KBR68H, Jakarta – Di tengah kesibukannya sebagai pejabat publik, mulai dari anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa hingga ketika masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD selalu meluangkan waktu untuk menyaksikan film-film Indonesia. Sejumlah film tentang Islam menarik perhatiannya untuk menyaksikan di bioskop, contohnya Ayat-ayat Cinta, Di Bawah Lindungan Kabah hingga Sang Pencerah. Namun, Mahfud MD menilai industri perfilman nasional saat ini jauh tertinggal dibandingkan era 80-an dulu. Mahfud MD menceritakan pandangannya tentang dunia film nasional dalam wawancara khusus dengan KBR68H, Tempo TV dan Portalkbr.com di kantornya yang baru di jalan Dempo, Jakarta Pusat, Kamis (25) lalu.
Anda sebagai salah satu tokoh publik yang mungkin punya perhatian khusus soal perfilman Indonesia. Pandangan anda terhadap perfilman Indonesia saat ini seperti apa?
Sekarang ini menurut saya perfilman kita jauh mundur dari zaman saya dulu masih mahasiswa misalnya di tahun 80’an. Kita selalu senang dan menunggu film-film yang muncul setiap tahun, sehingga seperti dulu saya kenal nama bintang film Dedy Mizwar, Widyawati, Sopan Sofyan, Rano Karno kenal judul-judur filmnya dan selalu ditunggu. Tapi sekarang tidak ada, saya tanya anak saya tidak tahu, sekarang tidak ada bintang-bintang film top. Oleh sebab itu mungkin orang akan mengatakan sekarang ada sinetron, tetapi tidak juga karena di negara lain ada sinetron tapi film juga tetap maju Hollywood misalnya. Itu yang saya rasakan sekarang ini, saya tidak tahu persis apa penyebabnya. Sejauh ingatan saya terakhir film itu bergemuruh bagus zamannya Menteri Harmoko dan sebelumnya, setelah itu saya tidak melihat film-film yang bagus.
Kalau kita bandingkan jumlah bioskop di tahun 80’an dengan sekarang jumlah bioskop jauh lebih banyak. Tapi ini ternyata tidak bisa merangsang insan film kita untuk membuat film lebih banyak dan bagus ya?
Itu yang saya tidak tahu apa sebabnya. Kalau dilihat penonton banyak untuk film-film tertentu sering laris, saya tidak tahu juga apa sebabnya.
Sekarang ada tren kecenderungan para pembuat film untuk membuat film-film tentang Islam misalnya bulan depan ada film tentang Hasyim Ashari Sang Kyai. Kalau menurut anda film-film seperti ini mungkin bisa menjadi salah satu pembangkit agar para penonton bisa menyaksikan film Indonesia lagi?
Mungkin iya. Karena saya melihat ada film Ayat-ayat Cinta itu laris, kemudian film Sang Pencerah laris, kemudian Cinta Tapi Beda. Lalu saya lihat Sang Kyai ditunggu-tunggu, mungkin itu menjadi penting karena budayanya sudah ditemukan di sinema elektronik. Agama banyak di televisi tapi tidak menarik, mungkin diolah dengan cara pengelolaan film layar lebar menarik untuk Indonesia.
Dari film-film tema Islam yang sudah anda tonton, menurut anda yang paling menarik di selera anda yang mana?
Menurut saya sama saja. Tetapi saya menonton semua mulai dari Ayat-ayat Cinta, Sang Pencerah, Di Bawah Lindungan Ka’bah. Saya suka bukan film khas agama, tapi menampilkan budaya kita seperti Laskar Pelangi. Justru kalau kreatif seperti Laskar Pelangi laris juga sampai ke mancanegara.
Jadi sebenarnya kalau dilihat tema-temanya seharusnya kita bisa jadi tuan rumah di negara sendiri?
Seharusnya bisa tinggal kepandaian memilih tema.
Kalau kita lihat sekarang para pembuat film lebih mementingkan komersil jadi mereka memilih film-film yang horor atau berbau seks karena cepat balik modal, sementara film-film yang agak berat butuh dana besar, kolosal, dan keuntungan tidak seberapa. Tanggapan anda?
Mungkin itu juga jadi salah satu sebab dan itu juga yang barangkali kemudian merusak produktivitas dan antusiasme masyarakat terhadap film itu. Memang dirusak oleh film-film seperti horor, seks, kekerasan meskipun film action The Raid itu bagus, bermutu juga.
Salah satu aktor The Raid Joe Taslim sekarang sudah jadi salah satu pemain film di Hollywood. Apakah aktor-aktor kita sebenarnya bisa untuk go internasional ya?
Bisa. Zamannya Christine Hakim itu sering ikut festival di Cannes dan sebagainya itu sering. Sebelum itu Slamet Rahardjo, Erof Djarot bagus-bagus filmnya tapi sekarang ini film asal jadi.
Dulu ada Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) apakah diperlukan lagi kehadirannya untuk memajukan industri film di Indonesia?
Mungkin iya. Saya tidak tahu apakah Perfini itu komersial atau ideal, saya masih kecil waktu itu. Tetapi memang kalau fungsi-fungsi untuk memajukan perfilman sudah ada kementerian, tidak harus Perfini. Yang penting bagaimana kebijakannya, bagaimana memilih sudut-sudut yang bagus dari sebuah rencana pembuatan film itu.
Kalau dari jumlah penduduk kita salah satu terbesar di Asia, seharusnya bisa menjadi salah satu indikator untuk menarik penonton ke bioskop. Menurut anda?
Itulah problemnya, saya tidak pernah mendalami itu tetapi mengikuti perkembangannya sebagai penikmat. Dulu sebelum saya jadi menteri pada tahun 2000, sekitar pertengahan tahun 90’an dulu ada program pemerintah yang sangat bagus tapi gagal juga yakni agar digalakkan film-film daerah, setiap provinsi buat film sendiri karena banyak cerita-cerita bagus. Tapi saya lihat cuma Jakarta yang kemudian di Jawa Barat ada beberapa, yang lain tidak berkembang juga.
Sebagai penikmat film aktor atau aktris favorit anda siapa?
Aktor favorit saya aktor-aktor lama, yang baru tidak ada yang melekat di hati saya. Saya suka Dedy Mizwar, saya suka Christine Hakim. Sebelum itu untuk film-film remaja saya suka Sopan Sofyan dan Widyawati pada masanya.