KBR68H, Jakarta – Pemukiman para pemulung di Kedoya, Jakarta Barat terlihat lebih marak dari biasa. Poster dan spanduk kampanye Pemilu mewarnai jalanan sepanjang pemukiman.
Tentu ini merupakan pemandangan yang tak biasa, karena biasanya pemukiman pemulung nyaris tak tersentuh oleh keputusan dan huru-hara politik.
“Kami seperti dibutuhkan hanya ketika Pemilu saja,” itulah Rosma , salah satu pemulung yang kini berprofesi sebagai penyapu jalan.
Menurutnya, walaupun ada pemulung yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) namun hingga kini mereka belum pernah terdata di RT/RW setempat.
Memang lebih banyak lagi pemulung yang tak punya KTP. Rata-rata mereka menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sudah banyak yang terealisasi, namun ada program yang belum berjalan baik seperti pengurusan KTP yang masih harus membayar mahal.
Pemilu kali ini, sebenarnya mereka punya harapan agar terjadi perubahan. Maka mereka ingin berpartisipasi untuk memilih.
“Dulu pas pemilihan Gubernur DKI Jakarta kami terdata, sekarang kenapa tidak?” ujar Maryamah yang juga berprofesi sebagai penyapu jalan dan pemulung.
Selain pemulung, pemukiman di Kedoya umumnya dihuni oleh para tukang cuci, penyapu jalan dan sopir juga beberapa buruh pabrik. Setiap Pemilu sudah berhasil memilih Caleg dan Presiden baru, mereka seperti masyarakat yang ditinggalkan begitu saja. Jikalau ada perubahan maka perubahan tersebut tidak pernah sampai dan nyata mereka alami.
Lain di Kedoya, lain pula di Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur. Kawasan yang banyak dihuni oleh para buruh pabrik elektronik ini tampak sepi dibanding Pemilu lalu. Jika dulu banyak spanduk dan poster kampanye, kini pemandangan ini nyaris tak tampak. Banyak Caleg yang memilih bertemu langsung dengan warga kampung. Para buruh mengakui ini sebagai langkah positif walau mereka tetap pesimis dengan para Caleg yang banyak mengumbar janji.
Masyuti adalah ketua Forum Masyarakat Kota Jakarta (FMKJ), salah satu organisasi yang mengurus kalangan miskin kota di Jakarta. Menurutnya banyak kalangan miskin kota yang sebenarnya pesimis dengan Pemilu karena ketika Pemilu datang mereka diikutsertakan sebagai peserta, namun perubahan tak pernah mampir ke rumah-rumah mereka.
“ Jangan perubahannya hanya untuk orang kaya saja, sedangkan kami hanya bisa menjadi penonton,”harap Masyuti.
Menjadi Penonton. Semua dibajak oleh partai politik.
Masyuti menyatakan bahwa situasi inilah yang paling sulit mereka alami, menonton kesuksesan orang lain di saat mereka berjuang melawan kemiskinan. Harus membayar rumah sakit yang mahal. Komersialisasi dan diskriminasi pendidikan pada anak-anak mereka.
Maka kemudian, jadilah kesadaran rakyat menguat menjadi apatis, sulit untuk mengeskpresikan pilihan politiknya.
“Sebenarnya kalau ditanya, pasti warga miskin tidak mau untuk memilih karena perubahan yang nyaris tak ada, namun kami masih menghormati konstitusi negara ini,”ujar Masyuti.
Maka untuk Pemilu kali ini, sejumlah kalangan miskin kota mempunyai banyak piihan berbeda. Ada yang memilih untuk ikut Pemilu, namun beberapa orang memilih untuk tidak mengikutinya.
“Yang tidak ikut memilih karena tidak mempunyai KTP. Sebagian lagi memilih untuk menjadi Golput. Namun masyarakat yang memutuskan untuk memilih menyatakan bahwa mereka optimis jika Jokowi menjadi presiden, mereka bisa berharap pada perubahan,”ujar Masyuti.