Bagikan:

Toleransi di Titik Nadir

Pekan lalu, Organisasi Pemantau HAM Dunia (HRW) meminta komunitas internasional berhenti memuji pemerintah Indonesia dalam penanganan kasus intoleransi. Dalam catatannya, Organisasi yang bermarkas di AS, ini menyebutkan telah terjadi peningkatan aksi into

BERITA

Selasa, 05 Mar 2013 09:38 WIB

Author

Eli Kamilah

Toleransi di Titik Nadir

toleransi

Pekan lalu, Organisasi Pemantau HAM Dunia (HRW) meminta komunitas internasional berhenti memuji pemerintah Indonesia dalam penanganan kasus intoleransi. Dalam catatannya, Organisasi yang bermarkas di AS, ini menyebutkan telah terjadi peningkatan aksi intoleransi di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara dikritik. Sebab dia lemah merespon intoleransi dan aksi kekerasan terhadap komunitas minoritas seperti Kristen, Buddha, Ahmadiyah dan Syiah. HRW merekomendasikan SBY menerapkan pendekatan “toleransi nol” atas serangan-serangan terhadap minoritas agama.

Kasus syiah sampang misalnya. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Imdadun beberapa waktu lalu sempat berkunjung ke GOR tempat warga Syiah mengungsi. Imdadun melihat kualitas kehidupan yang memprihatinkan. Pasalnya setelah sekian lama, warga syiah terlantar. Pihaknya kini terus mendorong satu hunian yang layak dan pribadi ditempati mereka, dengan lokasi yang lebih dekat dengan tempat asal mereka.

“ Mereka bisa berkumpul dengan kerabat, bisa bercocok tanam. Ini adalah awal yang baik untuk rekonsiliasi.”kata Imdadun.

Selama tujuh bulan kebelakang, perkembangan kasus Sampang mandek. Pasalnya, komunikasi yang dijalin tak kunjung menemui titik temu. Hal inilah kata Imdadun menyebabkan langkah alternatif tidak dijelaskan dengan baik bagi semua warga, contohnya relokasi rumah di luar sampang. Komnas HAM sendiri tak menyetujui adanya opsi relokasi tersebut. Sementara opsi huntra (hunian sementara) di tolak warga, termasuk opsi ditempatkannya di komplek perumahan.

Menurut Imdadun, semua rencana tersebut, tidak didesain dengan tujuan yang jelas. Lantaran, hak-hak asasi mereka masih samar, terutama kembalinya mereka ke kampung halaman. Komnas HAM sendiri menawarkan pentahapan lebih kongkret agar warga syiah menerima opsi-opsi seperti itu.

LSM pemerhati hak asasi manusia HRWG menilai adanya problem struktur dalam kasus-kasus intoleransi yang tak pernah terseleseikan, karena banyak korban yang harusnya dilindungi malah menjadi tersangka. Wakil Direktur HRWG Choirul Anam mencontohkan peristiwa Cikeusik yang menghebohkan dunia, yang menjadikan korban sebagai pelaku.

“Tidak hanya soal penegakan hukum yang gagal, tetapi memang negara sedang mengintrodusir kekerasan dan intoleransi. “kata Choirul Anam

Banyaknya kasus toleransi salah satu penyebabnya adalah banyaknya warga yang menelan mentah-mentah informasi dari seseorang yang memang dengan sengaja mengumbar kebencian. Dan inilah yang banyak dibiarkan oleh kepolisian. “Saya setuju toleransi kita di titik nadir, karena memang sering tak terseleseikan.” Kata Choirul Anam.

Menurut Choirul sebanyak 40 persen negara anggota di PBB, mengaku bahwa Indonesia intoleransinya sangat rendah, jumlah kekerasan meningkat, dan bahkan negara yang gagal dalam menegakkan hukum. Dalam sejarah Indonesia, baru pertama kali negara kita, punya Menteri Agama yang melakukan intoleransi. Contohnya, penanganan kasus dan dalam moment politik mengintrodusir kekerasan “yang banyak intoleransi tiga tahun terakhir adalah Jawa Barat.” Kata Choirul.

Prioritas Kasus Intoleransi

Komnas HAM mengaku, banyak kasus intoleransi yang hingga kini masih belum terselesikan. Beberapa diantaranya,  GKI Yasmin, HKBP Filadelpia, dan kasus Sampang yang sedang ditangani intensif. Komnas HAM sendiri punya prioritas kasus yang harus diseleseikan terlebih dahulu.

Komnas HAM sendiri mengaku lebih banyak disibukan dengan penyeleseian dampak, dari desain yang tidak benar. Hingga kini ada beberapa problem yang difokuskan Komnas HAM, yakni, tanggung jawab negara soal jaminan keselamatan korban. Inilah yang sering kali terjadi, bisa karena pembiaran, bisa karena telat datang atau ketidaksiapan, yang kedua bagaimana perlakuan korban, negara harus menempatkan korban yang dilindungi dan mendapatkan haknya. Yang ketiga, penegakkan. Tadi digambarkan pelaku kekerasan atau pembunuhan diadili dengan pengadilan yang tidak elok, seperti tuntutan yang terlalu rendah, sebaliknya korban yang harus dibela menjadi tersangka. Inilah faktor hilirnya yang mesti dibenahi.

Kini Komnas HAM sedang fokus pada hulu dari intoleransi. Pasalnya kesalahan atau intoleransi yang banyak terjadi karena desain atau sistem awal yang tak benar, yaitu lemahnya kesadaran aparat negara yang berposisi netral. Padahal negara adalah pengayom masyarakat.

Sementara HRWG menilai kita diajarkan tentang toleransi dan etika publik. Walaupun dalam beberapa agama ada jargon jargon kekerasan, yang berbahaya, karena banyak provokasi tanpa penjelasan makna dan maksudnya,sehingga orang awam dengan mudah dibakar semangatnya untuk melakukan intoleransi.

Choirul Anam menyarankan pendidikan toleransi hingga ke lingkungan paling kecil salah satunya sekolah tingkat kanak-kanak, untuk bisa bergaul dan bertoleransi sesama. Sementara Imdadun menyarankan adanya gerakan nasional dari pemimpin politik kita, karena nyaris hanya mimpi, kalau beban ini diserahkan pada civil society saja.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending