Bagikan:

Undang-Undang Pangan Pertegas Diskriminasi Perempuan di Sektor Pertanian

Situasi kurang gizi di Indonesia sampai saat ini tak banyak berubah. Dan perempuan adalah pihak yang paling potensial mengalaminya karena setengah penduduk Indonesia adalah perempuan.

BERITA

Selasa, 19 Mar 2013 14:59 WIB

Undang-Undang Pangan Pertegas Diskriminasi Perempuan di Sektor Pertanian

UU Pangan

Situasi kurang gizi di Indonesia sampai saat ini  tak banyak berubah. Dan perempuan adalah pihak yang paling potensial mengalaminya karena setengah penduduk Indonesia adalah perempuan. Selain itu masalah kurang gizi terjadi pada balita, yang penyebab dan penanganan masalahnya juga paling banyak bersentuhan dengan perempuan.

“Pihak luar masuk dan mengintervensi kebijakan itu, banyak perempuan dan anak kekurangan gizi. Ketika bicara soal anemia dan kurang gizi. Perempuan dan anak paling rentan karena dalam penyajian pangan keluarga, perempuan selalu di nomor dua. Yang diprioritaskan suami dan keluarga laki-laki mereka” ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Wahida Rustam.

Kasus-kasus kurang gizi diantaranya disebabkan oleh krisis pangan, atau pangan yang tersedia mahal hingga tak terjangkau. Menurut Kementerian Pertanian saat ini alih fungsi lahan pertanian setiap tahunnya bisa mencapai 140 ribu hektar (ha) dan ini berpotensi menghilangkan produksi pangan 506.000 ton pertahun. 

Oleh sebab itu, Solidaritas dan Gerakan Masyarakat Sipil lainnya sejak tahun 2007 mendorong revisi UU No.7 tahun 199 tentang pangan. Berbagai desakan dan masukkan ini dilakukan karena UU Undang-undang lama dinilai hanya melihat pangan sebagai komoditas, bukan sebagai pemenuhan hak atas pangan masyarakat. Tapi sampai disahkanya revisi Undang-undang Pangan pada tanggal 18 Oktober 2012, tetap saja tidak memuat masukkan dari gerakan masyarakat sipil. Apalagi keberpihakan terhadap pengalaman, pengetahuan dan kebutuhan perempuan.
   
Perempuan memiliki peran penting dalam sejumlah pengambilan keputusan di bidang pertanian. Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Wahida Rustam mengatakan, ini bermula ketika masyarakat menggunakan sistem berburu dan meramu. Dalam masyarakat ini, laki-laki pergi berburu. Wahidah menerangkan perempuan “memungut biji dan menaburkan. Biji itu tumbuh dan mereka ternyat bisa mengelola untuk makanan.

Dari proses itu, dari biji-bijian, perempuan diposisikan bisa bercocok tanam. Itulah kenapa penting hubungan antara perempuan dan pangan. Menurutnya, sejarah ini membentuk banyak masyarakat agraris hingga sekarang. Ia mencontohkan, ketika kecil neneknya mahir dalam perbenihan. Akibatnya, perempuan menguasai keputusan dalam perbenihan. Perempuan tahu benih mana yang baik dan tidak dalam budidaya.

Achmad Yakub dari Serikat Petani Indonesia membenarkan hal itu. Menurutnya, ada setidaknya 28,4 juta perempuan hidup dalam sektor pertanian semakin terdesak. Ini karena ada pergeseran sudut pandang pembangunan dari agriculture menjadi agrobisnis. Pendekatan ini menurutnya sangat bersifat maskulin. Ia mencontohkan dari peralatan saja.

” Alat ani-ani hilang. Ani-ani adalah alat yang disesuaikan untuk kebutuhan perempuan.” Terangnya.

Selain itu, peraturan pemerintah semakin menjembatani pemodal besar melalui UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

“sekarang terjadi kriminalisasi, perempuan dan rumah tangga ini tidak dibenarkan oleh undang-undang atau sistem budidaya tanaman untuk membuat benih, mengolah dan menggenerasi benih karena sudah ada sistem paten. “ kata Achmad Yakub.

Pemodal besar yang sebagian besar dari perusahaan asing ini menguasai perbenihan karena memiliki  uang untuk mematenkan. 

Akibatnya, perempuan kehilangan peran sentral dalam pertanian. Maka, perempuan petani di daerah-daerah pedesaan mulai merantau bahkan ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal, banyak dari mereka tidak memiliki bekal cukup untuk hidup di negeri orang. Wahida Rustam mengungkapakan, pemerintah tidak menjadikan konvensi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) sebagai pertimbangan. Padahal, Indonesia sudah mengesahkan konvensi itu dalam undang-undang.

Maka dari itu, Undang-undang Pertanian mesti diperbaharui. Wahida Rustam mengau, Solidaritas Perempuan bersama mitra organiasai masyarakat sipil lainnya tengah menyiapkan bahan-bahan untuk mengajukan uji materi Undang-undang itu di Mahkamah Konstitusi. Solidaritas Perempuan menilai Undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi. Achmad Yakub dari Serikat Petani Indonesia menambahkan, untukmenghentikan diskriminasi terhadap perempuan petani, turunan aturan Undang-undang ini, di antaranya adalah peraturan presiden dan peraturan menteri, meski dikawal dan diawasi.  

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending