Bagikan:

Hasil Bali Communique Jauh dari Harapan Publik

Pekan lalu, tepatnya tanggal 25-27 Maret 2013, berlangsung Putaran Diskusi IV High Level Panel on Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda di Bali. Panel ini dipimpin tiga kepala negara yakni Presiden SBY (Indonesia), Presiden Ellen Johnson Sirlea

BERITA

Rabu, 03 Apr 2013 13:51 WIB

Hasil Bali Communique Jauh dari Harapan Publik

Bali Communique

Pekan lalu, tepatnya tanggal 25-27 Maret 2013, berlangsung Putaran Diskusi IV High Level Panel on Eminent Persons on Post-2015 Development Agenda di Bali. Panel ini dipimpin tiga kepala negara yakni  Presiden SBY (Indonesia), Presiden Ellen Johnson Sirleaf (Liberia) dan Perdana Menteri David Cameron (Inggris). Ini merupakan putaran diskusi lanjutan yang sebelumnya berlangsung di New York, London dan Monrovia. Pertemuan di Bali ini menghasilkan dokumen yang disebut Bali Communique.

Namun, dokumen Bali Communique sangat jauh dari harapan publik untuk rumusan agenda pembangunan post-2015. Bali Communique hanya menegaskan pentingnya perhatian untuk mengakhiri kemiskinan dan peran sektor swasta, namun mengabaikan desakan kuat tentang persoalan pembangunan lainnya yaitu ketimpangan, eksklusi sosial dan aspirasi kelompok-kelompok marginal.

Analisis Kebijakan Publik Migrant Care Wahyu Susilo menilai, dokumen Bali Communique tak fokus pada tujuan pengentasan kemiskinan. Dokumen tersebut tak lebih dari MDGS lama dimana selama ini pembangunan hanya membuahkan ketimpangan. Dalam MDGS tak ada tujuan yang berhasil, misalnya skenario bantuan dari negara maju yang memberikan bantuan kepada negara miskin. Dan parahnya poin ini masih dilanjutkan dalam Bali Communique. ,

“Saya kira yang paling penting, skenario Utara bahwa akan mengalokasikan bantuan internasionalnya untuk penanggulangan kemiskinan ternyata tak berlangsung, “ tegas Wahyu Susilo.

Pelibatan pihak swasta harus juga  dilihat motif di belakangnya. Wahyu menilai dalam hal ini pemerintah hanya melempar tanggung jawab ke negara. Hal ini dikhawatirkan pembangunan tak akan dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas. Karena memang pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu harus diatur dengan jelas.

Kritik untuk MDGS

Sementara itu Dian Kartika Sari dari Koalisi Perempuan Indonesia menilai banyak kritik  terhadap MDGS. Salah satunya adalah MDGS hanya fokus pada kemiskinan akut. Artinya orang yang hampir miskin, dan rentan jatuh miskin tak pernah diperhatikan. Padahal data menunjukkan separuh penduduk miskin akut yang ada sekarang, sebelumnya adalah orang yang  yang hampir miskin. Seharusnya kerentanan mereka juga perlu diperhatikan.

SDGs akan memperbaharui MDGs, seharusnya kata Dian Kartika Sari, jika memperbaharui maka tidak menggunakan metode yang lama. Seyogyanya harus mempertimbangkan isu-isu yang selama ini tak masuk dalam MDGs misalnya kekerasan. Perempuan menjadi kelompok yang dirugikan terutama perempuan lansia dan  perempuan difabel.

“Kekerasan terhadap perempuan adalah akar kemiskinan, tapi itu tidak masuk. Kemudian soal migrasi, dinamikan populasi migrasi itu besar, masalahnya besar dan pemiskinan juga besar, namun itu tidak diperhatikan. “ Jelas  Dian Kartika Sari dari Koalisi Perempuan Indonesia

Menurut Jonna Damanik dari Majalah DIFFA,  dokumen Bali Communique tak menyebutkan aksesibilitas bagi semua orang baik penyandang cacat, lansia dan anak. Padahal Berdasarkan data WHO, populasi difabel 15 persen dari total penduduk dunia. Indonesia ada sekira 15 juta difabel.  Jonna berharap beberapa poin akan masuk dalam Bali Communique. Antara lain harus ada kata inklusif dalam SDGs. Dengan kata inklusif semua masuk dan tercipta kesetaraan bagi semua, agar tak menimbulkan ketimpangan.

“Jadi ketika berbicara soal kesehatan maka tak hanya kesehatan bagi usia anak produktif, tapi harus difabel dan lansia, baik di daerah konflik, “ ungkap Jonna Damanik.

Selama ini terjadi kesalahpahaman ketika berbicara pembangunan, masyarakat dianggap sebagai obyek pembangunan, bukan subjek pembangunan. Karena itulah bentuknya selalu bantuan, donasi, BLT.  Hal ini ditambah pula dengan menggeneralisasi kebutuhan masyarakat. Padahal bagi difabel, biaya hidup bisa dua kali lipat dibandingkan yang tidak difabel.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending