Bagikan:

Cina, Tiongkok, dan Stigma Masa Lalu

KBR68H, Jakarta - Pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2014 tentang pergantian istilah Cina menjadi Tionghoa atau Tiongkok.

BERITA

Selasa, 25 Mar 2014 11:13 WIB

Cina, Tiongkok, dan Stigma Masa Lalu

keppres cina, keppres istilah tiongkok, cina menjadi tiongkok

KBR68H, Jakarta - Pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2014 tentang pergantian istilah Cina menjadi Tionghoa atau Tiongkok. Keppres itu menyebutkan pertimbangan pencabutan penyebutan “Cina”. Di antaranya Surat Edaran Presidium Kabinet Nomor SE-06/Pres Kab/6/1967, yang dulunya justru mengganti istilah Tiongkok menjadi “Cina” telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam relasi sosial yang dialami warga keturunan.

Kemunculan Keppres terbaru yang membatalkan Surat Edaran Presidium Kabinet Nomor SE-06/Pres Kab/6/1967 itu mulai diberlakukan pada 12 Maret 2014. Presiden juga mempertimbangkan hubungan baik antara Tiongkok dengan Indonesia. Maka itu Indonesia akan menyebut Republik Rakyat Tiongkok, bukan Republik Rakyat “Cina”.

Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) Jakarta, Benny G Setiono menyambut baik Keppres tersebut. Menurutnya, sebutan ‘Cina’ memang punya stigma negatif bagi warga keturunan Negeri Tirai Bambu tersebut. Namun demikian, menurut Benny stigma negatif tak bakal hilang dengan cepat. “Perlu waktu dan upaya baik dari warga keturunan Tionghoa, maupun warga pribumi supaya stigma itu hilang,” kata Benny.

Pengamat Tionghoa dari Universitas Indonesia, Tuty Nur Mutia Muas menilai Keppres baru itu membawa angin segar bagi keberagaman di Indonesia. Panggilan ‘Cina’ menurut Tuty mulai menimbulkan stigma negatif saat Orde Baru berkuasa.

Namun demikian, Benny menghimbau supaya warga keturunan Tionghoa tidak larut dalam euphoria berlebihan. “Tidak usah tersinggung bila masih ada yang panggil ‘Cina’, karena itu sebutan tradisional sejak ratusan tahun lalu,” ujarnya. Benny sadar tidak gampang mengubah kebiasaan tersebut. Terlebih panggilan ‘Cina’ terasa lebih sederhana.

Benny menambahkan, dalam Keppres juga tidak dicantumkan hukuman bagi orang yang “melanggar” himbauan presiden. “Seseorang tidak bisa dituntut karena memanggil ‘Cina’,” imbuhnya. Selain itu, beberapa istilah berkaitan Negeri Panda yang kadung merakyat tidak usah diubah karena Keppres tersebut. “Istilah ‘Pacar Cina’ tidak usah diubah jadi ‘Pacar Tiongkok’. Itu berlebihan,” tegasnya.
Untuk memperlancar transisi penyebutan itu, Pengamat Tionghoa dari Universitas Indonesia, Tuty Nur Mutia Muas menyarankan agar kata ‘Tiongkok’ dan ‘Tionghoa’ dibakukan oleh lembaga bahasa Indonesia. “Artinya Kamus Besar Bahasa Indonesia juga harus diperbaharui soal kata itu,” ujarnya.

Tuty menambahkan, pemerintah juga harus merevisi penggunaan kata ‘Tiongkok’ dan ‘Tionghoa’. Sebab, yang tercantum dalam Keppres tidaklah tepat. Dalam Keppres disebutkan bahwa negara Republik Rakyat Cina diubah menjadi ‘Republik Rakyat Tiongkok’. Padahal menurut Tuty, secara etimologi Bahasa Mandarin, Republik Rakyat Cina disebut ‘Zh?nghuá Rénmín Gònghéguó’. Dalam hal ini, kata ‘Tionghoa’ merujuk pada kata ‘Zhonghua’. “Jadi penyebutan nama negara yang benar adalah Republik Rakyat Tionghoa, bukan Republik Rakyat Tiongkok,” tegasnya. Menurut Tuty, kata ‘Tiongkok’ merujuk pada kata dalam Bahasa Mandarin, yaitu ‘Zhongguo’ yang berarti tidak hanya merujuk pada masyarakat Cina Daratan, tapi juga Taiwan dan sekitarnya.

Selain lewat pembakuan kata, menurut Tuty, Keppres itu harus disosialisasikan lewat para akademisi dan politisi. “Kedua pihak ini punya kesempatan besar dalam menyebarluaskan panggilan baru tersebut,” kata Tuty. Namun menurut Benny, peran terserbut perlu didukung oleh media massa.
Meski akan memakan waktu yang cukup lama, namun penggantian istilah ‘Cina’ menjadi ‘Tionghoa’ dan ‘Tiongkok’ jauh lebih baik ketimbang mengganti pelafalan ‘Cina’ menjadi ‘China’ seperti di beberapa media massa. “Perubahan pelafalan menindas kedaulatan Bahasa Indonesia,” pungkasnya.

Meski membawa pesan perubahan yang baik, sisi lain Keppres tentang penggantian sebutan ‘Cina’ menjadi ‘tiongkok’ dan ‘Tionghoa’ juga suka tidak suka akan mengorek luka lama. “Masyarakat pasti akan mencari tahu musabab penggantian sebutan itu. Itu artinya masyarakat akan mencari tahu sendiri sejarah kelam diskriminasi terhadap etnis tersebut di masa lalu,” ujarnya.  Sepahit apapun juga, menurut Tuty sejarah harus dijadikan pelajaran.

Lain hal dengan Tuty, Benny sebetulnya menilai Keppres 12 tahun 2014 ini telat dikeluarkan. “Stigma buruk kata ‘Cina’ menurut saya berlaku di kalangan tua saja. Anak muda sudah tidak mempermasalahkan kata ‘Cina’,” ujarnya. Namun, meski telat bukan berarti tidak berguna sama sekali. Benny yakin Keppres 12 tahun 2014 dapat membuat warga keturunan Tionghoa semakin punya nasionalisme. “Itu menguntungkan Indonesia. Karena mereka (warga keturunan Tionghoa) punya kelebihan dalam sektor ekonomi dan bisnis,” pungkasnya.

Editor: Fuad Bakhtiar

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending