Bagikan:

Tan Malaka

"...ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!"

BERITA

Kamis, 06 Mar 2014 15:15 WIB

Tan Malaka

tan malaka, sejarah tan malaka, tan malaka komunis

KBR68H, Jakarta - "...ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!  Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk bekerjasama dengan kami." -Tan Malaka-

Mungkin Pernyataan Tan Malaka di atas yang menjadi sebab pahlawan nasional tersebut hilang dari benak generasi muda sekarang. Kalaupun ada di benak, stigma negatif lebih kuat ketimbang gagasan-gagasannya tentang konsep negara Indonesia merdeka.

Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, pernyataan tersebut diutarakan Tan Malaka saat berpidato pada Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922. Setelah itu Tan Malaka dipecat dari organisasi komunis dunia atau Komintern. Atas pernyataannya itu, akhirnya Tan Malaka diidentikkan dengan tokoh anti agama. Lebih tepatnya anti islam.

Asral Datuk Putih, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Tan Malaka membenarkan hal tersebut. Menurutnya, pernyataan itu bahkan sampai digunakan oleh kolonial Belanda untuk menciptakan stigma buruk tentang komunis. "Belanda saat itu takut bila kekuatan komunis dan islam bersatu, maka hegemoni mereka akan runtuh," ujarnya.

Asral Datuk Putih mengatakan, sebetulnya komunis dan islam bisa berjalan beriringan. Kata dia, Tan Malaka pernah mengutarakan hal tersebut di Kongres Komintern. "Saat itu tokoh-tokoh komunis dunia menganggap agama adalah candu. Penghalang bagi perjuangan rakyat dari ketertindasan," ujarnya. Namun Tan Malaka membantah itu. Tan Malaka memaparkan betapa islam justru dapat menjadi pelecut perjuangan masyarakat Indonesia melawan kolonial.

Asral menambahkan, dalam kaitannya dengan gerakan buruh, islam juga dinilai sudah relevan. "Sesuai hadist, bayarlah upah buruh sebelum keringatnya kering," imbuhnya. Hadist tersebut menunjukkan kepedulian islam terhadap kaum pekerja, seperti halnya sosialis dan komunis. Asral menambahkan, komunis justru menjadi bentuk ijtihad atau upaya sungguh-sungguh Tan Malaka memperjuangkan negerinya.

Sejarawan Anhar Gonggong menyayangkan stigma negatif terhadap Tan Malaka yang masih cukup kuat hingga saat ini. Kata dia, masyarakat seharusnya dapat mensejajarkan Tan Malaka dengan Soekarno. "Bahkan Tan Malaka sudah punya gagasan negara Indonesia merdeka sejak 1922 dalam buku Naar de Republiek," ujarnya.

Anhar Gonggong menambahkan, masyarakat sekarang seharusnya sudah bisa terlepas dari stereotipe yang diciptakan kolonial Belanda dan Orde Baru. "Sejarah tidak bisa dipahami dengan stereotipe," tegasnya.

Stigma buruk Tan Malaka semakin menjadi pada masa Orde Baru, seiring dengan stigma yang sama terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Asral Datuk Putih, stigma buruk Tan Malaka memang sudah dipropagandakan bahkan sebelum Indonesia lahir.

Menurut Asral, bagi negara ini, Tan Malaka adalah tokoh yang dilematis. "Tidak ada jalan-jalan atau monumen besar atas nama Tan Malaka. Paling ada jalan-jalan kecil di Sumatera Barat. Jadi Tan Malaka itu tokoh yang dibuang sayang, namun menakutkan untuk dipelihara," ujarnya.

Komunisme masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang di negeri ini. Negeri yang justru digagas dan turut diperjuangkan oleh orang seperti Tan Malaka. Tan Malaka mati di ujung senapan tentara dari negara yang dia gagas dan impikan. Februari 1949, Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi. Setahun setelah dia membentuk Partai Murba (Partai Proletar) untuk mengorganisir kelas pekerja oposisi terhadap Pemerintahan Soekarno.

Seperti kata sejarawan Anhar Gonggong, sejarah tidak bisa dipahami dengan stereotipe.

Editor: Fuad Bakhtiar

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending