Bagikan:

Standardisasi Kualitas Imam

KBR68H, Jakarta - Berawal dari dunia maya, kasus Ustadz Hariri mencuat.

BERITA

Kamis, 20 Feb 2014 13:34 WIB

Standardisasi Kualitas Imam

standardisasi kualitas imam, kualitas imam, kualitas ustadz, kualitas pemuka agama

KBR68H, Jakarta - Berawal dari dunia maya, kasus Ustadz Hariri mencuat. Rekamannya ketika memiting petugas sound system menggunakan dengkul ditonton lebih dari 1,4 juta kali. Ini bukan kali pertama skandal melibatkan agama. Sengketa Ustadz Solmed sempat ramai jadi bulan-bulanan media gara-gara mematok tarif mahal secara sepihak di saat-saat akhir pada buruh migran Indonesia di Hong Kong yang mengundangnya. Belum lagi deretan panjang kasus-kasus pelecehan seksual di pesantren.

Kejadian-kejadian semacam itu tidak hanya terjadi di agama Islam. Pastur Kristen dan Katolik juga ada yang terjerat skandal di Indonesia. Kepolisian baru-baru ini menangkap seorang pendeta berinisial JR karena kasus pembunuhan di Bekasi, Jawa barat. Sementara itu, Mahkamah Agung juga memvonis mati pastur Herman Jumat Masan karena pembunuhan. Permasalahan-permasalahan itu memantik pertanyaan, apa yang salah dengan mutu seorang pemuka agama saat ini? Apakah perlu menerapkan kompetensi minimal atau semacam standarisasi untuk pemuka agama?

Masyarakat Indonesia memiliki harapan yang tinggi terhadap pemuka agama. Ini berbeda dengan harapan terhadap pemuka agama di negara sekuler, seperti Belanda. Meskipun begitu, standar tersebut, walau sulit dipenuhi, sebaiknya tidak dihilangkan. “Kuat saja dapat menyeleweng, apalagi kalau melemah,” kata Romo Mardiatmadja dengan tenang dalam program perbincangan Agama dan Masyarakat KBR68H dan Tempo Tv, Rabu (19/02).
   
Di Katolik, sejarah awal mula munculnya proses pengetatan syarat menjadi pemuka agama muncul pada abad 16. Sebelumnya, mudah menjadi pemuka agama katolik. Akibatnya, banyak pastur berperilaku kasar dan merugikan masyarakat serta gereja.  “Karena itu, pada abad 16 gereja Katolik mendirikan seminari untuk mendidik calon imam,” paparnya. Kini, untuk menjadi seorang pastur dibutuhkan setidaknya tujuh tahun. Sepanjang periode itu, seorang calon pastur tidak mesti mendalami ilmu agama dan terjun ke masyarakat.

Dengan melalui tahapan-tahapan itu, seorang calon pastur atau biasa disebut frather diharap dapat memenuhi sejumlah syarat. Syarat itu terutama adalah kompetensi iman, moral, organisasi dan ilmu. Dalam hal ilmu contohnya, pastur mesti memiliki pemahaman mendalam dan sistematis tentang ajaran agama. “Audisi SMS tidak bisa mengecek ilmu,” seloroh pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara tersebut.
   
Standar ketat seorang pemuka agama juga diterapkan dalam organisasi Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Yunahar Ilyas memaparkan, ustadz Muhammadiyah mesti menempuh sejumlah pendidikan. “Kalau ingin menjadi ustadz, istilahnya ya, ia harus punya kompetensi ilmu. Jadi kalau ia tidak berilmu tidak bisa. Kedua, ia harus punya akhlak mulia karena ia tidak hanya mentransfer ilmu, tapi juga nilai. Ketiga, ia mempunyai kemampuan metodologis,” paparnya dalam program perbincangan Agama dan Masyarakat di KBR68H dan Tempo Tv, Rabu (19/02). 
   
Untuk mencapai kriteria seperti yang dikehendaki organisasi Muhammadiyah, ustadz mesti memenuhi setidaknya empat tahun. “Empat tahun, tiga tahun di pesantren tiap hari diberi pelajaran bahasa Arab dan fiqih, tafsir hadits, fiqih dan akidah. Lalu diberi pelajaran tentang dakwah, terutama fiqih dakwah. Tiga tahun ilmu dan kepribadian. Satu tahun dibawa ke kampus. Di Yogya boleh pilih satu Universitas Muhammadiyah untuk mendapat ijazah sarjananya, setelah itu baru dikirim ke daerah dan baru jadi ustad lokal, belum provinsi atau nasional,” katanya merunut asal usul ustadz di Muhammadiyah. Dengan begitu, calon ustadz setidaknya sudah mengenyam 144 sks.

Meskipun Katolik dan Islam Muhammadiyah memiliki perbedaan, keduanya sepakat bahwa proses seseorang menjadi pemuka agama tidak bisa singkat dan mesti melalui jalan terjal. “Paling banyak 40% dari satu angkatan yang berhasil menjadi pastur,” kata Romo Mardiatmadja untuk menggambarkan betapa beratnya jalan yang mesti ditempuh. Kedua tokoh yang berasal dari agama berbeda itu juga sepakat audisi ustadz melalui sms tidak akan menghasilkan tokoh agama yang bermutu. Ustadz Hariri yang mendapat kecaman keras karena arogansinya merupakan lulusan audisi ustadz televisi.
   
Kriteria-kriteria di atas untuk menentukan seorang pemuka agama musnah begitu saja ketika masuk ke layar kaca. Yunahar Ilyas mengaku sangat terkejut membaca syarat audisi ustadz di televisi. “Pertama, kriterianya yang berwajah unik. Kedua, yang lucu. Ketiga, yang tampan,” katanya dengan nada sinis. Akibatnya, ustadz-ustadz itu tidak mempunyai ketiga kriteria yang disyaratkan organisasi Muhammadiyah untuk menjadi ustadz.

Ia mencontohkan, dangkalnya pengetahuan ustadz tanpa standarisasi ini ketika kelimpungan menjawab pertanyaan penonton yang spontan. “Saya pernah nonton, ketika ia menerangkan ayat kursi, pertanyaan di luar skenario, ayat kursi ini Makiah atau Madaniah. Karena ayat kursi masuk dalam surat al-Baqarah dan ayatnya panjang-panjang makiah. Itu terbalik, harusnya Madaniah. Yang denger satupun tidak bisa mengkoreksi,” tuturnya.

Selain itu, mereka tidak dapat menarik kesimpulan untuk membuat fatwa yang solutif bagi masyarakat. “Ustadz, bagaimana hukumnya jabat tangan laki-laki yang bukan muhrim?” tanya penonton. “Boleh, yang penting niatnya,” jawab sang ustadz.  Bagaimana kalau berciuman, kalau niatnya baik?’ ceritanya. Akibatnya, ustadz produk instan tersebut bingung.

Meskipun Islam di Indonesia tampak bebas dan lebih leluasa dalam menerapkan Islam, tidak berarti campur tangan negara niscaya menuntaskan segalanya. Yunahar Ilyas mencontohkan, di Malaysia dan Brunei, ada standardisasi ustadz. Contohnya, khotbah Jumat mensyaratkan pendakwanya memiliki semacam sertifikat. Akibatnya, tidak semua orang bisa menjadi ustadz. Namun Yunahar memperingatkan, campur tangan negara itu mengakibatkan keseragaman pandangan Islam. Akibatnya, negara bisa dengan gampang menggunakan agama untuk alat kekuasaan. Ini, tidak terjadi di Indonesia.
   
Peran masyarakat dinilai merupakan ujung tombak dalam menjaga standar kompetensi seorang pemuka agama. “Di Katolik, uskup selalu tanya pada jemaat, apakah ada yang keberatan jika seorang calon menjadi pastur,” ujar Romo Mardiatmadja. Dengan begitu, masyarakat berhak menyanggah jika menemukan seseorang tidak layak menjadi pastur.

Di Muhammadiyah, masyarakat juga dapat memberi sanksi pada ustadz jika ketahuan berbuat tidak patut. Ustadz itu akan hilang begtu saja. Yunahar mengatakan, ustadz itu tidak akan diundang lagi dan tidak diminta masuk dalam organisasi. Sanksi moral ini menurutnya efektif dalam menjatuhkan sanksi pada ustadz. Ia menambahkan, dalam ajaran Islam, mengkritik ustadz bukanlah suatu dosa. “Islam izinkan kita kritis pada siapa saja, kecuali Allah dan Muhammad,” pungkasnya.

Editor: Fuad Bakhtiar

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending