KBR68H, Jakarta - Remitansi atau kiriman uang oleh buruh migran hingga Rp120 triliun per tahun telah banyak membantu menghidupkan geliat ekonomi di daerah. Bahkan di sejumlah daerah uang kiriman para buruh migran melebihi APBD setempat, misalnya di Jawa Timur. Perlu upaya untuk mengembangkan kewirausahaan, pengelolaan manajemen keuangan dan pemanfaatan remitansi ini. Antara lain untuk membuka usaha-usaha produktif bagi buruh migran dengan bertujuan memperbaiki kesejahteraan buruh migran sekaligus menciptakan usaha produktif yang bisa menyokong perekonomian dan pembangunan di daerah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, banyak dari calon legislative terutama, caleg perempuan yang memiliki ide kreatif , inovatif untuk memberdayakan para Buruh Migran di daerah. Salah satunya caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN) daerah pemilihan (Dapil) Jabar 9, Siti Hikmawatty. Menurut Siti, tercatat ada 5000 lebih buruh migrant sektor domestic atau rumah tangga yang bekerja ke luar negeri.
“Kalau secara factual ada 5563 ada TKI sektor rumah tangga, itu yang dikirim ke Arab Saudi sepanjang tahun 2010 sumbangan dari Sumedang cukup banyak,” kata Siti
Siti melihat kondisi umum pada keluarga BMI lebih banyak bersifat negative, akibat dari kekerasan yang BMI terima di luar negeri. Berbagai advokasi dan penanganan harusnya terus dilakukan mengingat pengiriman BMI ke luar negeri yang terus meningkat. Sebagai calon legislative nantinya, Siti berkeinganan untuk mengubah UU RI 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
Luluk Nur Hamidah Caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengakui juga daerah Jawa Timur seperti Kediri dan Tulungagung yang menjadi basis utama para BMI.
“Sebenarnya ada salah satu kantong TKI lain, seperti di Madiun, Ponorogo dan Pacitan. Itu penyumbang terbesar. Bahkan tahun 2012 ada kasus kekerasan yang terjadi,”kata Luluk.
Luluk melihat kondisi keluarga para TKI memang diwarnai kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan sosial yang lebih rendah dari daerah lain. Luluk juga menyanyangkan banyaknya TKI yang belum bisa menggunakan hasil keringatnya dengan maksimal. Akibatnya, banyak para TKI yang kembali bekerja ke luar negeri.
Berbeda dengan Luluk, Siti lebih mempertimbangkan kondisi mental para keluarga BMI. Menurut Siti ada dampak serius yang ditimbulkan dengan banyaknya anggota keluarga yang memilih menjadi BMI. Siti melihat banyak anak, istri/suami yang sering terlantar dan tercerai berai ketika Ibu, Ayah, Suami atau Istri yang memutuskan merantau.
“Mereka yang memiliki anak, itu terjadi proses tumbuh kembang dan pendidikan anak, serta keharmonisan keluarga. Tentu ancaman ini menjadi persoalan serius, karena penelantaran anak yang ditinggalkan cukup lama itu berdampak pada kelangsungan generasi,”kata Siti
Penegakkan hukum yang lemah juga menjadi permasalahan yang harus dibenahi lebih serius dan cepat. hal tersebut sebagai bentuk perlindungan.
Menurut Siti, pemerintah perlu mempertegas peraturan yang ada, salah satunya terkait persiapan keberangkatan dari para BMI. Banyak dari mereka, kata Siti yang rela berutang untuk pergi menjadi BMI. Padahal kondisi ekonomi mereka juga terbilang sulit. hal inilah yang perlu dibenahi pemerintah.
Siti mengklaim solusinya pertama, pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk menyeleseikan hal tesebut. Kedua adanya jaminan- yang melindungi BMI, salah satunya asuransi, ketiga diperlukannya pembinaan pasca BMI pulanh ke tanah air. BMI perlu dididik untuk bisa mandiri dengan hasil usaha yang diperolehnya selama bekerja di luar negeri.
Sementara Luluk melihat kepedulian sesama, terutama pemerintah daerah setempat perlu lebih digalangkan. Pemda tidak boleh tutup mata dengan fakta bahwa remitansi yang dihasilkan TKI selama ini, banyak menyumbang pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Pemda harus gencar membina Buruh Migran agar mampu mandiri.
Penting juga mengundang para stakeholder seperti kelompok perempuan atau NGO, untuk bersama-sama dengan pemda dalam membina buruh migrant agar bisa mandiri dan tidak lagi menggantungkan hidup mereka menjadi BMI di luar negeri.
Editor : Sutami