Bagikan:

Bupati Bojonegoro: Sebagai Pejabat Publik, Saya Ini Sopir Bus Umum

Seorang bupati Muhammadiyah yang sering berpidato di gereja dan menuntaskan IMB gereja yang terkatung-katung.

BERITA

Kamis, 24 Apr 2014 12:28 WIB

Author

Arin Swandari

Bupati Bojonegoro: Sebagai Pejabat Publik, Saya Ini Sopir Bus Umum

Bojonegoro, Suyoto, toleransi, Samin

KBR68H, Jakarta – Di Bojonegoro, Jawa Timur, indahnya perbedaan dijaga betul oleh sang bupati. Bupati Bojonegoro Suyoto biasa cermaah di gereja setiap Natal, hadir di setiap undangan Imlek, bahkan ikut menari Tayub, sebuah tarian yang dianggap sebagai tarian yang tabu oleh sebagian Muslim. 


Suyoto, yang biasa dipanggil Kang Yoto, adalah bupati dari kalangan Muhammadiyah. Dia juga yang turun tangan langsung membereskan Izin Mendirikan Bangunan IMB gereja yang terkatung-katung selama beberapa tahun. 


Apa saja nilai toleransi lain yang disimpan oleh sang bupati? Arin Swandari berbincang lebih jauh dengan Kang Yoto di program Sarapan Bersama yang disiarkan KBR68H, TV Tempo dan PortalKBR.


Anda sering pidato di gereja, juga membereskan IMB gereja yang terkatung-katung selama beberapa lama. Padahal Anda seorang Muhamadiyah. Apa orang-orang yang selama ini kenal Anda?


“Sebagai pejabat publik saya ini sopir bus umum. Sopir bus umum itu penumpangnya macam-macam ya saya harus lihat itu adalah penumpang saya, lalu saya merasa justru inilah cara saya berislam dan ber-Muhammadiyah. Saya menjadi pelayan bagi semua orang, spirit saya adalah bagaimana mencintai dan menyayangi semua orang, saya merasa senang sekali rakyat saya bahagia dan merasa terhormat menjadi pelayan mereka.”


“Karena itulah kemudian saya merasa mendapatkan reward yang baik dari rakyat saya ketika saya jujur mengatakan saya Muhammadiyah. Di situ 78 persen orang NU bisa menerima mendukung saya menjadi bupati. Kemudian karena saya diterima apa adanya maka saya juga harus mengatakan dengan sejujur-jujurnya tentang visi hidup saya. Karena kepercayaan itu membuat saya nyaman, betul-betul menjadi seorang kepala daerah yang harus merepresentasikan Undang-undang, merepresentasikan keindonesiaan karena memang saya rahmatan lil ‘alamin.”


Termasuk Anda mentasbihkan atau semacam melantik pendeta? 


"Memang tadinya agak aneh kalau ada bupati itu datang di tayuban karena dianggap budaya non santri. Saya datang di situ kemudian ada undangan kelenteng macam-macam saya ikut pakai baju merah mereka, ikut merayakan itu tadinya dianggap aneh. Tapi ini umat dan rakyat saya, itulah bagian dari membangun nasionalisme dan keindonesiaan supaya merasa menjadi bagian dari Indonesia. Ketika umat kristiani mengundang saya natal bersama mungkin awalnya ragu, saya datang. Terus kemudian setiap ada natal bersama saya datang, belakangan bukan hanya natal bersama komunitas kadang-kadang bikin Natal ya mengundang saya, sepanjang saya bisa ya saya datangi."


Anda pidato di situ?


“Bahkan ketika ada pentahbisan pendeta, romo, saya diundang di gereja dan saya pidato di situ. Jadi dalam setiap forum saya pidato memberikan sambutan.”  


Pidato Anda tentang apa biasanya kalau di gereja?


“Saya selalu cerita bahwa saya bersyukur menjadi orang Bojonegoro karena saya bisa melayani kita semua. Selalu temanya tema kasih sayang dan saya merasa apa yang saya kerjakan ini adalah bagian dari cara saya untuk mengejawantahkan kasih sayang terhadap sesama. Karena kasih sayang itu hakekatnya adalah memberi bukan menerima, kasih sayang itu melayani. Karena itulah kita harus saling memberikan maaf, melayani. Saya sungguh terenyuh ketika suatu saat saya turun dari situ ada ibu-ibu jabat tangan saya, dia bilang pagi dan sore kami selalu mendoakan Kang Yoto.”


Di Bojonegoro ada komunitas Samin seperti di Blora dan Kudus. Di wilayah itu mereka dipaksa untuk bisa mengakui suatu agama, bagaimana Anda menjamin itu tidak terjadi?


“Samin itu komunitas yang dia punya paham, pandangan. Akar kultural Samin itu sebenarnya adalah hinduisme Majapahit, kemudian bertemu dengan Mataram. Karena itu orang Samin bentuk kegagahannya itu adalah gaya Majapahit tapi mengalami pelembutan setelah ketemu Mataram. Orang Samin ini sangat menjunjung tinggi dari sisi harmoni, kemandirian, dan kejujuran. Kebetulan saya bersahabat dengan komunitas ini, saya sering ke sana lihat embungnya lihat ini.”


“Jadi si Bojonegoro ini kebetulan akar sejarahnya itu adalah pertemuan dari berbagai konflik kekuasaan. Karena mungkin hidupnya berada di akar konflik semuanya, bayangkan pertemuan antara Majapahit dengan Demak itu Bojonegoro, Demak berubah menjadi Pajang ya di Bojonegoro ada imbasnya, Pajang menjadi Mataram ada imbasnya. Karena itulah orang Bojonegoro menjadi sangat toleran secara kultural, orang Samin itu tidak pernah mengatakan itu agama. Jadi mereka punya mesjid ya tetap saja mereka muslim, mereka nyaman-nyaman saja dengan caranya kemudian dia tetap mengajarkan tentang kejujuran. Anak-anak generasi mudanya yang mengerti tentang Islam karena mereka umumnya muslim mulai mereka kemudian memberikan tafsir-tafsir bahwa kejujuran diajarkan oleh agama.” 


Bagaimana Anda merawat kearifan orang-orang Samin? 


“Bahkan desanya saya jadikan desa budaya. Kemudian walaupun di tempat saya sentranya kecil, masih banyak pengikutnya mungkin cara berpikir saya Saminisme misalnya saya bikin Perda konten lokal walaupun bertentangan dengan peraturan menteri. Saya bikin saja kalau mau hapus ya hapus saja tapi saya tidak punya cara kecuali ini, lebih baik terbuka begini karena itu bagian dari kejujuran.” 


Apa isi Perda tersebut? 


“Lokal konten. Itu mengatur soal kawasan mana yang boleh dikelola untuk kawasan migas, mengatur bagaimana memberi peluang rakyat saya untuk bekerja di situ untuk bisa berbisnis. Itu dianggap lokal itu lokal Indonesia, saya bilang ini namanya pemberdayaan lokal karena harus pendekatan sosialnya. Karena kalau sosial nanti tidak nyaman, tidak enak nanti berbahaya juga untuk kepentingan bersama-sama. Jadi kalau saya sering bilang bahwa lebih baik dengan pendekatan bikin orang bahagia semua daripada kita membuat represi. Karena kalau represi nanti ledakannya menjadi bahaya kalau konflik. Tapi cara ekspresinya gaya Samin, sudah tahu tidak boleh ya bikin saja.”


Kabarnya Anda juga mempersilahkan pendopo kabupaten untuk tempat perayaan Imlek. Bagaimana ceritanya?


“Itu ceritanya di Bojonegoro kebetulan komunitas Tionghoa besar ya. Karena dulu Lasem Jatirogo kan dekat, tiba-tiba mereka ada konflik kepengurusan tempat ibadah mereka. Karena itu mau menyelenggarakan imlek bersama menjadi susah, biasanya pertemuan itu di aula mereka kemudian tidak nyaman karena masih konflik. Akhirnya kalau begitu silahkan saya undang semua, karena banyak yang datang ke saya mau bikin imlek. Kan yang imlek tidak hanya orang Konghucu bisa semua agama, itu kaum etnis bukan agama. Saya undang silahkan bentuk panitia, saya suruh pilih tempat mana yang paling bagus ternyata memilih pendopo ya sudah pakai saja pendopo. Akhirnya jadilah pendopo tempat perayaan imlek dengan segala warna warninya.”


Editor: Citra Dyah Prastuti 


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending