KBR68H, Jakarta – Di masa tenang ini, banyak pemilih yang mulai mendedikasikan waktunya untuk memilih dan memilah caleg yang akan dicoblos di hari Pemilu. Ada banyak daftar yang sudah dilansir sejumlah lembaga, mulai dari caleg yang bersih, caleg yang tidak korupsi, caleg yang peduli pada urusan perempuan dan lainnya.
Koalisi Frekuensi Milik Publik melansir daftar nama caleg yang patut diwaspadai lantaran dianggap tak berpihak pada frekuensi publik. Artinya, caleg ini dianggap tidak selaras dengan semangat mendahulukan kepentingan publik, tidak paham dunia penyiaran serta mendukung penggunaan frekuensi siar TV untuk kepentingan partai politik. Sebelumnya, Koalisi ini juga merilis nama enam stasiun televisi yang patut diwaspadai lantaran informasinya bias kepentingan politik partai petingginya.
Daftar ini dibuat oleh Koalisi dengan menelusuri latar belakang caleg yang pada periode 2009-2014 duduk di Komisi I DPR, yang salah satu tugasnya adalah soal penyiaran. Rekam jejak mereka dicatat lewat pernyataan di media, catatan lapangan juga pendapat beberapa pengamat. Namun Koalisi mengakui kalau daftar ini belum lengkap karena keterbatasan bukti.
“Beberapa yang masuk dalam radar kami adalah calon legislator yang berlatar belakang wartawan atau petinggi media yang secara tersamar sudah mengundurkan diri dari media, tapi berpotensi masih memiliki akses atau bahkan mengendalikan ruangredaksi,” seperti ditulis dalam rilis Koalisi Frekuensi Publik berjudul “Daftar Caleg Tak Layak Pilih dalam Perspektif Media Penyiaran”. Di daftar ini Koalisi mencatat 7 nama caleg petahana, 1 menteri aktif dan 1 wartawan televisi.
Berikut adalah nama-nama caleg tak layak pilih versi Koalisi Gerakan Frekuensi Milik Publik:
Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati – Anggota Komisi I DPR ini dianggap tidak peduli pada keberadaan dan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ia juga mengaku baru memperhatikan KPI setelah partainya, Hanura, merapat dengan Hary Tanoesoedibjo, pemilik RCTI, Global TV dan MNC TV. Dia juga membela Kuis Kebangsaan yang sudah dijatuhi hukuman oleh KPI. Menurut dia, kuis itu tidak ditujukan sebagai ajang sosialisasi caleg, melainkan memberi kesempatan pada caleg Hanura untuk tampil di kuis tersebut.
Nurul Arifin – Anggota Komisi I DPR sekaligus caleg Partai Gokar ini pernah mengatakan blocking time acara di stasiun televisi bukanlah suatu persoalan, termasuk untuk acara ulang tahun partai. Pada 20 Maret 2013 lalu, TVRI menyiarkan acara ulang tahun ke-45 Fraksi Partai Golkar selama satu jam. Nurul juga dianggap berpihak pada industry yang memprotes larangan menerima iklan kampanye.
Ajeng Ratna Suminar – Anggota Komisi I DPR yang juga caleg Partai Demokrat ini dianggap tak paham dunia penyiaran. Salah satunya terlihat dari saat tanya jawab fit and proper test untuk memilih calon anggota KPI. “Kalau Anda sedang mandi, lantas ada iklan yang masuk ke BBM Anda, apa yang akan Anda lakukan untuk mengatasi hal tersebut?” Menurut Koalisi, ini menunjukkan kalau Ajeng tak paham fungsi KPI sebagai lembaga yang mengurusi penyiaran, bukan telekomunikasi.
Max Sopacua – Anggota Komisi I DPR ini terindikasi menjadi “pengendali” TVRI dengan cara menempatkan orang kepercayaannya di dalam organisasi. Ketika KPI menegur TVRI yang menyiarkan Konvensi Partai Demokrat pada 15 September 2013 selama hampir tiga jam, menurut Max ini bukan masalah karena TVRI adalah lembaga penyiaran dan partai lain bisa melakukan hal yang sama. Max kini adalah caleg Partai Demokrat untuk DPR dapil Jawa Barat.
(baca: Max Sopacua: SBY Jadi Calon Tunggal Ketum Demokrat)
Agus Gumiwang Kartasasmita – Anggota Komisi I DPR ini pernah menyebutkan kalau rekayasa pemilihan anggota KPI oleh parpol dan industri sebagai hal yang demokratis. Investigasi Majalah Tempo pernah menyebutkan Golkar terlibat dalam dugaan rekayasa pemilihan anggota KPI 2013-2016 dan menurut Agus fraksi lain pun melakukan hal yang sama. Agus kini menjadi caleg untuk Partai Golkar dapil Jawa Barat.
Tantowi Yahya – Tantowi kini masih menjadi anggota Komisi I DPR dari Partai Golkar. Dalam tayangan blocking time ulang tahun Fraksi Partai Golkar di TVRI pada 2013, Tantowi bahkan menyanyikan lagu yang mendukung Aburizal Bakrie. Tantowi juga menyadari kalau makin banyak iklan Partai Golkar yang tampil di TVOne, stasiun televisi swasta milik Golkar. Menurut dia, iklan Golkar di TV tidak mengandung unsur kampanye melainkan ajakan untuk memerangi korupsi. Tantowi juga menganggap Kuis Kebangsaan yang dilakukan pasangan Wiranto-Hary Tanoesoedibjo tidak melanggar aturan. Tantowi kini maju sebagai caleg Partai Golkar untuk dapil Jakarta.
Marzuki Alie – Ketua DPR yang juga caleg Partai Demokrat ini pernah menyatakan kalau penyiaran acara deklarasi peserta Konvensi Calon Presiden Demokrat di TVRI tidak menyalahi penggunaan frekuensi publik. Menurut Marzuki, konvensi adalah urusan negara, bukan urusan partai.
(baca: Marzuki Alie: Apa Salah TVRI Tayangkan Konvensi Demokrat?)
Arief Suditomo – Sampai 10 Maret 2014, atau sebulan sebelum Pemilu legislatif dilaksanakan, Arief masih tercatat sebagai pemimpin redaksi RCTI. Saat itu dia sudah tercatat juga sebagai caleg dari Partai Hanura. Secara etika jurnalistik, wartawan yang masuk ke ranah politik harus berhenti dari pekerjaan jurnalistik. Langkah ini dianggap menunjukkan sikap Arief yang mengabaikan etika dan profesionalisme wartawan. Penelitian Remotivi memperlihatkan kalau selamaArief menjadi pemred RCTI, berita soal Hanura banyak muncul dan semuanya bernada positif.
(baca juga: Dewan Pers: Jadi Caleg, Jurnalis Harus Mundur)
Tifatul Sembiring – Menteri Komunikasi dan Informatika ini adalah caleg PKS untuk DPR dapil Sumatera Utara. Sebagai menteri, Tifatul banyak membuat kebijakan yang dianggap berlawanan dengan demokratisasi penyiaran. Misalnya ketika mengeluarkan Permen Kominfo No 22/2011 tentang penyelenggaraan siaran digital teresterial. Saat itu isu tersebut belum terakomodasi dalam Undang-undang Penyiaran. Lewat Permen tersebut, TV digital dikuasai oleh pemain lama. Permen ini akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung, tapi Tifatul justru menerbitkan Permen baru yang isinya serupa.Tifatul juga dianggap tidak responsive terhadap penyalahgunaan frekuensi oleh stasiun televisi yang siarannya tidak memihak kepentingan publik. Salah satu tugas Kementerian Kominfo adalah member dan mencabut izin penggunaan frekuensi.