KBR68H, Jakarta - Prabowo Subianto merasa dikhianati oleh PDI Perjuangan yang akhirnya mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden 2014-2019. Prabowo, yang menjadi capres dari Partai Gerinda, menilai sikap PDIP itu bukanlah sikap seorang pemimpin yang seharusnya memegang teguh janji yang telah disepakati. Padahal, kedua partai sudah sepakat untuk saling mendukung pada Pemilu 2014 ini.
Prabowo menyebut, awalnya dia enggan meneken kesepakatan antara PDIP dan Gerinda, yang disebut sebagai perjanjian Batu Tulis, pada Mei 2009. Namun, karena rasa hormatnya kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, akhirnya Prabowo setuju berkoalisi.
“Nah, waktu itu tokoh-tokoh PDIP minta saya jadi wakilnya Ibu Mega. Banyak di kalangan saya sebetulnya tidak setuju. Saya waktu itu juga agak enggan. Akhirnya, sudahlah, kita ikhlas kalau PDIP mau maju mencalonkan. Kita bersedia. Saya sampaikan. Karena hormatnya saya dengan Ibu Mega, bahwa saya hormat dengan PDIP. Karena ideologi saya sebenarnya sama. Kebangsaan, nasionalisme, pancasila, saya menawarkan, kita siap memberi kursi kita,” kata Prabowo.
Dia menambahkan, setelah melalui perundingan yang alot, Gerinda akhirnya mau bergabung. Prabowo setuju menjadi cawapres mendampingi Mega, dengan catatan pada 2014 Mega balik mendukung Prabowo menjadi calon presiden.
“Saya berkorban 2008, 2009. Kita mohon dengan kebesaran jiwa untuk mendukung saya. Tertuanglah pada perjanjian sekian butir itu, itu yang disebut dengan Perjanjian Batu Tulis. Perundingannya di batu tulis, tetapi tanda tangannya setelah ada persetujuan, kita semua ke Teuku Umar. Kita tanda tangan di Teuku Umar.”
Prabowo menanggap ini semua sebagai pembelajaran politik. Namun yang masih disesalinya adalah petinggi PDIP tak pernah mengajaknya bicara soal pencalonan Joko Widodo.
“Jadi saya kira itu, mbok ya oh kalau orang jawa. Mbok ya oh, dipanggil. Diajak, kopi-kopi. Saya sih, itu saja. Kok saya disepelekan, seperti dianggap tidak ada. Ya itu saja, perasaan sebagai manusia. Apa salah saya? Saya selalu jaga toto kromo.”