Bagikan:

Tayangan Agama di TV Lebih Banyak dari Sisi Hiburan

Akhir akhir ini televisi seringkali menayangkan sinetron bernuansa religi. Meski sebelumnya tayangan ini dilokalisir selama bulan ramadhan, namun kini sejumlah televisi swasta getol membubuhi religiusitas dalam sinetron.

BERITA

Kamis, 04 Apr 2013 13:43 WIB

Author

Nur Azizah

Tayangan Agama di TV Lebih Banyak dari Sisi Hiburan

agama, televisi

Akhir akhir ini televisi seringkali menayangkan sinetron bernuansa religi. Meski sebelumnya tayangan ini dilokalisir selama bulan ramadhan, namun kini sejumlah televisi swasta getol membubuhi religiusitas dalam sinetron. Mulai dari sinetron berjudul Tukang Bubur Naik haji, Ustad Fotocopi, sampai sinetron berjudul Berkah. Peningkatan frekuensi tayangan ini diakui peneliti Lembaga  Remotivi Muhammad Heychael. Bahkan, kata Heychael, sinetron yang bukan religi pun kerap dibumbui konten agama.

"Televisi bekerja dengan rating," kata Heychael. Meski begitu Heychael juga menyayangkan jika banyaknya tayangan agama karena televisi mengklaim ini karena selera pemirsa.

"Tapi tayangan agama seperti apa yang harus tayang di televisi?" tanya Heychael. Pasalnya, menurut Heychael, logika televisi yang didorong politik ekonomi, termasuk medium visual biasanya  menuntut pencitraan ketimbang substansi.

Kebutuhan gambar bagi media televisi seringkali mencitrakan seseorang dari cara penampilannya. Sebut saja sinetron berjudul Ustad Fotocopi yang menggambarkan ustad lengkap dengan baju koko, peci, surban, atau bahkan baju gamis ala Arab.
 
Pencitraan itu yang kemudian dikatakan Heychael, televisi mengintrodusir masyarakat untuk melihat sesuatu secara stereotip. "Televisi bahkan menumbuhkan imagi penonton. Pada kasus isu agama kita harus memberikan yang lebih. Ada kebutuhan, namun sebagai media publik harusnya televisi melayani itu. Tapi yang terjadi televisi kian menebalkan pencitraan," kata Heychael.

Setali tiga uang. Direktur Ekskutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq menilai, agama di layar kaca saat ini lebih banyak bermuatan entertain. "Ini dikontrol oleh konsumerisme yang tidak mendidik masyarakat. Agama menjadi tontonan publik yang dikemas dalam budaya pasar. Tak urung, kata Fajar, jika tayangan agama kerap menjadi bahan olok olok semata.
 
Fajar mencontohkan tayangan agama yang dikemas serius tak akan mencapai rating tinggi dan kebanyakan ditinggalkan pemirsanya. "Padahal secara nilai bagus, tapi karena segmen terbatas kalah dengan tayangan yang menarik dan dilengkapi bumbu bumbu entertain," kata Fajar. Karenanya Fajar meminta agar ulama juga harus memberikan kemasan yang baik dan tak menghilangkan substansi.

Temuan remotivi dalam sinetron "Para Pencari Tuhan" antara lain sang sutradara Dedi Mizwar tak menampilkan agama secara hitam putih, seperti yang benar diwakili sosok ustad.

"Tapi di situ ada Ustad yang tidak menggunakan kopiah, baju koko, dan ada seorang Ustad yang berkebun. Dia juga pernah salah. Tapi ini tidak mengurangi iman seseorang. Artinya para pencari Tuhan sangat disukai penonton. Tapi sepertinya televisi melihat pemirsa terlalu bodoh," terang Heychael.
 
Televisi membentuk selera pasar. Heychael tak membantah  hal itu lantaran tayangan agama lengkap dengan gaya infotainmen ditayangkan terus menerus. "Sementara tayangan semacam hikmah Ramadhan Quraisy Shihab tak pernah "diberi nafas panjang," ujar Heychael.
 
"Agama menjadi korban sebenarnya. Karena dia dikomodifikasi, dikomersialisasi, dieksploitasi," tegas Fajar. Agama cenderung menjadi lelucon, membuat agama seperti bodoh. Dan anehnya publik butuh tayangan seperti itu.

Televisi memang berpotensi mengubah persepsi dan opini seseorang. Demikian juga yang menjadi kekhawatiran Fajar. Ia mengatakan, mereka para remaja yang kurang puas dengan cara agama yang hitam putih yang ditayangkan di televisi akan membuat mereka frustasi hingga akhirnya memilih untuk tidak beragama atau bahkan memilih agama sebagai sesuatu yang mengenakkan.

Heychael melihat televisi memang membangun agama di kalangan masyarakat. Tapi Heychael melihat apa yang disebutnya sebagai "Agama Televisi" ini tidak menemukan perwujudannya secara menyeluruh karena sesuatunya dikemas instant, entertain, dan terburu buru.

"Akhirnya yang dihadirkan agama dalam film atau ceramah yang dihadirkan adalah resep resep instant. Karena tidak ruang untuk mendialogkan," terang Heychael.

Modus itu, kata Heychael, yang seringkali ditemui dalam keseharian dan orang cenderung pada hal itu. Padahal di saat segala sesuatu yang cepat itu, agama kerap ditampilkan dan dilihat sepotong sepotong.

"Ceramah dengan konsumerisme; ulama menjadi bintang iklan. padahal sebagai intelekltual publik, saya menemukan ada problem etik."

Informasi yang diterima lembaga Remotivi menyebut jika ustad dalam tayangan televisi pun melewati tahapan audisi. Televisi pun memilih mereka tanpa mendasarkan pada kedalaman ilmu.

"Saya pernah mendapat info kalau mereka dicasting sesuai kecakapan bicara, mengolah kata. Contohnya Ustad Maulana atau Ummi yang sambil bernyanyi. Nilai infotainmen lebih penting dari kedalaman materi. Karenanya salah jika kita mengharapkan agama sepenuhnya di televisi," pungkas Heychael.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending