KBR68H, Jakarta - "Untuk menjamin penganut Marapu mendapatkan haknya sebagai warga negara, serta mengurangi tindakan diskriminasi terhadapnya, saya terus memperjuangkan hak-hak dasar yang harus diterima oleh masyarakat Marapu. Salah satunya adalah mendaftarkan Marapu ini di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Khristofer Praing saat menjadi narasumber dalam Program Agama dan Masyarakat KBR68H.
Kristofer Praing adalah Kepala Kependudukan dan Catatan Sipil di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Sebagai penganut kepercayaan Marapu, dia sadar betul akan tindakan diskriminasi yang dialami olehnya, serta sejumlah penganut kepercayaan Marapu lainnya di Sumba.
Penganut kepercayaan Marapu sama seperti pengikut atau penganut agama, atau kepercayaan lain di Indonesia yang tak termasuk dalam enam agama yang ditetapkan oleh negara. Mereka kesulitan untuk mendapatkan layanan dari negara. Sebut saja, ketika mereka ingin mendapatkan pencatatan sipil saat akan menikah, atau melahirkan.
"Nasib Penganut Marapu setali tiga uang dengan apa yang dialami oleh saudara-saudara kita yang menganut Ahmadiyah, Syiah, atau kepercayaan lainnya. Hal yang paling mendasar adalah kesulitan untuk mendapatkan pencatatan sipil. Hingga kini, banyak anak-anak yang belum mendapatkan akta kelahiran lantaran memiliki orang tua yang menganut Kepercayaan Marapu," paparnya.
Jabatannya di pemerintahan setempat, memudahkan Khristofer memperjuangkan penganut kepercayaan Marapu mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. "Kebebasan menganut kepercayaan dijamin dalam undang-undang. Tidak ada alasan untuk mendiskriminasi penganut Marapu," tegasnya.
Marapu merupakan sistem kepercayaan leluhur yang diklaim sudah ada sebelum Indonesia berdiri. Biasanya, mereka tergabung dalam sebuah komunitas yang dinamai Masyarakat Marapu. Pada awalnya, masyarakat di Sumba secara keseluruhan adalah penganut kepercayaan Marapu. Dalam perkembangannya, dari 242 ribu lebih jiwa, tersisa sekitar 22 ribu lebih yang menganut kepercayaan Marapu.
"Dari kepercayaan ini, kita mengetahui ada undang-undang yang mengaturnya, yakni undang-undang mengenai kependudukan itu. Undang-Undang No. 24 Tahun 2013," kata Khristofer.
Apa yang dilakukan oleh Khristofer Praing diacungi jempol oleh Trisno Sutanto, Pendiri Masyarakat Dialog Agama. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Khristofer terbilang langka terjadi di Indonesia. Kebanyakan, perjuangan untuk membela hak-hak kaum minoritas diinisiasi oleh LSM.
“Jarang sekali ditemukan orang yang memiliki jabatan di pemerintahan melakukan urusan-urusan semacam ini. Makanya ini merupakan sebuah anomali menurut saya,” ujar Trisno.
Menurut Trisno, kaum minoritas di Indonesia memiliki peluang untuk menuntut haknya kepada negara dengan menggunakan undang-undang Kependudukan yang baru. Dalam UU yang baru, kolom agama dalam KTP itu bisa dikosongkan. “UU Kependudukan dengan berbagai kekurangannya, juga membuka peluang untuk memperjuangkan hak-hak kaum minoritas,” jelasnya.
Khristofer menuturkan, upaya memperjuangkan hak-hak penganut Kepercayaan Marapu mulai membuahkan hasil. Salah satu parameternya, pandangan-pandangan orang terhadap Marapu sudah mulai berubah. Masyarakat kata dia, perlahan mulai mengakui keberadaan Kepercayaan Marapu. “Pendeta di Sumba juga ada yang terang-terangan mendukung penganut Marapu agar diaku,” tutupnya.
Editor: Fuad Bakhtiar