KBR68H, Jakarta - Pendidikan gratis menjadi sebuah kebijakan yang telah diterapkan pemerintah daerah di berbagai wilayah Indonesia. Namun praktiknya, berbagai pungutan masih ditemui. Misalnya saja uang gedung, buku sampai seragam sekolah. Selama ini pungutan yang diterapkan sekolah dibuat dan diputuskan sepihak oleh sekolah/dinas/SKPD, tanpa melibatkan siswa atau orangtua. Hal inilah yang menyebabkan slogan pendidikan gratis pun seolah tanpa makna.
Padahal ruang keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dijamin oleh UU no. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Masyarakat semestinya dilibatkan sejak perencanaan, penyelenggaraan, hingga pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan begitu kualitas penyelenggaraan pelayanan publik menjadi akuntabel dan lebih baik. Bagaimana peran ideal masyarakat dalam mengawal kebijakan pendidikan gratis? Dalam perbincangan Pilar Demokrasi KBR68H dan Tempo TV dengan pemandu acara Nanda Hidayat bersama narasumber Wakil Koordinator LSM Anti Korupsi ICW Ade Irawan, Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sinjai Sulawesi Selatan Hariyanto dan Sekretaris Daerah Kabupaten Sinjai Taiyeb A. Mappasere.
ICW melakukan riset soal pendidikan gratis di daerah, hasilnya tidak banyak daerah yang dapat menyelenggarakan pendidikan gratis. Apa sebabnya? Ternyata dari hasil riset itu, kebanyakan daerah kekurangan anggaran dalam menyelenggarakan pendidikan gratis. Wakil Koordinator ICW Ade Irawan mengatakan, dari temuan kami banyak juga anggaran yang dikorupsi sehingga pemerintah daerah tidak bisa menyelenggarakan pendidikan gratis,
“ Berpijak pada hasil riset kami belum banyak daerah yang melakukan pendidikan gratis, tetapi sebaliknya masyarakat membayar mahal untuk pendidikan yang buruk. Mengapa itu terjadi, ada dua faktor utama pertama soal alokasi anggaran yang kecil. Kedua, dengan dana yang kecil ternyata masih dikorupsi dari hulu ke hilir dari pusat hingga ke sekolah sehingga amanat konstitusi untuk pelaksanaan pendidikan gratis tidak tercapai,” jelas Ade.
“Untuk korupsi, kita temukan misalnya penyelewengan BOS, walaupun dana itu bisa turun langsung ke sekolah tanpa melalui birokrasi tetapi ternyata urangnya harus disetor ke atas lagi, dari sekolah disetor ke dinas-dinas, bahkan ada lebih nekat lagi, uang BOS untuk siswa dipotong dan diberikan ke kepala dinas dan kepala sekolah. Makanya amanat UU untuk pendidikan gratis tidak terwujud,” tambah Wakil Koordinator ICW Ade Irawan.
Sedangkan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sinjai Sulawesi Selatan Hariyanto menilai pendidikan gratis atau pembebasan biaya pendidikan diatur dalam Peraturan Daerah. Menurut Haryanto, pihaknya masih menemukan beberapa pelanggaran di tingkat kecamatan,” Untuk itu kami sudah menggerakkan masyarakat melalui elemen-elemen masyarakat untuk mengawal Perda soal pendidikan gratis. Kita berharap pelayanan pendidikan di Sinjai bisa berjalan dengan baik meskipun kami melihat ada beberapa kekurangan terutama dalam hal pengawasan,” ucap Haryanto.
Sekretaris Daerah Kabupatan Sinjai Sulawesi Tengah Taiyeb A. Mappasere mengatakan pembebasan biaya pendidikan di Kabupaten Sinjai sudah dilakukan sejak tahun 2003 untuk pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat SD dan SMP kemudian tahun berikutnya hingga SMA.
“ Tahun 2010 kami sudah berhasil menyusun Peraturan Daerah No,6 Tahun 2010 yang mengatur tentang pembebasan biaya pendidikan. Meskipun kami daerah yang kecil dengan APBD 2013 hanya Rp 644 miliar dengan dana alokasi umum sekitar Rp 470 miliar lebih dari sejumlah dana itu Rp 380 miliar itu untuk gaji belanja pegawai negeri sehingga sisa dana Rp 246 miliar kami paksakan untuk mengalokasikan pembebasan biaya pendidikan,” katanya.
“ Pembebasan biaya pendidikan perlu kita tahu betul tidak hanya sekedar pembayaran di sekolah seperti SPP, biaya OSIS, biaya pengadaan bangku, ektrakurikuler, sekarang itu sudah kita bebaskan semua. Kita habiskan biaya untuk pendidikan gratis sekitar Rp 47 miliar atau kurang lebih 24% dari belanja APBD dikurangi belanja gaji dan tambahan penghasilan guru,” jelas Sekretaris Daerah Kabupatan Sinjai Sulawesi Tengah Taiyeb A. Mappasere soal pembagian kue anggaran.
Pentingnya Peran Masyarakat
Peran masyarakat dalam mendukung terciptanya program pendidikan gratis sangat penting. Masyarakat berpean besar mengawal dan mengawasi pengunaan anggaran. Selain itu, masyarakat juga bisa berpartisipasi memberikan sumbangan dan bantuan dana untuk membantu kekurangan biaya pendidikan gratis bagi masyarakat. Sekretaris Daerah Kabupatan Sinjai Sulawesi Tengah Taiyeb A. Mappasere menjelaskan, Kabupaten Sinjai berharap masyarakat bisa membantu anggaran pendidikan yang terbatas, “ Kita harapkan ada donator-donatur, tugas pembebasan biaya pendidikan tidak hanya tugas pemerintah daerah. Termasuk para orang tua siswa bisa memberikan sumbangan sukarela tidak mengikat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan di Kabupaten Sinjai.
Taiyeb menegaskan, pembebasan menyeluruh biaya pendidikan sudah dijamin oleh pemerintah daerah Kabupaten Sinjai. Kaa Taiyeb siswa didik dibebaskan dari seluruh biaya, “Pendidikan gratis mereka sudah bebas dari pembayaran sama sekali seperti iuran dan sumbangan. pokoknya tidak ada pembayaran yang dilakukan oleh siswa dan orang tua siswa kepada sekolah. Apa yang semestinyta harus dilakukan Pemerintah daerah untuk mendukung kurikulum 2013,” ucap Taiyeb.
Sementara Ade Irawan menghimbau agar Pemerintah tak hanya sekedar menggeratiskan sekolah namun juga memberikan pendidikan yang berkualitas baik dari segi guru dan mutu ajaran,”DI beberapa daerah bisa gratis, kemudian siswa sendiri yang tidak mampu tidak bisa sekolah karena ketiadaan transport. Untuk mutu dan pendidikan berkualitas harus menyeluruh baik soal kesejahteraan dan mutu guru. Guru harus ditingkatkan kualitasnya dengan memberikan pendidikan tambahan bagi guru,” kata Wakil Koordinator ICW Ade Irawan.
Menutup perbincangan, Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sinjai Sulawesi Selatan Hariyanto ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan terutama soal sosialiasi pembebasan biaya pendidikan. Hariyanto menjelaskan, di beberapa sekolah ditemukan adanya penjualan LKS yang dikoordinir oleh guru, kemudian ada sekolah yang menjual seragam dan baju olahraga, “Kita lakukan diskusi terkait soal itu, pada intinya dari anggaran yang sudah disiapkan untuk pembebasan biaya pendidikan tidak dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan,” tutupnya.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan YAPPIKA, Masyarakat Peduli Pelayanan Publik serta didukung oleh USAID.