KBR68H, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan reformasi birokrasi yang selama ini digadang-gadang Pemerintah belum terlalu dirasakan pengusaha. Ketua APINDO Franky Sibarani mengaakan, perbaikan birokrasi hanya dirasakan di beberapa tempat saja dan lebih banyak terjadi di tingkat pusat.
Persoalan utamanya, kata Franky, adalah otonomi daerah dan lemahnya penegakan hukum. Karenanya Franky setuju dengan Indeks Efisiensi Bank Dunia, yang menyebutkan kalau efisiensi Pemerintah Indonesia paling rendah dibandingkan negara-negara Asia lain.
Berikut petikan wawancara dengan Franky Sibarani.
Bank Dunia mencatat bahwa indeks efisiensi pemerintahan Indonesia terendah se-Asia. Apa yag menjadi keluhan para pengusaha selama ini?
“Terutama memang itu banyak. Kalau kita misalnya beberapa sektor seperti tekstil bisa lebih dari 100 izin, industri makanan dan minuman sampai ke distribusi itu lebih dari sekitar 50 izin yang harus dimiliki. Terutama di retail banyak sekali, kalau dia memperdagangkan misalnya alat kesehatan dia harus ke dinas.”
Seratus izin itu wajar tidak?
“Sebenarnya yang jadi masalah itu bahwa setiap kementerian atau dinas bisa mengeluarkan izin yang berbeda. Kedua kita ini otonomi daerah jadi banyak perizinan yang seharusnya bisa terpusat sekarang diserahkan kepada daerah, daerah memiliki kebijakan yang berbeda-beda tentu merugikan kita. Sehingga yang disampaikan berdasarkan survei Bank Dunia bahwa kita 8,3 dari 10 terendah menurut saya itulah fakta di negara kita ini. Jadi selain perizinan kemudian layanan, layanannya juga belum mencerminkan sebagai pelayan publik.”
Selain izin yang harus diurus begitu banyak, waktu yang lama juga ya? berapa lama biasanya total pengurusan izin?
“Iya tergantung izinnya. Tetapi memang cukup lama, artinya kalau memang itu di pusat kita sudah dapat izin tetapi di daerah ternyata ada peraturan daerah lagi maka membutuhkan waktu yang berbeda dan biasanya cukup panjang.”
Bagaimana untuk biayanya?
“Biayanya sebetulnya relatif. Tetapi kalau setiap izin kita harus keluar biaya itu menjadi hambatan tersendiri, kemudian juga ada yang biaya resmi ada juga biaya katakanlah mempercepat kita harus memberikan tanda terima kasih misalnya.”
“Kalau misalnya di sektor UKM hampir sebagian besar, kalau saya hitung persentase bisa jadi 60 persen UKM kita tidak ada izinnya. Karena lama dan ruwet, birokrasi kita tidak bisa mencerminkan sebagai pelayan publik.”
Pemerintah selama ini menggadang-gadang reformasi birokrasi, belum ada efeknya bagi pengusaha?
“Saya kira hanya di beberapa saja ya. Menurut saya lebih banyak di pusat dan di beberapa daerah yang kepala daerahnya cukup concern tentang investasi dan dunia usaha.”
Daerah mana misalnya?
“Saya kira di beberapa kota ya. Kalau di Semarang itu Sragen misalnya, saya melihat beberapa aturannya relatif lebih jelas meskipun ada beberapa yang tidak selalu sejalan dengan pusat. Misalnya tentang retail modern atau minimarket, di Sragen itu aturan perdanya menyatakan bahwa harus di luar pusat kota. Di dalam implementasinya pun sama seperti itu, kemudian tata ruangnya meskipun itu belum ada tetapi implementasi di lapangannya itu sesuai dengan aturan perda. Itu dari satu sisi memang memberikan kepastian dan kita ya baik-baik saja. Tetapi tidak sedikit seperti misalnya di Jakarta ini di zaman gubernur sebelumnya itu hampir 1.200 minimarket tidak ada izinnya tetapi faktanya ada di sekeliling kita, itu bagi pelaku usaha itu bentuk ketidakpastian.”
Dari para pengusaha apa yang diharapkan dari sistem birokrasi kita?
“Kalau menurut saya kita harus meninjau kembali makna dari otonomi daerah. Karena otonomi daerah saya kira menjadi salah satu hambatan di dalam upaya kita untuk efisien dan efektif didalam memulai atau menjalankan usaha. Kemudian memang harus berani mereformasi peraturan-peraturan yang katakanlah kalau sudah ditetapkan di pusat ya itu tidak perlu lagi ditentukan di daerah atau daerah cukup tembusan saja misalnya. Sekarang ini dengan adanya otonomi daerah di pusat membuat ketentuan, di daerah membuat ketentuan lagi dengan alasan otonomi daerah. Saya kira kita perlu melakukan pembahasan kembali tentang otonomi daerah, peran pusat dan daerah.”
“Kemudian kepastian hukum, dua hal ini saya kira kalau memang bisa direformulasikan lagi saya kira tentu ke depan bisa lebih baik. Satu lagi mungkin reformasi birokrasi, memang orientasi birokrasi kita tidak sepenuhnya untuk pelayanan publik. Saya kira itu bukan hanya di kalangan dunia usaha tapi juga kepada masyarakat pun masih demikian.”