Bagikan:

Mahasiswa Khawatir UU Pendidikan Tinggi Dorong Komersialisasi Pendidikan

Pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) dikhawatirkan berbagai kalangan akan mendorong komersialisasi pendidikan. Salah satu pihak yang paling khawatir adalah mahasiswa.

BERITA

Kamis, 25 Apr 2013 12:26 WIB

Author

Sasmito

Mahasiswa Khawatir UU Pendidikan Tinggi Dorong Komersialisasi Pendidikan

UU Pendidikan Tinggi, UU No 12 Tahun 2012, Mataram, Universitas Mataram

KBR68H- Pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) dikhawatirkan berbagai kalangan akan mendorong komersialisasi pendidikan. Salah satu pihak yang paling khawatir adalah mahasiswa. Apalagi bila merujuk pada kenaikan uang SPP yang terjadi di beberapa universitas usai pemberlakuan UU tersebut. Hal ini semakin menguatkan dugaan mahasiswa bahwa pemberlakuan UU ini akan menambah beban biaya baru kepada mereka.


Suara ini muncul dari mahasiswa Universitas Mataram. Menteri Sosial Politik BEM Universitas Mataram, Maslaluh Sulaen menceritakan kenaikan biaya kuliah yang harus mereka tanggung ketika pengelola  kampus sekarang memungut uang kuliah tunggal yang lebih mahal dari tahun sebelumnya. “Kalau berbicara pembiayaan di Universitas Mataram memang lebih murah dibandingkan universitas lainnya. Tetapi saat ini di sini baru menerapkan uang kuliah tunggal yang naik sekitar Rp 1 juta sekian. Ini lebih mahal dari sebelumnya. Kalau UU Pendidikan Tinggi diterapkan akan semakin mahal, karena anggaran dari pusat akan berkurang,”ujar Maslaluh Sulaen.


Terbitnya UU Dikti juga dinilai sebagai bentuk lepas tangan pemerintah dari urusan pembiayaan pendidikan. Padahal menurut salah satu mahasiswi Universitas Mataram, Yuniati, amanat Undang-Undang Dasar 1945 sudah cukup jelas mengatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara. “Ini sangat tidak berpihak ke mahasiswa. Karena dengan UU Pendidikan Tinggi ini semakin membuktikan pemerintah ingin lepas tangan terhadap pengaturan pendidikan. Kampus dibiarkan sendiri mencari pemasukan. Sehingga Pemerintah tidak memiliki peranan lebih lagi. Apalagi kemampuan tiap kampus kan berbeda-beda untuk mengembangkan kemampuannya,”celetuk Yuniati.


Namun, kekhawatiran mahasiswa itu dibantah Koordinator Tim Ahli Pembentukan UU Pendidikan Tinggi, Anwar Arifin. Pemberlakuan UU Pendidikan justru menguntungkan masyarakat khususnya mahasiswa. Dengan UU ini akan dimungkinkan mahasiswa di seluruh daerah dapat membayar sesuai kemampuan masing-masing.  “Ketika kita membuat konsep tentu awalnya negara berpihak ke masyarakat khususnya mahasiswa. Tapi yang terpenting adalah mahasiswa dapat membayar sesuai kemampuannya masing-masing. Jadi nanti ada yang membayar tinggi, sedang dan rendah,”jelas Anwar Arifin.


Anwar juga membantah pemberlakuan UU Pendidikan Tinggi akan menghapus peran pemerintah dalam pendidikan. Uang SPP yang dibayarkan mahasiswa hanya berperan sedikit terhadap operasional pendidikan tinggi. Ia mengklaim hampir sebagian besar operasional di perguruan tinggi masih dibiayai pemerintah. “Anggaran pendidikan tinggi itu kan sekitar 28 triliun. Itu untuk membayar gaji dosen, tunjangan professor dan sebagainya itu masih ditanggung oleh negara. Kalau biaya SPP dari mahasiswa itu masih kecil persentasenya. Tidak sampai sepuluh persen,”jelas Anwar.


Bantahan tim pembentuk UU Perguruan Tinggi juga diamini oleh Akademisi Universitas Mataram, Muhaimin. “Saya melihat pemerintah tidak lepas tangan dalam UU Perguruan Tinggi ini. Saya menghitung kalau di Unram uang dari mahasiswa itu hanya sekitar 18 miliar rupiah. Itu persentasenya kecil jika dibandingkan dengan operasional kampus secara keseluruhan,”jelas Muhaimin. Hanya saja, Muhaimin tetap berharap agar pemerintah memenuhi janjinya untuk memberikan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan sesuai amanat Undang-undang. Ia tak ingin perundang-undangan yang baru ini justru menutupi kewajiban pemerintah untuk memenuhi anggaran tersebut. Sehingga beberapa kekhawatiran mahasiswa terkait komersialisasi pendidikan dengan pengesahan UU Pendidikan Tinggi tidak terjadi. 


Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending