KBR68H, Jakarta - Pemerintah sepakat menambah kuota impor daging menyusul mahalnya harga daging sapi yang mencapai sekitar Rp 90 ribu. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa berharap penambahan ini bisa menekan harga daging sapi di pasaran hingga menjadi Rp 76 ribu. Apakah penambahan kuota impor daging ini merupakan solusi untuk menurunkan harga jual daging di pasar? Simak perbincangan KBR68H dengan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Rochadi Thawaf dalam program Sarapan Pagi
Salah satu solusi singkat adalah menambah impor. Anda setuju?
Menurut saya memang harga itu ditentukan oleh supply-demand itu teori yang orang sudah paham semuanya. Kondisinya adalah bagaimana ketersediaan sapi dipenuhi di dalam negeri, karena memang kondisi daging ini ada di tengah pasar. Sekarang solusinya adalah pengadaan itu diadakan dengan cepat oleh impor, persoalan kita impor daging sapi atau sapinya yang masuk ke Indonesia itu hanya ada di Jakarta dan Jabodetabek. Jadi menurut saya bukan sesuatu jaminan bahwa dia akan turun dengan serta merta karena kenaikan di seluruh Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Ini ada satu bukti ketidaksiapan masyarakat industri peternakan di Indonesia menghadapi pasar global, semuanya dalam kondisi tidak efisien. Kemudian lagi sudah terbentuk harga baru, dalam arti harga yang petani sendiri membeli sapi sudah mahal kemudian diturunkan harganya petani akan menjerit. Karena sudah masuk semacam lingkaran setan mana yang didahulukan, karena ketidakefisienan terjadi di semua lini.
Bagaimana dengan sensus ternak yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian selama ini? apakah cukup efektif mengetahui suplai dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri?
Kita sepakati bahwa sensus itu adalah katakanlah data yang paling akhir. Tapi daging itu adalah bukan sapi yang dipotong di rumah potong hewan dan dijangkau oleh masyarakat, itu dipotongnya di dalam kota itu kondisinya. Sementara sensus tidak menghitung daging, dia menghitung jumlah sapi yang tersebar di hampir 13.000 pulau seluruh Indonesia yang infrastruktur negara kepulauan yang begitu jauh.
Jadi sensus sapi ini nanti kalau diterjemahkan sebagai persediaan daging sapi ini jelas tidak nyambung ya?
Tidak nyambung. Karena penyediaan daging sapi ada di RPH, sementara 800 RPH yang ada tidak efisien. Dia menjadi biro jasa yang dipotong di situ, dibangun pemerintah tidak berstandar NKV (Nomor Kontrol Veteriner) atau SNI yang dibuat pemerintah. Sementara pemerintah mengharapkan itu semua bisa menyediakan, ini harus dibangun semua bersama-sama, tidak bisa parsial.
Jadi solusi menambah impor ini parsial?
Salah satu yang sangat parsial dan itu hanya menjangkau daerah-daerah perkotaan yang relatif terjadi penurunan tapi tidak efektif seperti yang diharapkan pemerintah. Paling turun tidak signifikan, karena yang dijangkau hanya di perkotaan saja dan industri bakso sekarang ini terkendala dengan harga yang tinggi.
Tapi bukannya konsumsi daging ini terbesar ada di perkotaan?
Iya terutama Jakarta dan Bogor.
Ketika impor daging digelontorkan di perkotaan bisa memenuhi permintaan ya?
Iya tapi sekarang impor ini memenuhi katakanlah Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya tapi dia tidak datang ke Sulawesi Selatan, ke Medan, dan seterusnya. Sementara sentra-sentra pertumbuhan ekonomi kita sekarang sudah menyebar, jadi efeknya akan sangat lambat. Karena yang diimpor hanya katakanlah 17 persen dari total kebutuhan nasional.
Pemerintah memutuskan membuka kran impor untuk daging beku jenis prime cut. Menurut anda kebijakan ini apakah juga bisa mempengaruhi harga daging di pasaran?
Kalau prime cut itu orang harga berapapun dibeli, dia cukup uangnya. Persoalan kita adalah secondary cut, secondary cut itu masuk ke industri bakso yang mungkin 60-70 persen pangsa pasar daging di Indonesia. Jadi secondary cut ini yang tidak boleh masuk pasar becek, karena harusnya masuk ke industri. Yang sering kebobolan secondary cut ini masuk ke pasar becek, jadi harga daging secondary cut yang Rp 23 ribu sampai Rp 30 ribu untuk industri bakso masuk ke pasar becek jadi Rp 60 ribu, itu untungnya 100 persen. Jadi daging-daging secondary cut yang impor datang ke sini masuk dengan harga tinggi karena yang dikonsumsi di Indonesia tidak kenal daging dengan kelas item.
Naik kelas ya?
Iya. Jadi yang harus dibenahi pemerintah adalah tata niaga di dalam, begitu kran dibuka tata niaga harus dijaga ketat. Sekarang siapa yang tahu misalnya daging impor dari Tanjung Priok masuk langsung ke Pasar Induk Caringin dia tidak masuk industri itu tidak ada yang jaga.
Jadi kontainer itu masuk ke industri?
Harusnya masuk ke industri. Tapi begitu jalan, dia mampir ke Pasar Induk Caringin dia distribusikan, pakai kontainer yang lain ditukar siapa yang tahu. Jadi distribusi, logistik daging ini yang harus dijaga ketat oleh pemerintah untuk menstabilkan harga itu sesungguhnya. Importir yang terdaftar, jadi pabrik bakso dan lain-lain harus mempunyai itu tapi lebih untung jual di pasar becek. Ini yang mendistorsi pasar, kondisi yang sesungguhnya di pasar umum sehingga peternak ribut karena turunnya begitu drastis. Dulu setelah kejadian rendahnya harga itu terjadi keseimbangan semu, karena ternyata impor daging waktu itu selisihnya dengan data sampai 50 ribu ton pada tahun 2009-2010.
Sekarang dengan harga sekarang Rp 90 ribu sampai Rp 100 ribu petani untung berapa banyak?
Yang jelas hitungan kami beberapa waktu yang lalu harga Rp 32 ribu per kilogram berat badan untuk sapi-sapi siap potong itu petani happy. Artinya di pasaran itu Rp 90 ribu harga daging, itu normatif harga di petani Rp 30 ribu sampai Rp 32 ribu per kilogram berat hidup. Sehingga kalaupun diturunkan katakanlah menjadi Rp 29 ribu atau Rp 28 ribu paling turunnya antara Rp 80 ribu dari Rp 90 ribu yang sekarang ini. Itu kondisi riilnya yang kita lihat karena keseimbangan baru terbentuk akibat ketidakefisienan skala usaha, pola usaha, transportasi, distribusi, semua.
Kenapa petani lokal tidak diberdayakan? sebetulnya kemampuan petani lokal kita seberapa mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri?
Kalau kita lihat dari kondisinya kita memang bukan industri. Jadi sapi itu rojo koyo dia butuh dia jual, berbeda dengan industri yang berorientasi pasar, dimana konsumen butuh dia jual. Di kita sekarang adalah dimana petaninya butuh dia jual berapapun harganya, jadi reorientasi bisnis ini harus dilakukan untuk melihat kawasan-kawasan mana yang bisa menjadi industrialisasi. Sekarang semua berpusat di Jawa, katakanlah sapi potong ada di Jawa Timur yang penduduknya padat tapi skala usahanya 2-3 ekor. Apakah itu akan dilindas semua menjadi industri besar yang skalanya puluhan ribu ekor, tidak mungkin. Zaman Belanda dulu dimana pembangunan industri perkebunan diikuti oleh ternak ada didalamnya, zaman Pak Harto kelemahannya industri perkebunan dibangun di luar Jawa tidak disertai ternak. Ini sekarang direorientasi BUMN diharapkan mengadopsi ternak untuk pembibitannya, sekarang sedang dilakukan reorientasi tapi BUMN masih tawar menawar. Karena di situ ada ternak, pupuk, produktivitas naik, pakan diperoleh dari industri perkebunannya, peternakan dan perkebunan tumbuh berkembang baik, penyedia hewani untuk masyarakat dengan efisien.
Mungkin lebih ke pemberdayaan petani ya?
Iya. Coba anda sekarang di dalam program swasembada daging itu ada program LM3, SMD (Sarjana Membangun Desa), program KUPS. Itu semua sebagai bumper, tapi setelah kita lihat berapa persen KUPS terserap. Karena itu hanya sebagai semacam lips service saja, prosedur memperoleh kredit sangat sulit. Kedua kita lihat SMD berapa yang terbengkalai, berapa uang yang hilang puluhan miliar di situ, sarjana tidak bisa begitu saja menjadi pengusaha, dia harus mendampingi 20 kelompoknya, dalam satu kelompok 20 petani. Ini semua evaluasi dan efektivitas dari program-program itu tidak berjalan sehingga akibatnya seperti ini. Saya lihat bahwa pemberdayaan petani tidak berjalan, sehingga ketersediaan bibit, efisiensi yang terjadi justru memberatkan.
Apa ini menjadi komoditas politik juga?
Iya itu indikasi luar ya bahwa kondisinya seperti itu. Ini kemarahan anak bangsa melihat kebijakan pemerintah yang tidak pas, sebenarnya kita masih punya harapan besar dari potensi. Kalau teman-teman asosiasi Australia atau di luar negeri menganalisis, Indonesia itu mampu menyiapkan produk dalam negeri berdasarkan potensi. Hanya sekarang ini persoalan kita kembali pada para pemburu rente yang menikmati keuntungan jangka pendek. Jadi dari semua itu dinikmati, sehingga menjadi biaya tinggi buat usaha di dalam negeri. Jadi semua memanfaatkan momentum hanya untuk mendapatkan keuntungan sesaat, ini yang harus kita benahi.
Pemerintah kemarin menggadang-gadang bakal melakukan swasembada daging. Kalau menurut anda mungkin kahini dilakukan?
Kalau secara teori di atas kertas semua mungkin. Analisator di luar itu melihat potensi lahan kita, melihat potensi perkebunan kita semuanya itu mungkin. Bahkan ada satu perhitungan, bahwa biaya produksi menghasilkan anakan atau bibit dalam negeri dengan memanfaatkan perkebunan sawit misalnya bisa bersaing dengan hasil yang dilakukan Australia di padang penggembalaan yang begitu luas dan itu efisien. Kita hitung di atas kertas itu mungkin, tapi apakah sekarang Dahlan Iskan bisa menerima, Dahlan Iskan hanya untuk feedlot jadi susah ketemu. Padahal BUMN itu punya fungsi menyelamatkan yang tidak dilakukan usaha-usaha swasta, tugas BUMN usaha yang tidak dilakukan swasta tapi bisa memberikan maslahat besar untuk bangsa.
Penambahan Kuota Impor Daging Sapi Tidak Menjamin Harga Akan Turun
KBR68H, Jakarta - Pemerintah sepakat menambah kuota impor daging menyusul mahalnya harga daging sapi yang mencapai sekitar Rp 90 ribu.

BERITA
Kamis, 18 Apr 2013 11:16 WIB


impor daging, kuota ditambah, harga
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai