Bagikan:

KPPOD: Gabungkan Daerah Otonom yang Gagal ke Daerah Induk

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sejumlah Kabupaten di Papua menjadi yang terendah di seluruh Indonesia, hanya berkisar Rp 50 sampai Rp 100 juta.

BERITA

Kamis, 21 Mar 2013 14:13 WIB

Author

Doddy Rosadi

KPPOD: Gabungkan Daerah Otonom yang Gagal ke Daerah Induk

KPPOD, daerah otonom

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sejumlah Kabupaten di Papua menjadi yang terendah di seluruh Indonesia, hanya berkisar Rp 50 sampai Rp 100 juta. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Papua, Yanuarius Resubun menyebutkan, kabupaten kabupaten tersebut merupakan kabupaten pemekaran yang berada di wilayah pegunungan tengah Papua. Kenapa itu bisa terjadi? Simak perbincangan KBR68H dengan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng dalam program Sarapan Pagi

Ada yang salah dari data tersebut?

Kalau angka Rp 50 juta benar itu keterlaluan, berarti memang pemerintah di sana tidur atau memang potensinya luar biasa kosong dalam artian memang tidak ada sesuatu yang bisa dipungut potensi pajaknya.
 
Kalau itu benar berarti persetujuan pemekaran ini yang betul-betul keterlaluan ya?

Keterlaluan. Dalam artian bahwa memang pemerintah dan DPR ketika membahas, menyetujui pembentukan daerah otonom baru itu tidak melihat kapasitas fiskal, potensi yang ada di suatu calon daerah otonom baru. Saya mau katakan, kalau kita melihat dari 20 daerah yang bisa dimekarkan tahun 2012 kemarin dan yang jadi itu 12 karena yang 8 tidak jadi. Dua yang dari Papua yaitu Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak, kalau lihat dari data itu memang Kementerian Keuangan mengeluarkan data yang menarik dari sisi kemampuan ekonomi dan kapasitas fiskal. Kalau lihat di Pegunungan Arfak dan Manokwari Selatan kapasitas fiskalnya sangat rendah. Jadi memang dari usulan itu saja yang sangat selektif itu ternyata dua daerah ini begitu rendah kapasitas fiskalnya. Ini sebenarnya gambaran saja bahwa usulan-usulan pemekaran daerah otonom baru yang ada selama ini tidak selalu mencerminkan kekuatan atau potensi yang ada di daerah yang bersangkutan. Saya kira kalau melihat sebuah daerah, boleh jadi mendekati angka itu.

Barangkali juga bisa apakah karena terkait konflik bersenjata sehingga kemudian di sana pajak dan sebagainya tidak berfungsi ya?

Bisa jadi. Tapi kalau memang hanya Rp 50 juta sampai Rp 100 juta dengan total APBD katakanlah rata-rata Rp 300 miliar sampai Rp 500 miliar per daerah berarti benar-benar pemerintah daerah tidur dan tidak ada potensi. Jadi pertimbangan pemekaran selama ini bahwa tidak berdasarkan kekuatan atau kapasitas daerah tapi kepentingan politik.

Kalau memang ternyata setelah dicek oleh Kemendagri ternyata benar dan keterangan dari Dispenda Papua memang betul seperti itu adanya, apa yang harus dilakukan pemerintah pusat?

Tentu kalau menyalahkan pemerintah pusat lagi karena sudah mekar, sudah jadi otonom baru itu sudah terlanjur. Tapi saya kira ini jadi pukulan bagi pemerintah pusat, bagi elit politik di Senayan bahwa mereka semua bekerja tidak berdasarkan pertimbangan Undang-undang selama ini yaitu soal data-data yang terkait kemampuan ekonomi, tapi semata pertimbangan yang non objektif, mungkin subjektif politik. Tapi kalau melihat Papua ini daerah politik dimana segala hal yang kita bicarakan sebagai ukurang normatif objektif banyak dilanggar, besar kemungkinan memang pertimbangan-pertimbangan itu tidak berdasarkan apa yang sesungguhnya dijadikan dasar pengambilan keputusan.
 
Bisa jadi apa yang dikhawatirkan anda bahwa ini dimekarkan tidak sesuai kondisi yang sebenarnya ya?

Iya. Ke depan saya kira ada dua cara yang harus dilakukan pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah, pertama memperkuat kapasitas yang mereka miliki. Kalau benar seperti ini pemerintah pusat memberikan perhatian khusus, menempatkan daerah ini di bawah rapat pimpinan khusus Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi kalau kemudian pada akhirnya terus menerus seperti ini, dalam artian harus dalam waktu tertentu dan tidak juga mampu mencapai satu kemandirian otonomi fiskal tertentu maka daerah-daerah ini harus dihapuskan. Daerah-daerah ini daerah yang boros, dalam artian bahwa kalau dia sendiri tidak mampu membiaya diri sendiri dan banyak tergantung pada dana yang berasal dari pemerintah pusat atau dana otsus maka ini membuang banyak energi. Anda bisa bayangkan di daerah semacam ini masih banyak pegawai yang mengurus birokrasi masih bengkak, tetapi dia sendiri seperti mampu membiayai diri sendiri.
 
Berarti habis untuk gaji pegawai?

Habis untuk birokrasi, habis untuk gaji pegawainya saja sementara tidak bisa mengelola potensi yang ada dan membiayai dirinya.

Apa memang PAD harus digunakan hanya untuk membiayai birokrasi, sementara DAK-DAU itu untuk biaya pembangunan?

Idealnya satu daerah itu mampu membiayai diri sendiri dari potensi yang mereka miliki. Sehingga PAD selama ini jadi instrumen untuk mengukur kemandirian atau otonomi fiskal suatu daerah, tapi tidak banyak daerah semacam itu. Tapi kalau misalnya rasio PAD itu terlalu timpang antara apa yang mereka miliki dengan apa yang jadi sumbangan atau kontribusi dari pemerintah pusat, ini menunjukkan yang gagal. Bagi saya pemerintah pusat harus punya sikap yang tegas dalam rentang waktu tertentu, ini disimpan sebagai suatu daerah pembinaan khusus pemerintah pusat.

Berapa lama kira-kira?

Kalau saya lihat 5-10 tahun di bawah pimpinan khusus itu belum juga menunjukkan tanda-tanda berhasil jangan menyimpan masalah, jangan memelihara sesuatu yang tidak mungkin membantu dirinya sendiri tidak mampu. Karena itu menurut saya sikap politik yang tegas pemerintah pusat untuk menggabungkan kembali ke daerah induk, itu bukan pilihan haram. Harus tegas karena daerah-daerah seperti ini yang menghabiskan anggaran yang selama ini, buat apa membiarkan sesuatu yang sulit berhasil. Tantangannya sekarang adalah berani tidak pemerintah pusat untuk mengambil sikap semacam itu, itu yang selalu kita ragukan, 212 daerah yang sekarang sudah dimekarkan tidak satupun menunjukkan tanda-tanda agar dilikuidasi dan digabungkan.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending