Bagikan:

Tuhan dan Agama Dalam Wayang

BERITA

Kamis, 21 Mar 2013 09:56 WIB

Tuhan dan Agama Dalam Wayang

tuhan, agama, wayang

“Wayang itu seni politik. Epos Ramayana dan Mahabarata itu bukan seperti sinetron biasa. Di twitter ada yang tanya, kenapa seniman itu ngomong politik? Mereka lupa aku dalang,“ kata Sujiwo Tejo. Pria kelahiran Jember 51 tahun silam itu menerangkan, ia memilih mendalami seni dalang karena seni ini bisa dibilang lengkap.  Sebelum bisa pentas, dalang mesti menguasai seni rupa untuk menggambar wayang, seni sastra untuk menyiapkan cerita dan seni musik untuk menata lagu.  Padahal, pria bernama asli Agus Hadi Sudjiwo itu merupakan lulusan matematika dan teknik sipil Institut Teknologi Bandung.
 
Dalang bahkan bukanlah seni semata.  Dalang itu mesti memiliki banyak kemmampuan. “Dalang itu di zaman bapak saya, kalau ada maling, besoknya tidak bisa tahu, dia sudah dianggap bukan dalang. Jadi harus multitalenta. Itu seperti Bisu di Sulawesi selatan. Bahkan, dipercaya kalau malam saya mendalang dan di situ lahir bayi, yang wajib member nama dalang, “ katanya.
Dalam jagad wayang, segala pelik persoalan hidup dibahas. “Agama hampir tidak mungkin tidak masuk dalam wayang karena dasar dari wayang, adanya tokoh-tokoh yang tidak ada di Mahabarata dan Ramayana, misalnya Semar yagn dipercaya sebagai penunggu pulau Jawa itu, kental sekali dengan ajaran-ajaran tasawuf,” kata Sujiwo Tejo dengan berapi-api.

Ia menggambarkan sebuah peristiwa kelahiran Rahwana yang menggambarkan pandangan wayang tentang Agama dan Tuhan. “ Bahkan, kelahiran Rahwana itu karena setelah pembacaan sastra keilahian. Jadi karena bapaknya Rahwana bisa membeberkan pada Kaikesi maka lahirlah rahwana.” Katanya.

Ia member perumpamaan segitiga sebagai gambaran baik dan buruk dalam wayang. Pada tingkatan rendah, ada pengkutuban antara baik dan buruk. Namun, semakin tinggi tingkat pencapaian, semakin kedua kutub itu menyatu. “Ketika kita semakin ke atas, sudah zero,” ujarnya.

Sujiwo Tejo memaparkan ini dengan contoh koruptor. “Koruptor harus dihukum. Pada tingkat bawah itu ada benar dan salah. Harus! Karena ada hukum positif. Ini untuk melengkapi drama di dunia,” kata ia menerangkan. Namun, kita tidak pernah tahu apa yang dikehendaki Tuhan. “Orang-orang sastra bilang pada mulanya adalah kata, tapi kami pada dalang melihat, bentuk-bentuk doa dan pikiran adalah cara manusia untuk mencapai anggapannya tentang Tuhan. Yang dikehendaki Tuhan kita tidak pernah tahu.  Pada akhirnya kata-kata permohonan itu sampah karena semua sudah berjalan sesuai kodratnya. Tapi kita harus ngomong. Di tingkat paling dasar, kita harus merubah nasib“

Rekan sesame budayawan Mohammad Sobary melengkapi penjelasan itu, dalam konsep Jawa, terdapat gagasan manunggaling kawulo gusti yang berate menyatu dengan Tuhan.  Namun, pengertian ini hendaknya tidak dipahami secara fisiologis. Budayawan kelahiran Bantul, Yogyakarta, ini memberi perumpamaan “Kalau secara fisik, manusia ketika mendekati Tuhan itu seperti laron mendekati matahari. Hilang sebelum tiba”. Baginya, menyatu dengan Tuhan juga merupakan sesuatu yang sangat sulit dicapai.

“Sebisa mungkin menyatu dengan Tuhan. Ini terwujud dalam tindakan yang penuh dengan kasih sayang seperti teladan nabi-nabi” terang Sobary. Bagi pria yang pernah memimpin kantor berita Antara ini, temannya Sujiwo Tedjo dalam laku mencoba mewujudkan manunggaling kawulo gusti. “Sujiwo Tedjo sebagai seniman yg melihat hidup, termasuk agama, secara estetis. Biarlah manusia meniru-niru Tuhan untuk berkesenian,” ujarnya.

Sujiwo Tejo mengingatkan, dalam bahasa Jawa, agama disebut sebagai geming aji ada di tembang pangkur. Bagi Sujiwo Tedjo, agama merupakan “baju sebenarnya. Pakaian dari sukma setiap  orang yang punya jalannya sendiri”.  Bagi Sujiwo Tedjo misalnya, “dalam pemahaman wayang saya, bukan tunjukanlah kami ke jalan yang lurus. Tapi, tunjukan ke jalan dari mana kami berasal. Sehingga kalau dia pelacur, biarlah dia menuju Tuhan dari kepelacurannya. Kalau dia seorang guru, biarkan dia berangkat dari situ. Kalau dia tentara, biarlah dia mencari Tuhannya dari ketentaraannya."

Ahmad Sobary menambahkan karena agama merupakan jalan menuju Tuhan, menjadi tidak penting apakah agama itu berasal dari luar atau aseli dalam negeri. Ia mengumpamakan, seumpama semua agama yang tumbuh di Indonesia berasal dari dalam negeri, apakah itu akan menjamin tidak ada pertengkaran, antara agama.

"Yang penting adalah membangun kerukunan antar agama, baik itu impor/asli” sebut Sobary. Maka, “Ketika orang bahas agama&masyarakat. Saya harap agama dapat menata masyarakat yang porak poranda.Bisakah agama memanusiakan manusia?” tutupnya melalui pertanyaan retorika.  

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending