Bagikan:

Bisnis Kripik Chocotela dan 'Melayani' Reseller

Belakangan pebisnis muda mulai bermunculan dan berhasil menjadi kaya mendadak. Misalnya saja bisnis menjual kripik, tentunya bukan kripik biasa. Ada yang namanya Kripik Chocotela. Ini adalah kripik singkong bertabur cokelat, yummyyy.

BERITA

Jumat, 29 Mar 2013 12:05 WIB

Bisnis Kripik Chocotela dan 'Melayani' Reseller

Bisnis Kripik Chocotela

KBR68H, Jakarta - Belakangan pebisnis muda mulai bermunculan dan berhasil menjadi kaya mendadak. Misalnya saja bisnis menjual kripik, tentunya bukan kripik biasa. Ada yang namanya Kripik Chocotela. Ini adalah kripik singkong bertabur cokelat, yummyyy.

Obrolan Ekonomi KBR68H edisi 29 Maret 2013 membahas soal kripik Chocotela bersama sang pemilik usaha ini, Arsipdita Lingga. Sementara untuk menggali kiat bisnis, ada Rektor Isntitut Kemandirian yang juga motivator bisnis, Zainal Abidin.

Lingga mengembangkan keripik Chocotela ini berawal dari meneruskan usaha seorang teman yang bangkrut. Saat itu nama produknya, Si Macho atau Singkong Sama Cokelat. Usaha ini didirikan pada Maret 2012. Karena tidak bagus dalam penjualan, Lingga mengambil alih usaha Si Macho dan mengubah namanya dengan Chocotela.

"Jadi pemasarannya jelek dan hampir colaps, jadi saya beli usahanya. Dan alhamdullah lebih meningkat jauh. Karena saya ini melihat peluang pasaran yah," jelas Lingga.

Pria berbadan tegap dan berjenggot itu bercerita, Chocotela ini unik dan berbeda dengan produk lain. Kata dia, kripik biasanya diberi cokelat bubuk, tapi kripik Chocotela ini kripik singkong berbalut cokelat cair beku. Sehingga jika dimakan akan terasa seperti memakan cokelat renyah.

Sejak mengambil alih Si Macho, Lingga mengklaim omset penjualannya meningkat 200 persen dalam waktu dua hari. Dia memasarkannya secara langsung di sebuah seminar wirausaha di Bandung. Di sana dibagikan gratis, sekaligus menemukan nama Chocotela sebagai brand.

"Awalnya itu saya semua sendiri, dari motong singkong sampai mengemas. Modal awal saya sendiri dengan uang sisa di tabungan. Saya pas kan sampai 2000 bungkus dan berkembang." jelas Lingga.

Memanfaatkan Reseller

Lingga melanjutkan, pemasaran Chocotela hanya menggunakan agen perorangan atau reseller. Lingga cukup mempunyai komitmen untuk 'memelihara' reseller ini. Buktinya dia tidak akan menjual produknya itu ke toko atau minimarket. Jika itu dilakukan, maka agen atau reseller produknya akan mati perlahan.

Sebab kata dia, kebanyakan resellernya adalah kalangan bawah. Produknya itu dijual ke kota-kota kecil. Semisal di kawasan Kalimantan.

"Saya mempunyai keterbatasan, saya lebih suka bekerjasama oleh orang yang berpengalaman di bidang marketing. Misal di Kalimantan, banyak yang menjualnya ke kota-kota kecil dari kota besar. Saya lebih suka kayak gitu," kata Lingga.

Dengan teknik pemasaran reseller, menurut Lingga itu bisa lebih menguntungkan dirinya. Sebab Lingga sendiri tidak mematok harga jual konsumen dalam pemasaran. Dia hanya memberikan harga tetap penjualan kepada reseller atau agen, yaitu Rp 8.500 perbungkus. Menurutnya itu memang cukup mahal. Namun si reseller akan lebih bebas menjual produknya itu dengan harga berapa pun.

Sebagai catatan lagi, Lingga saat ini agak selektif memilih calon reseller kripiknya. Sebab dia pernah mempunyai pengalaman pahit saat pertama kali memasarkan produknya. Hanya saja dengan pengalaman itu, Lingga tidak lantas membatasi dan seleksi ketat resellernya.

"Saya akan tetap membangun koneksi meski pernah ada pengalaman pahit. Karena saya ini mudah sekali percaya dengan orang yah," kata Lingga di wawancara penyiar Obrolan Ekonomi, Sutami dan Dimas Rizki di Studio Utama KBR68H di Utan Kayu Jakarta Timur.

Penilaian Produk Chocotela

Motivator bisnis, Zainal Abidin menilai produk dan imej brand yang ditawarkan Chocotela sudah bagus. Selain itu Chocotela ini diyakini mempunyai pangsa pasar sendiri. Namun pasar itu perlu harus dibentuk.

"Kripik itu biasa yah, tapi kalau sudah ada balutan cokelat, keju, dan mungkin nanti ada stroberi dan sebagainya. Pasar sedang berkembang," jelas Zainal yang mempunyai segudang usaha itu.

Menurut Rektor Isntitut Kemandirian itu, perekonomian Indonesia dengan pangsa pasar luas ini bisa menjadi hal yang menjanjikan untuk pengusaha muda. Mereka bisa menjual produknya ke berbagai pasar. Buktinya saat ini masyarakat sebagian bukan lagi memenuhi keburuhan utama atau pokok dari sisi makanan. Melainkan memenuhi kebutuhan kedua, yaitu camilan.

"Untuk produk seperti ini tidak musiman. Apalagi di Indonesia itu di Televisi pasti ada sepakbola. Jarang ada yang nonton sambil bengong. Maka itu pilihan pasti ke sana. Ini bisnis camilan menggiurkan," jelas dia.

Dia menambahkan untuk bisnis camilan ini perlu diperhatikan untuk menjaga pangsa pasar. Yaitu di antaranya menjaga rasa dan kontiunitas penjualan. Jangan tergiur dengan tawaran sebuah minimarket yang meminta memasarkan produk. Namun jika sudah maksimal mengandalkan agen, maka perlu diperhatikan untuk menjaga hubungan dengan agen atau reseller itu.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending