan wewenang Anda karena kebijakan itu ditentukan pemerintah. Tapi pasti ada hitungannya ya?


“Kami punya hitungannya. Secara operasional berapa yang paling efisien yang penting bagi kami bisa menutupi operational cost, operational cost itu bukan hanya untuk memelihara tapi termasuk replacement, kami mungkin harus mengganti keretanya. Bagi kami ini sebenarnya yang kita sebut ticket fair, untuk perusahaan menjadi tidak begitu penting karena status kami 100 persen BUMD. Dia mau tarifkan murah pun di bawah operational cost kami pemegang saham harus nombokin. Kalau mereka mau lebih dari operational cost kalau dibilang mahal dia bisa tarik duit itu melalui deviden, dia mau kasih itu ke publik atau warga Jakarta lagi ya monggo.”


“Terus terang kami juga dalam proses untuk menyempurnakan business plan kami untuk lima tahun ke depan seperti apa. Karena terus terang andalan kami bukan dari tiket ya, kami lebih ke mandat kami yang keempat dari Perda bahwa kami diberikan hak untuk mengembangkan area sekitar stasiun dan sepanjang koridor. Itu saya rasa lebih menarik secara bisnis untuk kami dan ini ada contohnya di Hongkong yang disebut MTR itu 80 persen dari revenue adalah dari propertinya.”


Kapan bisa mencapai Break Even Point (BEP)? 


“Ini sama saja bisa dihitung balik terus dapat tarifnya. Kalau propertinya semua jalan tentu bisa lebih cepat dan kami sudah ada beberapa inisiatif, konsep kami punya.” 


Ini bukan proyek rugi yang pasti ya?


“Yang pasti tidak. Dengan catatan sesuai kembali ke Perda semuanya diberikan ke kami ini tidak rugi. Saya bisa jamin dalam arti kata contohnya kalau properti development-nya sesuai mandat itu diberikan ke kami kami yakin itu bisa menguntungkan. Paling tidak subsidi itu hitungan kami ada, subsidi itu mungkin bisa-bisa tidak dibutuhkan nantinya. Tapi ini semua juga tergantung oleh kebijakan pemda dalam hal ini, kan nanti ada ERP kalau itu diterapkan sekarang akan mahal orang untuk mengendarai kendaraan. Terus ada tarif parkir mau dinaikkan dan ada wacana di Jabotabek ini nanti subsidi mau dicabut saja, kalau tidak ada subsidi BBM saya rasa mikir juga orang.”


Anda mengatakan ini akan mendorong penumpang atau masyarakat publik untuk bisa berperilaku yang lebih baik dalam bertransportasi. Kita saat ini melihat apa yang terjadi di KRL, Transjakarta yang masih agak ruwet. Kira-kira dengan MRT ini menggiring mereka ada strategi yang berbeda atau bagaimana? Apa mungkin modanya terlalu sedikit untuk jumlah yang banyak sehingga terjadi perilaku seperti itu? 


“Kalau kita bicara fasilitas sarana dan prasarana memang masih kurang, kita harus akui itu. Tapi dari sisi perilaku saya rasa sekarang sudah jauh lebih bagus. Kalau KRL ada gerbong untuk wanita, Transjakarta juga. Sudah lebih tertib kalau kita lihat di stasiun-stasiun sudah tidak dorong-dorongan lagi. Tapi kalau kita bandingkan dengan negara maju dengan Jepang atau Hongkong memang beda, tapi kalau kita lihat di Jepang itu kadang-kadang melebihi kapasitas jadi penumpang itu masih didorong-dorong.”


“Kita nanti begitu operasi mungkin tidak sampai didorong-dorong tapi masih bisa nyaman lah, kasarnya berdiri masih bisa baca. Hitungannya itu 190 persen dari kapasitas kita itu bisa seribuan lebih penumpang  yang bisa kita sekali angkut, ada enam gerbong dalam satu rangkaian, jadi masih manusiawi. Ini adalah kebiasaan perilaku yang saya rasa ke depannya masyarakat Jakarta khususnya sudah terbuka, sering lihat TV, ada internet pasti lebih tertib dan kita akan sosialisasi.”


Editor: Citra Dyah Prastuti 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending