Bagikan:

Marak Kasus Intoleransi, Pemerintah Harus Lakukan Pemutihan Rumah Ibadah

KBR68H, Jakarta- Pekan lalu Pemerintah Kabupaten Bekasi membongkar paksa Gereja Huria Kristen Batak Protestan atau HKBP. Alasannya pengelola tidak mengantongi izin mendirikan bangunan. Sebelumnya pemkab telah menyegel gereja tersebut. Hingga akhirnya jema

BERITA

Kamis, 28 Mar 2013 17:26 WIB

Marak Kasus Intoleransi, Pemerintah Harus Lakukan Pemutihan Rumah Ibadah

rumah ibadat, toleransi

KBR68H, Jakarta- Pekan lalu Pemerintah Kabupaten Bekasi membongkar paksa Gereja Huria Kristen Batak Protestan atau HKBP. Alasannya pengelola tidak mengantongi izin mendirikan bangunan. Sebelumnya pemkab telah menyegel gereja tersebut. Hingga akhirnya jemaat gereja terpaksa beribadah di halaman gereja.

Tak hanya di Setu, ancaman larangan beribadah juga dialami jemaat gereja lainnya seperti di Tambora, Jakarta Barat. Warga protes karena aula gedung TK-SMA Damai milik Yayasan Bunda Hati Kudus akan di ubah menjadi tempat ibadat. Ini belum termasuk kasus penyegelan gereja atau rumah ibadah lainnya seperti milik Ahmadiyah yang terjadi di banyak tempat tanah air.

Kasus kebebasan beribadah yang terjadi di Setu, Bekasi dan Tambora, Jakarta menambah daftar panjang kasus kebebasan beribadah. Lantas ke mana pemerintah? Bagaimana sebaiknya pemerintah menyikapi kasus intoleransi beragama?.

Pendeta HKBP Taman Sari Bekasi, Advent Nababan mengatakan, hingga saat ini jemaah HKBP Taman Sari masih trauma dengan pembongkaran gereja yang dilakukan oleh Pemkab Bekasi, 21 Maret lalu.

“ Kami sangat prihatin dan akan menempuh jalur hukum untuk memproses pembongkaran ini, agar semua orang menghormati hukum yang ada di Indonesia. Hal ini untuk menjadikan Indonesia lebih baik ke depan. Karena semua orang punya peran dalam kemajuan bangsa,” tutur Advent dalam perbincangan Agama dan Masyarakat di Tempo TV dan KBR68H.

Gugatan ini, lanjut Advent, akan diajukan kepada Pemkab Bekasi dalam waktu dekat. Ia beralasan, pembongkaran itu cacat hukum, karena pihaknya tidak pernah menerima surat rencana pembongkaran dari pemerintah setempat.

“ Pembongkaran tersebut cacat hukum dan tidak prosedural. Karena, kami tidak pernah menerima surat rencana pembongkaran, serta wewenang satpol PP untuk melakukan itu. Kita akan mempertanyakan itu kepada Bupati dan walikota, kenapa tidak pernah ada surat tentang pembongkaran itu sebelumnya, “ tegas Advent.

Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) menurut Advent, sering dijadikan sebagai alasan klasik untuk menghambat pendirian gereja di beberapa daerah.

“ Kita sudah tiga kali melakukan pengurusan, sesuai dengan yang diatur dalam SKB tiga menteri. Dan kita telah memperoleh 85 orang persetujuan, lebih dari yang disyaratkan oleh peraturan menteri. Namun, saat diverifikasi persetujuan tersebut hanya menjadi 12 orang yang setuju untuk pendirian gereja kami, “ terang Advent kembali.

Selain itu, Advent menilai, pembongkaran seringkali ditunggangi oleh kelompok intoleran atau ormas tertentu.

“ Hal ini juga terhadi di daerah Setu, Bekasi. Dan ketika kita mengurus semua perijinan, banyak massa yang mendemo kami dan memprovokasi warga agar menolak pembangunan gereja, meski sebelumnya sebagian masyarakat menyetujui,” ujarnya.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Setara menilai, kasus penolakan pembangunan rumah ibadah di Indonesia menjadi isu yang menonjol yang terjadi pada setiap tahunnya di Indonesia. Dan ini tidak hanya terjadi pada umat kristiani, tapi juga terjadi pada umat islam. Wakil Ketua LSM Setara, Bonar Tigor Naipospos mengatakan, setiap tahun ada sekitar 30 kasus yang berkaitan dengan kebebasan beragama di Indonesia.

“ Ada keegoismean keagamaan yang berkembang di masyarakat kita, yang kemudian diperuncing sehingga menjadi lebih rumit oleh kelompok intoleran. Isu yang sering digunakan seperti kristenisai, dan keamanan lokal. Sehingga pemerintah daerah sering mengambil tindakan dengan alasan keamanan,” jelas Bonar.

Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, terang Bonar, sebenarnya bukan merupakan undang-undang dan tidak mengikat secara hukum. Namun, SKB ini sering digunakan untuk menekan kebebasan beragama.

“ SKB Tidak dikenal dalam tata hirarki undang-undang, dan bersifat tidak mengikat secara hukum. Dan ini justru menjadi landasan untuk melarang dan membatasi kebebasan beragama. Padahal kebebasan beragama itu berkaitan dengan kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi dan lain-lain,” jelas Bonar.

Lain halnya dengan kasus intoleransi yang terjadi pada gereja Tambora di Jakarta Barat. Rudi Praktikno, perwakilan Keuskupan Agung Jakarta mengatakan, ada beberapa orang yang melakukan demo di gereja dan menilai jemaah gereja telah melanggar undang-undang yang kemudian meminta jemaah untuk menghentikan peribadatan.

“ Masalah yang ada pada gereja kami bukan di IMB atau yang lain. Sebagian orang hanya menilai bahwa kami telah melecehkan wibawa pemerintah, dan membuat gereja ilegal, dan meminta kami untuk menghentikan peribadatan,” terang Rudi.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending