Bagikan:

Caleg Tanpa Bagi-Bagi Kaos, Tanpa Tim Sukses

Mendatangi warga di dapil dengan motor atau angkutan umum.

BERITA

Jumat, 04 Apr 2014 19:40 WIB

Author

Luviana

Caleg Tanpa Bagi-Bagi Kaos, Tanpa Tim Sukses

Caleg, Kaos, Tim Sukses, Joni Sujarman

KBR68H, Jakarta – Joni Sujarman baru selesai berkeliling di daerah Mangga Dua dan Johar Baru, Jakarta Pusat. Dengan jaket dan kemeja sederhana, Joni datang dan berbincang dengan warga tentang banyak hal. Termasuk mengingatkan untuk mencoblos di Pemilu 2014 pekan depan.

Sebagai caleg, Joni berpenampilan sangat sederhana. Ia adalah caleg DPRD DKI Jakarta dari PDI Perjuangan untuk dapil Jakarta Pusat. Ia nyaris tak keluar modal untuk berkampanye. Aktivitasnya semasa mahasiswa dan sebagai bagian dari FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) telah menempanya untuk bertahan di masa sulit. Dulu, ia kerap mendampingi korban penggusuran di Jakarta.

“Saya lahir dari kalangan rakyat bawah. Ibu dagang nasi dan bapak kerja serabutan, terakhir bapak bekerja sebagai sopir bajaj. Sekarang saya berjualan rendang. Maka pilihan untuk menjadikan  Jakarta Pusat menjadi Dapil sekarang, bukan tanpa alasan.”

Jakarta Pusat terdiri dari beberapa kecamatan yang dihuni masyarakat kelas menengah atas, seperti Menteng. Namun bukan itu sasaran Joni. Yang ia pilih justru daerah Tanah Tinggi, Johar Baru, Galur, Senen, Kemayoran dan Mangga Dua karena “Tempat ini tak jauh dari realitas hidup saya,” katanya.

Kepekaannya soal toleransi mulai terasah ketika terjadi kerusuhan Mei pada 1998 lalu.

Apa yang membuat Anda terlibat dalam melakukan advokasi terhadap isu toleransi di Jakarta?


“Ada sebuah peristiwa yang membuat saya sangat terpukul. Pada waktu peristiwa Mei 1998 di Jakarta dimana pemerintah orde baru masih berkuasa, disitu saya melihat banyak warga China yang mendapatkan diskriminasi. Teman-teman sekolah saya juga mendapatkan diskriminasi karena mereka China. Ketika itu mereka bertanya pada saya: Memang aku ini warga negara Indonesia bukan? Kalau aku warga negara Indonesia mengapa selalu dibedakan?. Dari situ saya mulai memahami bahwa tidak hanya warga miskin saja yang mendapatkan diskriminasi tetapi juga banyak teman-teman China yang mendapatkannya. Kejadian itu seolah menyadarkan saya.”

Beberapa kali ada persoalan toleransi di Jakarta. Bagaimana Anda menyikapi ini?


“Jakarta ini sebenarnya dekat dengan keberagaman, banyak masyarakat pendatang yang tinggal di Jakarta setiap tahunnya. Jadi masyarakat sebenarnya sudah saling memahami bahwa mereka bergaul dengan masyarakat dari asal-usul yang berbeda-beda. Kita juga mempunyai Pancasila. Presiden Soekarno dulu sudah meletakkan dasar-dasar ini. Kalau ada persoalan kekerasan, itu sebenarnya bukan atas nama agama namun kelompok inilah yang kemudian mengatasnamakan agama. Menguatnya kelompok ini karena pemerintah selalu membiarkan. Saya ikut dalam berbagai advokasi lintas agama di Jakarta, ada kelompok yang mengatasnamakan agama dan melakukan kekerasan.”

Dalam kasus apa Anda terlibat dalam advokasi isu toleransi?


“Ketika terjadi kasus HKBP Filadelphia dan GKI Yasmin saya kemudian membantu dalam proses advokasi. Ketika tidak bisa rutin datang rapat, saya selalu berusaha untuk selalu datang ketika mereka mengadakan aksi berlangsung.”

Apa saja yang akan Anda perjuangkan jika duduk sebagai anggota DPRD DKI Jakarta?

“Mereka sulit mendapatkan rasa keadilan. Rata-rata masyarakat ini telah lama kecewa. Maka kemudian saya banyak mendengarkan. Pengalaman saya melakukan advokasi bersama masyarakat sudah memberikan pelajaran berarti. Intinya masyarakat Jakarta harus dimanusiawikan. Mereka tinggal di Jakarta yang adalah ibukota negara tetapi sekolahnya rata-rata hanya sampai tingkat SMP. Dan saya masuk ketika masyarakat ini punya harapan akan perubahan. Mereka sangat percaya pada Jokowi, maka saya masuk dari sisi ini. Menurut saya sekarang masyarakat mempunyai harapan. Ini yang sangat penting.”

Kenapa memilih motto “Rakyat Bawah, Coblos Nomor Urut Paling Bawah”?


“Masyarakat di dapil saya memang masyarakat miskin Jakarta. Umumnya hanya lulus SMP dan semua bekerja sebagai buruh. Sebagian buruh pabrik, sebagian lagi buruh cuci, pemulung dan buruh serabutan. Ini tak jauh dari keseharian saya. Saya pernah berjualan koran ketika kecil dan membantu ibu di warung nasi. Sekarang saya berjualan rendang. Ketika saya mendapatkan nomor urut 12 atau nomor urut terakhir dalam pencalegan ini, maka saya menggunakan motto ini. Waktu masyarakat membaca motto ini mereka senang dan malah tertawa.“

Mengapa tak menyasar masyarakat kelas atas Jakarta?


“Saya memilih untuk fokus pada masyarakat bawah. Di samping lebih dekat dengan keseharian, juga tidak mungkin kalau datang ke masyarakat menengah atas, lalu saya datang dengan menggunakan motor atau naik angkutan umum. Modal saya benar-benar cuma motor. Uang transport saya dapatkan dari saya berjualan rendang dan bekerja serabutan.”

Sejumlah caleg di Jakarta membagikan kaos, sarung dan atribut partai selama berkampanye. Anda juga melakukan itu?

“Tidak. Uang yang saya keluarkan hanya cukup untuk membeli bensin. Sesekali naik angkutan umum ketika hujan, tetapi itu jarang dilakukan karena lebih irit jika naik motor. Tidak ada dana untuk mencetak kaos. Saya justru mengatakan pada masyarakat dari awal, bahwa saya tidak punya uang tetapi saya sudah sering berjuang.”

Caleg lain di Jakarta juga menggunakan sosial media seperti Facebook atau Twitter untuk menggalang dukungan suara bagi anak muda di Jakarta. 75 persen masyarakat Jakarta kan sudah melek informasi. Anda juga melakukannya?


“Saya sadar bahwa anak muda Jakarta memang sudah melek informasi. Namun kondisi ini berbeda dengan dapil masyarakat saya. Ada yang menggunakan handphone, tapi handphone zaman dulu. Mereka malah tidak mengenal Facebook dan Twitter. Kalau ada beberapa anak muda yang bisa menggunakan komputer, kebanyakan hanya digunakan untuk bermain game. Jadi memang inilah tipe masyarakat yang harus ditemui dan diselesaikan persoalannya, bukan yang harus kita temui di dunia maya. Karena ada banyak sekali persoalan nyata di depan mereka. Mereka tak mungkin berkomunikasi di dunia maya. Jadi saya tidak pernah gusar jika ada caleg  yang menggunakan sosial media untuk berkampanye.”

Anda punya tim sukses atau tim pemenangan dalam pencalegan ini?

“Tidak  ada. Awalnya saya melihat mengapa saya tidak menghimpun saudara dan teman-teman di sekitar rumah? Namun dari sanalah saya berpikir bahwa saudara dan teman saya umumnya masyarakat bawah yang tiap hari harus bekerja mencari uang. Jika saya meminta bantuan mereka maka saya akan mengganggu perekonomian keluarga mereka. Maka saya kemudian memutuskan untuk sendiri. Ada sebuah cerita yang selalu membuat saya semangat. Dulu Nabi Muhammad tak punya tim khusus ketika mengajarkan agama Islam. Maka kemudian saya memutuskan untuk sendiri.”

Apa saja persoalan masyarakat bawah di Jakarta yang Anda temui?

“Semua berbasis ekonomi dan ketidakadilan. Umumnya mereka tak mendapat akses pendidikan yang baik. Jadi jika ada yang sekolah dan lulus hingga tingkat SMA, hal ini sudah merupakan prestasi besar bagi mereka. Karena pendidikan yang tidak baik inilah maka kemudian mereka bekerja seperti orangtuanya. Misalnya kalau orangtuanya bekerja sebagai buruh cuci, maka anaknya juga bekerja sebagai buruh cuci. Demikian juga ketika ayahnya bekerja sebagai pemulung, maka anaknya juga memulung. Persoalan ini terus berulang dan karatan. Hal ini terjadi karena peruntungan pendidikan dan ekonomi tidak pernah singgah di masyarakat bawah.”


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending