Bagikan:

Melawan Kekerasan Seksual dengan Puisi

Sebagian besar kontributor puisi menulis mewakili suara korban

BERITA

Jumat, 14 Mar 2014 02:21 WIB

Melawan Kekerasan Seksual dengan Puisi

Puisi kekerasan seksual perempuan, puisi kekerasan terhadap perempuan

KBR68H, Jakarta – Apa yang Anda terlintas di pikiran Anda saat membaca cuplikan puisi ini: 


“Kalau cinta jangan perkosa

Biar cinta jangan memaksa

Tidak adalah tidak 

Bukan mau tapi malu-malu.”


Ini adalah puisi “Soft Rape” karya Yenti Nurhidayat. Puisi ini hadir sebagai bagian dari “Voice Breaking Silence”, Antologi Puisi Melawan Kekerasan Seksual yang diluncurkan Rabu (13/3) malam di Jakarta. 


Yenti adalah penggagas sekaligus editor bagi 50-an puisi yang karyanya masuk dalam antologi ini. Antologi ini diluncurkan sekaligus untuk merayakan Hari Perempuan Internasional, tanggal 8 Maret lalu. 


“Ini bermula dari lontaran di Facebook. Hampir semua teman saya langsung merespons, dan dalam 2 hari terkumpul 70 orang calon kontributor untuk buku tersebut,” kata Yenti sumringah.


Puluhan orang yang mendaftar untuk bergabung dalam antologi puisi ini tak semuanya punya latar belakang penyair. Ada yang ibu rumah tangga, pelajar SMA, juga ada remaja LGBT (lesbian, gay, biseksual, transeksual). Karena itu Yenti, yang tergabung dalam Komunitas Penulis Perempuan Indonesia (KPPI) ini langsung menyediakan sejumlah rambu penulisan. 


“Puisi yang diberikan harus bertemakan melawan kekerasan seksual. Tidak rasis. Tidak bias gender. Juga tidak menyalahkan perempuan sebagai penyebab kekerasan,” jelasnya. 


Tak lama, puisi-puisi pun terkumpul dari berbagai penulis dari penjuru Indonesia, tua-muda, laki-laki dan perempuan. 


Yenti mengaku mendapat inspirasi menulis antologi puisi ini setelah membaca wawancara dengan sastrawan Martin Aleida. Wawancara itu berjudul “Takdir Sastra adalah Membela Korban” yang menyoroti keberpihakan Martin terhadap para korban tragedi 1965. 


“Secara pribadi saya sangat setuju bahwa sastra (tulisan) dalam kehadirannya harus memiliki visi. Sastra tidak lahir dari kegenitan untuk sekadar bermain-main dengan kata. Di mata saya, sastra adalah alat bagi seorang sastrawan untuk menyampaikan pesan,” tulis Yenti dalam kata pengantar buku. 


Yenti sendiri adalah seorang penyintas alias survivor. Dia pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, menjadi korban kekerasan di tempat kerja lantaran di-bully oleh senior, serta diperkosa oleh orang yang sudah dianggapnya sebagai bapak angkat sendiri.


“Kebetulan ada orang yang sangat baik, sudah saya anggap bapak sendiri,” kata Yenti. “Saat saya dalam kondisi drop, di titik nol, dia memanfaatkan posisi saya. Dulu saya tidak pernah berpikir itu perkosaan. Setelah saya kuat kembali, saya berpikir, gila juga ini orang, mentang-mentang saya lagi lemah.”


Beruntung Yenti sudah lama dekat dengan dunia tulisan. Yenti sudah sering menulis cerpen, puisi, prosa dan esai. Karyanya dimuat di Jurnal Perempuan, Jurnal Kesejahteraan serta Harian Tribun Jabar. Naskah dramanya berjudul “Karena Aku Bernama Amoy” sudah dipentaskan keliling Jawa dan Bali. 


“Bagi saya pribadi, puisi adalah alat untuk memulihkan. Untuk pemulihan jiwa, saya menulis. Menulis membuat emosi kita lebih netral. Kalau sudah jernih, kita bisa berpikir lebih baik.”


“Bagi korban, ini bisa jadi alat untuk membela dirinya sendiri. Kita harus berhenti berpikir kalau korban adalah korban, tapi seorang korban adalah seorang survivor.”


Karena itulah Yenti berkeras kalau kontributor puisi di buku antologi ini tak mesti perempuan. Laki-laki pun ikut diundang untuk menulis. 


Salah satu penyumbang puisi adalah Adji Esa Poetra, pemilik Sekolah Vokal dengan nama yang sama di Bandung, berjudul “How To?” 


Ayo semua berlatih drama

Lawan para pemerkosa bejat dengan lakon “kuntilanak edan”

Panjangkan kuku kalian untuk mencakar

Liarkan kedua bola mata magis hingga menakutkan 

Banjiri mulut dan dagu dengan ludahmu hingga menjijikkan

Lengkingkan tawa liar melebihi kekuatan 60db hingga membingungkan

Mengaum dan mengamuklah seperti arwah harimau mengamuk hingga musuh mundur


“Saya bilang, gerakan ini harus dilakukan perempuan dan laki-laki bersama-sama. Kalau ingin berubah, tidak bisa hanya dengan laki-laki,” katanya  menutup perbincangan. 


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending