Bagikan:

Teken Kesepakatan dengan Arab Saudi, Komisi Tenaga Kerja Tidak Diberitahu Pemerintah

"Kalau urusan nyawa, bendera politik mesti dilepaskan"

BERITA

Kamis, 20 Feb 2014 17:15 WIB

Teken Kesepakatan dengan Arab Saudi, Komisi Tenaga Kerja Tidak Diberitahu Pemerintah

Arab Saudi, TKI, buruh migran, moratorium

Pemerintah Indonesia  menandatangani nota kesepahaman tentang penempatan dan perlindungan TKI di Arab Saudi. Pemerintah mengklaim pihak Arab Saudi telah menyepakati semua poin dalam perjanjian tersebut. 


Anggota Komisi Tenaga Kerja DPR Rieke Diah Pitaloka mengaku tak ada pemberitahuan resmi apa pun kepada Komisi soal ini. Berikut penjelasan Rieke dalam program Sarapan Pagi KBR68H 


Kabarnya sama sekali tidak ada pemberitahuan resmi kepada Komisi Tenaga Kerja?


"Betul. Kemarin itu harusnya rapat kerja dengan Menaker namun dibatalkan, ternyata Menaker sudah ada di Riyadh."


Tidak ada pemberitahuan?


"Tidak ada. Jadi ada kunjungan ke Riyadh saja, malamnya saya langsung cek ternyata memang benar kemarin 19 Februari 2014 ada penandatanganan agreement antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi terkait tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi."

 

Ada bau-bau tidak sedap? 


"Kalau bau-bau tidak sedap banyak tapi kita berusaha untuk agar itu tidak semakin bau."

 

Apa yang Anda tangkap kejanggalan-kejanggalan soal tidak ada pemberitahuan ini? 


"Sebenarnya itu memang hak eksekutif namun pada akhirnya ada fungsi pengawasan di DPR. Saya kira tidak semua orang tidak melakukan fungsi pengawasan dengan apa pandangan publik terhadap DPR RI saat ini tetapi menurut saya masih banyak yang kerja benar. Karena beberapa terakhir itu juga dikatakan belum, tidak jadi selalu seperti ngeles begitu. Kemudian kepada publik itu juga harusnya ada semacam ‘konsultasi’ publik karena kita ketahui bahwa persoalan TKI di Arab Saudi ini menuai berbagai tindakan kekerasan kemudian tergolong pada kekerasan ekstrem dan pelanggaran HAM berat. Kenapa saya katakan terindikasi pelanggaran HAM berat di Arab Saudi, karena menurut kami dari berbagai kasus kekerasan yang menimpa TKI kita bahkan berujung kematian itu tidak pernah ada sanksi serius terhadap pelaku. Artinya disini ada ‘keterlibatan’ negara yang melakukan pembiaran dan bagi kami itu sebuah pelanggaran HAM. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, seolah-olah ada impunitas tiadanya sanksi hukum bagi pelaku kalau dia adalah warganegara Arab Saudi. Diskriminasi dalam hukum dan perlakuan hukum acapkali terjadi, contohnya salah satu TKI yang dia mengalami kekerasan dari majikan mengurus orang tua sekaligus rumah, lalu dia kabur, ketika dia tidak tahan diikat di rumah majikan yang sudah tua karena ingin melarikan diri. Dia beberapa mengalami kekerasan dari majikannya itu, ketika dia kabur ternyata majikannya meninggal tapi dalam perjalanan itu dia bertemu sekelompok orang yang katanya akan menolong dia akhirnya dia malah diperkosa oleh sembilan orang. Padahal hukum di sana kalau melakukan pemerkosaan adalah hukuman mati, tetapi yang terjadi warga negara Arab Saudi itu dilepas sementara warga negara kita dapat vonis mati. Vonis mati itu sekarang yang teridentifikasi oleh kami sekitar 41 orang, kalau kita lihat di sana perlakuan terhadap tenaga kerja kita tidak sebagai tenaga kerja. Ini tak ubahnya seperti perbudakan di masa modern dan ini terlihat dari pernyataan menteri hubungan internasional yang menanggapi agreement yang ditandatangani kemarin."

 

"Saya membaca di salah satu media olnline Arab Saudi, bahwa perjanjian itu dianggap sebagai meskipun pemerintah kita setelah saya desak-desak ini katanya cuma agreement bukan pencabutan tetapi pemerintah sana seperti menganggap bahwa ini pencabutan moratorium. Moratorium itu dijalankan dengan banyaknya dasar kekerasan terhadap TKI kita, kemudian hampir satu tahun DPR mendorong untuk moratorium. Padahal sesungguhnya ke Arab Saudi itu memang tidak boleh mengirim. Pasal 27 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Indonesia tidak boleh mengirimkan tenaga kerjanya ke negara lain yang tidak memiliki perjanjian tertulis dengan RI dan kita sampai hari kemarin memang tidak punya perjanjian tertulis. Ini seolah-olah kemudian persoalan kita moratorium itu karena sekadar kita tidak punya perjanjian tertulis, bukan karena substansi kekerasan yang acapkali mendera rakyat kita di sana. Sementara di Pasal 29 itu memang tidak boleh kita melakukan kerjasama ketenagakerjaan dengan negara yang terbukti tidak memberi perlindungan hukum, tidak memperlakukan tenaga kerja kita secara bermartabat sebagai manusia itu ada Pasal 29. 


Memang Undang-undang ini sedang direvisi tetapi masih berlaku sampai sekarang. Artinya kalau kacamata berpikirnya seperti ini, apalagi tadi saya katakan ini ada persepsi lain dari pemerintahan kerajaan Saudi yang mengatakan pemerintah kita di sana katanya mengajukan agar ada proteksi bagi buruh migran kita yang bekerja di sana. Minta upahnya itu sama dengan upah dari Filipina tetapi pemerintah sana mengatakan tidak bisa, upah itu sesuai dengan supply and demand. Gila ini benar-benar rakyat kita diperlakukan sebagai barang. Oleh karena itu kalaupun pemerintah SBY ini tidak memberitahukan DPR atau rakyat Indonesia tentang agreement ini atau apalah tetapi kami akan terus mendesak bahwa penandatanganan yang dilakukan pemerintah kemarin itu terindikasi melanggar Undang-undang."

 

Ada rencana memanggil Kemenakertrans?


"Pasti, kalau soal panggil memanggil itu sudah biasa ya tetapi kami ingin publik Indonesia tahu. Ditengah rapat di DPR sudah mulai kosong karena ada jadwal mulai kampanye dan sebagainya yang kami juga mengerti orang harus bertarung di dapil masing-masing. Tapi siang ini kami bersama Migrant Care dan juga ada keluarga TKI yang jenazahnya tidak bisa dipulangkan dari Saudi, kita akan berjuang menemui pimpinan DPR pada siang hari ini Bapak Pramono Anung. Kita akan terus menyuarakan dan mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk mengatakan tolak pencabutan moratorium TKI ke Saudi. Kedua, selain moratorium itu tidak boleh dicabut ada Joint Working Committee dimana di situ harus ada tahapan-tahapan kepastian proteksi dari agreement yang kemarin ditandatangani, implementasinya seperti apa. Kalau kemudian tahapan atau klausul-klausul di Joint Working Committee tidak terpenuhi maka kami menyatakan tidak boleh sama sekali, jangan pernah sama sekali melakukan pencabutan moratorium. Apalagi di dalam negeri sendiri tidak ada keseriusan, tidak ada semacam proteksi untuk melakukan perlindungan terhadap TKI yang mau diberangkatkan masih ada jalur lewat calo dan sebagainya. Ketika kita memaksakan moratorium itu dicabut maka kemudian akan berbondong-bondong orang ke sana, sama saja dengan pemerintah kita terlibat dalam pelanggaran HAM warga negaranya. Pembiaran itu adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM yang disengaja menurut kami. 


Apakah Anda melihat pemerintahan SBY sekarang ini sedang punya tujuan tertentu?


"Saya tidak tahu mungkin sekalian buka cabang partai di Riyadh. Jadi ini mau ngapain, mau urusan partai sama saya juga orang partai. Tetapi dalam proses seperti ini Anda tidak boleh main-main hanya karena persoalan kepentingan partai politik kita di 2014 ini, kalau sudah urusan nyawa bendera partai harus dilepaskan. Kalau kita lihat memang kemudian mental calo ini belum hilang dari sebagian oknum para pejabat negara kita, para pembantu SBY." 


"Maksud saya mudah-mudahan ada yang menyampaikan juga kepada Pak SBY tegurlah. Apapun para menteri itu masih pembantu dia, kalau tidak bisa diatur berarti legitimasi presiden dipertanyakan kalau atur menteri saja tidak bisa apalagi mengatur rakyatnya. Ini seperti pengiriman TKI yang kemudian terjadi moratorium kita menolak bukan sekadar menolak karena kami mengadvokasi langsung dan bayangkan 41 menunggu vonis mati."

 

"Kalau kita mengikuti tahapan-tahapan proses bagaimana untuk melakukan pembelaan terhadap mereka yang kadang itu tuduhan vonis matinya karena dianggap membawa guna-guna. Itu kemudian menjadi sebuah transaksi baru, ini lagi-tawar-tawaran Satinah dari berapa miliar sekarang Rp 21 miliar dan sebagainya. Ini memperlihatkan bahwa memang warga negara kita di Saudi dianggap sebagai barang, makanya dipatuhi Pasal 27 Undang-undang No. 39 yang masih berlaku. Tidak boleh bukan hanya moratorium, itu Undang-undang yang mengatur bukan Rieke Dyah Pitaloka dari Fraksi PDI Perjuangan partai oposisi bukan tapi Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Pasal 27 dan Pasal 29, jangan dipisahkan pemahamannya. Ketika dalam proses klausul Anda bayangkan kemarin ratusan ribu dideportasi, sekarang masih ada yang ditarget."

 

"Untuk bisa deportasi itu harus masuk semacam karantina imigrasi, di sana banyak juga yang mengalami kekerasan. Orang kalau mau dideportasi itu kemudian tidak dapat tempat dia semacam di lapangan itu kemarin diobrak-abrik diusir, ketika diusir itu akan terjadi semacam ‘daur ulang’ perdagangan TKI. Dari sini dihentikan tetapi pemerintah Arab Saudi secara sistematis melakukan mekanisme perekrutan tetapi di dalam mereka sendiri. Orang yang harus dipulangkan itu dipersulit pemulangannya, ini juga diduga ada keterlibatan orang kita juga termasuk kecurigaan kami kok tiba-biba muncul Perwalu (Perwakilan Luar Negeri) PJTKI di sana yang selama ini tidak ada. Satu hal lagi ditengah persoalan kemanusiaan dugaan pelanggaran HAM berat Saudi terhadap warga negara kita, pemerintah SBY malah menurunkan anggaran perlindungan WNI di berbagai negara termasuk negara-negara yang dasar kasus persoalannya panjang seperti Arab Saudi dan Malaysia. Ini dari kebijakan politik anggaran saja sudah terlihat."    


Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending