KBR68H, Jakarta - Perpanjangan moratorium hutan adalah hal yang penting untuk memberikan ruang bagi penyelesaian konflik yang ada di sekitar dan kawasan hutan, serta kepastian desa-desa yang ada dalam kawaan hutan. Review perizinan dan kebijakan ada di dalam kesepakatan-kesepakatan tersebut, dan itu perlu dikembangkan terus. Perspektif Baru berbincang dengan Anggota Dewan Kehutanan Martua Sirait tentang hutan di negeri ini serta penegakan hukum atas pengrusakan hutan.
Kalau berkunjung ke daerah dan pesawat kita sudah turun ke ketinggian 500 meter, kita melihat pemandangan yang khas seperti ada di Jambi, Pekanbaru, Padang, dan banyak daerah lainnya, yaitu perkebunan kelapa sawit yang sangat rapih. Dulu saya suka merasa bangga, kita mempunyai industri agrikultur kelapa sawit yang sangat luas, menghasilkan ekspor, dan pekerjaan yang sangat besar. Namun kelapa sawit mempunyai segi yang hitam. Apa saja segi hitamnya?
Saya coba ceritakan sedikit wajah indah yang terlihat dari udara itu. Kalau kita turun ke darat tidak seindah itu karena cerita sedih banyak kita lihat di dalamnya. Pertama, kita lihat masalah tanahnya. Tanah tempat tumbuh kebun kelapa sawit itu adalah tanah yang dimiliki oleh masyarakat dan telah berpindah tangan menjadi tanah yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan skala besar.
Apakah itu secara legal?
Tentu dengan cara legal maupun tidak legal. Dengan cara tidak legal yang terjadi saat ini adalah yang lebih dikenal dengan cara penipuan, janji-janji manis. Itulah yang terjadi dan sangat menyedihkan sekali. Kalau kita turun lagi melihat bagaimana mereka, yaitu para keluarga petani yang pernah hidup di sana dan menghasilkan kebutuhan hidupnya dari hasil hasil hutan serta sumber daya alam (SDA) di sana, makin terpinggirkan. Keluarga tani tersebut makin tercerai berai. Kita bisa melihat di beberapa sentra perkebunan kelapa sawit berubah menjadi sentra pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke banyak lokasi di seluruh dunia. Akhirnya itu melahirkan cerita-cerita lebih sedih lagi yang kita sering lihat di media masa. Itu satu cerita kalau kita lihat dari cerita sedih masalah-masalah sosial yang hadir di sana. Kemiskinan, tercerai berainya keluarga, dan lepasnya ikatan keluarga.
Apakah kemiskinan itu dalam arti lebih miskin dari sebelum ada kebun kelapa sawit?
Secara mayoritas menjadi lebih miskin, dan ada beberapa keluarga yang diuntungkan bisa menjadi lebih kaya, bahkan jauh lebih kaya.
Para juru bicara industri sawit mengatakan industri mereka menciptakan lapangan kerja, penghasilan, sekolah, dan rumah sakit untuk rakyat. Apakah pernyataan itu bohong?
Kalau kita melihat dari sisi tenaga kerja adalah betul. Namun mereka menjadi tenaga kerja murah, dan menjadi lebih murah keuntungan yang dia dapatkan daripada mengelola tanahnya secara produktif melalui kebun rakyat yang pernah tumbuh di sana. Saya memberikan contoh yang terjadi di wilayah Jambi dan Kalimantan Barat, kebun karet atau kebun campur karet yang dilakukan oleh masyarakat, sangat produktif, dan itu selama ini diabaikan
Secara langsung kita melihat keluarga-keluarga tani kehilangan tanah-tanahnya dan makin tercerai-berai. Sebagian dari mereka terpaksa bekerja di perkebunan sawit bukan karena keinginannya tetapi karena tidak ada pilihan lain. Para perempuan banyak yang bekerja menjadi penyemprot pestisida dan insektisida yang merupakan pekerjaan sangat berisiko terutama bagi kehidupan perempuan. Mereka yang tidak mau bekerja di perkebunan terpaksa harus meninggalkan desanya menjadi pekerja di kota atau menjadi tenaga kerja di luar negeri. Di wilayah-wilayah seperti Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, hal itu tentu menjadi pilihan yang menarik.
Di Malaysia ada perkebunan sawit juga. Apakah itu lebih menarik bagi warga Indonesia?
Betul. Kalau melihat anak-anak muda yang bekerja di Malaysia, mereka bekerja di perkebunan-perkebunan sawit yang kurang lebih sama perlakuannya. Mungkin bekerja di sana sedikit lebih baik dalam segi gaji saja. Hal lain yang juga menjadi masalah cukup besar adalah kerusakan hutan. Jadi masalah-masalah sosial dan ekonomi akhirnya masuk ke masalah lingkungan, dimana mereka yang tidak memiliki akses tanah lagi di desanya akan berpindah atau mengusahakan tanah di kawasan-kawasan hutan. Ini tentu akan menjadi masalah kembali di kawasan hutan.
Jika mereka pindah ke dalam hutan, apakah mereka akan merasa nyaman atau tidak?
Asumsi kita dulu bahwa kalau di hutan maka sudah aman karena tidak ada hukum yang akan menjerat, tetapi ternyata tidak demikian karena sistem peraturan perundang-undangan kita sangat ketat mengatur. Hanya membawa senjata tajam ke dalam kawasan hutan saja sudah bisa terkena hukum pelanggaran kriminal atau kriminalisasi, sehingga banyak sekali usaha-usaha pertanian masyarakat melalui perladangan atau membuat kebun-kebun karet dari tanah-tanah bekas perkebunan sawit yang terkena pidana. Ini menjadi masalah lagi bagi mereka yang ada di dalam hutan.
Saat ini di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang dibahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Undang-undang (UU) ini namanya baik yaitu melindungi hutan, tetapi dibuat dengan asumsi-asumsi lama di tahun 2004 ketika illegal logging banyak terjadi dan kerusakan hutan mencapai tiga juta hektar per tahun. Dengan asumsi-asumsi itu, dibuatlah aturan yang menjerat keras para pelanggar-pelanggar ini. Kita tahu hukum kita tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sehingga kita tahu yang akan menjadi korbannya tentu masyarakat kecil yang mengelola lahannya. Selain mereka yang karena tidak lagi memiliki lahan masuk ke dalam kawasan hutan, di dalam kawasan hutan itu sendiri ada 30 ribu desa dan mereka tentunya akan terkena imbas RUU ini. Kami dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN) secara tegas meminta untuk menghentikan proses pembahasan RUU ini dan memperbaiki substansinya. Cara lain, kita bisa juga tidak mengimplementasikan UU baru tersebut dan langsung saja merevisi UU Kehutanan kita yang memang sudah harus direvisi dan sudah masuk rencana revisi.
Apakah ada hubungan hal ini dengan dengan usaha perbaikan tata kelola hutan yang ingin dilakukan setelah moratorium hutan? Apakah pekerjaan selama moratorium hutan bisa memberikan momentum bagi perbaikan nasib masyarakat yang ada di hutan?
Karut-marut tata kelola hutan ini menjadi sorotan. Kita tahu Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sangat giat mengejar itu, dan baru-baru ini 12 kementerian dan lembaga menandatangani Memorandum of Undertanding (MoU) di Istana Presiden untuk tiga hal yaitu melakukan pecepatan pengukuhan hutan, melakukan penyelesaian konflik dan me-review kebijakan soal hutan.
Bukankah berbagai pihak menghendaki perpanjangan moratorium hutan?
Memang perpanjangan moratorium sudah menjadi wacana yang kita dengar beberapa hari ini. Menteri Kehutanan juga memberikan lampu hijau. Nampaknya di akhir masa jabatannya, Menteri Kehutanan ingin memberikan warisan dengan membuat pernyataan itu dan kami memberikan apresiasi untuk itu karena moratorium hutan penting. Kita tahu moratorium yang telah berjalan hampir dua tahun belum mencapai hasil yang diharapkan. Teman-teman masyarakat sipil menekan bahwa moratorium sebenarnya tidak bisa dibatasi waktu tetapi harus diukur dengan capaian. Jika capaian terpenuhi baru moratorium bisa selesai.
Perspektif Baru: Industri Sawit Membuat Warga Setempat Semakin Miskin (II)