Bagikan:

Charta Politika: Tinggi, Posisi Tawar Partai Tengah

Situasi masih sangat cair dengan tingginya posisi tawar partai menengah.

BERITA

Kamis, 10 Apr 2014 22:48 WIB

Charta Politika: Tinggi, Posisi Tawar Partai Tengah

peta koalisi, Pemilu 2014

KBR68H, Jakarta – Pencoblosan Pemilu Legislatif sudah usai. Sembari menunggu penghitungan resmi selesai dari KPU, diskusi bergeser ke hitung-hitungan koalisi berdasarkan hasil hitung cepat sementara dari sejumlah lembaga survei. 


Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan PDI Perjuangan menempati posisi pertama dengan 19,56 persen, Partai Golkar di urutan kedua dengan 14,69 persen sementara Gerindra mengantongi 11,88 persen. Siapa berkoalisi dengan siapa?


Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya melihat ada yang lebih menarik ketimbang peta koalisi. Apa itu? Simak wawancara selengkapnya berikut ini. 


“Sebetulnya menjadi sebuah hal yang menarik dalam temuan quick count adalah menguatnya posisi dari partai-partai menengah. Ketika kita lihat hasil quick count kemarin bagaimana ada empat partai yang memiliki suara 6-10 persen sehingga kemudian konstelasi menurut saya sangat bisa cair.”


“Pasca quick count kemarin yang memiliki posisi tawar yang tinggi bukan tiga partai itu tapi partai menengah. Pertama mereka membutuhkan tambahan suara untuk presidential threshold, kedua partai menengah juga bisa membuktikan mereka bukan hanya variabel presidential threshold tapi mereka membuktikan memiliki kekuatan sebagai mesin politik yang akan berpengaruh dalam pertarungan nanti. Jadi menurut saya kemarin memang yang mungkin terjadi di panggung belakang yang tidak kita ketahui adalah mungkin sudah terjadi gerilya dari ketiga capres terhadap partai menengah itu. Posisinya sekarang mereka akan dilamar bukan melamar.” 


Mereka ini bisa sedikit pasang tarif ya? 


“Itu yang menyedihkan ya. Ketika kita berdebat mengenai apa itu koalisi atau menerka koalisi. Kita tidak mungkin masuk dalam tataran normatif dengan mengatakan persamaan ideologi, sejarah membuktikan koalisi lebih didasarkan pada logika bagi-bagi kekuasaan yang lebih riil lagi adalah koalisi akan terbangun mengenai kursi menteri terjadi, itu yang terjadi misalnya di tahun 2009.”


“Ini yang menyebabkan situasi masih akan sangat cair, artinya ketika posisi tawar mereka tinggi ya bukan tidak mungkin mereka bisa menunggu tawaran mana yang lebih baik dalam konteks kursi menteri dari calon presiden entah itu Jokowi, Prabowo, Ical. Kalau ini yang terjadi menurut saya siapapun yang terpilih berpotensi kemudian terpenjara seperti apa yang kritik terhadap SBY.”


“Tapi kita bisa lihat bagaimana sebetulnya sudah ada sikap, contoh Jokowi seminggu terakhir pada masa kampanye mengatakan koalisi tidak bisa didefinisikan sebagai bagi-bagi menteri. Prabowo misalnya melalui akun Twitter pribadinya juga mengatakan bahwa akan membentuk kabinet profesional dan kabinet politik. Itu yang menurut saya seharusnya mulai kita tantang, jangan-jangan untuk menghindari koalisi bagi-bagi menteri ini kita tantang mereka membentuk kabinet bayangan. Sehingga kemudian mereka tidak terjerat dan terpenjara juga ketika bernegosiasi dengan partai-partai lain.” 


Tapi kalau penempatan menteri dijual kepada publik bahwa akan profesional. Nanti dimana untuk kekuasaan yang dibagi antarpartai ini? bukankah partai juga ingin menempatkan menteri yang kadernya untuk bisa juga memegang kekuasaan? 


“Apakah kita harus mengikuti logika koalisi dagang sapi?  Setiap partai tentu saja ingin jadi presiden, wapres, jatah kursi menteri. Tapi kita sedang berbicara sistem yang ideal, sebutkan di negara dengan sistem presidensial mana yang memiliki kabinet politik seperti di Indonesia. Jadi kalau tadi Anda mengatakan lalu bagaimana dengan partai, silahkan partai mencari kekuasaannya sendiri tanpa harus mengobrak-abrik sistem yang berlaku di Indonesia. Ini menurut saya yang harusnya mulai menjadi gaya baru kepemimpinan.”


“Ketika ada partai ingin bergabung ya tidak kemudian harus dibayar dengan kursi menteri, mereka bisa berbicara lebih lanjut bagaimana program mereka bisa dijalankan tanpa negosiasi kursi menteri yang jelas bisa disebut politik dagang sapi yang haram dilakukan. Menurut saya masyarakat harus mulai menyadari era politik idol sudah harusnya berakhir, artinya jangan secara emosional kita melihat Jokowi baik, Prabowo tegas. Tetapi sekarang sudah masuk ke dalam tataran politik yang lebih riil, calon-calon presiden dengan segala macam keunggulan dan kelemahan ini sekarang sedang dihadapkan pada situasi politik yang sangat riil seperti jual beli kursi menteri, gertak sambal dari partai ketika ingin membentuk koalisi. Disitulah kita harus menjaga bahwa siapapun yang terpilih jangan sampai terpenjara oleh logika politik dagang sapi yang itu sudah terbukti minimal pada pemerintahan SBY sepuluh tahun terakhir menghambat kinerja pemerintah secara profesional.” 


Kalau toh bagi-bagi menteri itu mau tidak mau harus dilakukan untuk membujuk partai menengah apakah misalnya dari 15 kursi menteri PDIP hanya 2 kursi menteri yang lain profesional. Itu cukup tidak? 


“Saya pikir kita harus melihat secara realistis. Saya juga cukup realistis melihat tidak mungkin kita haramkan ada kader parpol yang masuk. Tapi yang jelas harus ada sebuah batasan terlebih dahulu, kita sudah belajar dari pengalaman ada beberapa pos kursi menteri dengan anggaran besar, otoritas yang sangat besar itu dipastikan betul-betul kepada kaum profesional. Kedua kita juga mengetahui bagaimana seharusnya dalam konteks kontrak politik jangan sampai kemudian partai ini seakan-akan membelenggu presiden.”


“Kita tahu SBY seperti terbelenggu oleh kontrak politik yang diajukan oleh partai. Padahal seharusnya misalnya ada kader parpol pun bisa masuk ke dalam sebuah kabinet itu harus tunduk pada kontrak politik yang dimiliki oleh presiden sebagai pimpinan pembantu presiden bernama menteri yaitu pakta integritas dan kontrak kinerja menteri. Jadi ada beberapa hal yang harus dipastikan itu bisa membuat andaikata ada menteri dari parpol terpilih itu juga memiliki kemampuan dan loyalitasnya dipastikan hanya kepada presiden atau kalau perlu dibuat satu aturan ketika terpilih menjadi menteri harus keluar dari jabatan pimpinan parpol atau keluar dari parpol. Hal itu yang menurut saya bis menjadi jalan tengah ketika kita tahu sistem politik kita masih campur aduk dan tidak memungkinkan membicarakan hitam dan putih.” 


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending