Bagikan:

ICW: Satgas Pemulihan Aset Harus Didukung RUU Perampasan Aset

Kejaksaan Agung akan membentuk Pusat pemulihan aset atau Asset Recovery Office. Tim ini bakal bertugas merampas aset hasil kejahatan semisal bisnis narkoba dan korupsi.

BERITA

Selasa, 05 Mar 2013 13:10 WIB

Author

Doddy Rosadi

ICW: Satgas Pemulihan Aset Harus Didukung RUU Perampasan Aset

perampasan aset, ICW

Kejaksaan Agung akan membentuk Pusat pemulihan aset atau Asset Recovery Office. Tim  ini bakal bertugas merampas aset hasil kejahatan semisal bisnis narkoba dan korupsi. Langkah ini juga untuk mengoptimalkan pendapatan negara bukan pajak dari aset hasil rampasan. Efektifkah pembentuka satgas ini? Simak perbincangan KBR68H dengan aktivis ICW Emerson Yuntho dalam program Sarapan Pagi.

Soal pembentukan dari Satgas Asset Recovery Office ini bagaimana tanggapan ICW? apakah bisa optimal?

Harapan kita optimal ya. Cuma kalau dilihat dari pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah, sebelumnya pemerintah bikin tim pemburu koruptor waktu itu tidak hanya memburu koruptor tapi juga merampas dan mengupayakan pengembalian aset-aset koruptor yang ada di luar negeri. Satgas pemulihan ini bahasanya santun sekali, artinya aset-aset itu bisa diamankan atau tidak jadi bingung. Saya lebih concern di dua hal, pertama ini serius tidak sebenarnya membentuknya, jangan sampai biaya berburunya lebih besar daripada pendapatan yang didapat oleh negara. Karena kalau kita bicara perampasan aset ini bagian dari upaya pemiskinan koruptor, mekanisme yang ada saja belum dioptimalkan misalnya dalam beberapa kasus seringkali pelaku hanya dijerat Undang-undang korupsi padahal mekanisme Undang-undang pencucian uang bisa digunakan.

Tapi sudah bekerja dan klaimnya sudah mendapat Rp 1,2 triliun dari 2011 sampai 2012?

Lagi-lagi Rp 1,2 trilun itu klaim atau apa kita tidak pernah jelas. Itu tidak pernah jelas bahwa apakah itu yang diselamatkan atau yang berhasil, indikator kita jelas ada setoran yang masuk ke kas negara misalnya jaksa bisa membuktikan itu atau tidak. Karena dari pengalaman-pengalaman waktu itu soal uang pengganti hasil korupsi saja, ICW berdasarkan laporan audit BPK ada Rp 6,7 triliun uang pengganti hasil korupsi yang harusnya dirampas tapi belum dirampas. Artinya ada persoalan soal kewenangan jaksa, melakukan efek khusus soal uang pengganti. Diluar uang pengganti juga kita harus pikirkan soal denda-denda yang tinggi bagi koruptor dan termasuk juga kenikmatan hasil korupsi yang dinikmati keluarga koruptor. Dalam kasus Djoko Susilo menarik bagaimana KPK sudah memproses sebenarnya dengan Undang-undang pencucian uang. Kita berharap ini bisa optimal dilakukan, jadi tidak hanya Djoko Susilo tapi siapapun kerabat, istri sah maupun tidak sah atau pasangan tidak sah dari pelaku korupsi ini juga harus dijerat Undang-undang pencucian uang. Karena menerima uang hasil kejahatan dan di Undang-undang pencucian dimungkinkan baginya untuk dijerat, dengan ancaman maksimal pidana 5 tahun dan denda hampir Rp 1 miliar lebih. Di sisi lain kalau mau optimal tim ini maka dia juga harus dorong RUU Perampasan Aset yang saat ini masuk di program legislasi nasional, tapi belum dibahas-bahas oleh teman-teman DPR, saya tidak tahu jangan-jangan teman-teman DPR takut asetnya dirampas makanya tidak dibahas.

Seberapa penting RUU ini? karena beberapa anggota DPR menilai tidak perlu RUU ini karena sudah tercantum di beberapa Undang-undang.
 
Kalau di beberapa Undang-undang itu hanya bicara uang pengganti, tapi tidak bicara soal aset-aset ini termasuk juga bagaimana mengelola aset. Banyak kasus misalnya aset-aset dalam bentuk rumah, kantor yang kemudian disita itu tidak terkontrol artinya cuma dipalang tapi tidak terurus. Perlu satu mekanisme misalnya lembaga pengelola aset, agar aset-aset itu tidak membusuk tapi dimaksimalkan. Ini yang diperlukan, tidak sekedar hanya merampas tapi mengelola. Sepanjang tidak ada Undang-undang itu upaya penegakan hukum untuk mengembalikan aset-aset korupsi jadi tidak maksimal. Tidak percayalah dengan logika-logika teman-teman di DPR, kalau regulasi yang mengancam mereka ya pending tapi kalau soal studi banding cepat.

Apakah tidak adanya RUU Perampasan Aset ini yang menjadi kendala penegak hukum dalam merampas aset-aset para penjahat ini?

Memang tidak hanya bicara soal ini. Dalam kasus yang lain ini juga melekat, Joko Chandra misalnya yang kabur ke luar negeri itu aset-asetnya juga masih ada di Indonesia saya tidak tahu apakah sudah diinventarisir atau belum oleh lembaga ini. Kemudian beberapa uang koruptor itu mengalir ke Singapura, apa yang bisa dilakukan oleh mereka kalau misalnya belum ada kesepahaman dua negara ini soal pengembalian aset-aset koruptor. Singapura selalu klaim bahwa korupsi itu sekedar suap tapi tidak bicara soal kerugian negara dan sebagainya, dia selalu tuntut soal apakah sudah ada vonis bersalah dalam perkara ini.

Apakah menurut anda perlu melibatkan lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian atau KPK untuk bisa merampas harta koruptor?

Saya pikir ini tidak mungkin bekerja sendiri. Seperti Kementerian Luar Negeri, kepolisian, kejaksaan, KPK ini penting untuk dilibatkan. Pemberantasan korupsi bisa bekerjasama dengan baik antarpenegak hukum hasilnya pasti lebih maksimal, mudah-mudahan kekhawatiran kita tidak terulang lagi. Dalam hal ini misalnya dia klaim soal keberhasilan, tunjukkan ke kita buktinya bahwa mereka sudah betul menyelamatkan.

Dari Kejaksaan Agung berjanji akan membuka hasil perampasan mereka lewat online, apakah ini cukup?

Kalau online semua bisa klaim tapi orang butuh buktinya. Kalau dia bilang menyelamatkan dan mengembalikan kerugian negara sekiat miliar rupiah misalnya, bukti yang konkret adalah bukti setoran ke kas negara atau kas daerah. Kita butuh itunya, kalau sekedar mencantumkan kita khawatir itu cuma klaim. Mudah-mudahan transparannya bukan sekedar memastikan ke website tapi juga akuntabel disampaikan ke publik termasuk juga soal buktinya.  

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending